Salah satu wahana itu adalah program transmigrasi. Artinya melaluinya terjadi pembauran sosial yang turut memperkenalkan kepada orang Papua suatu budaya bertani yang intensif. Sehingga jika intensifikasi pertanian dilaksanakan, ada semacam succse story atau komunitas eksemplaris bagi masyarakat Papua, yakni ethos kaum transmigran.
Baginya yang penting ialah orang Papua harus bekerja, berpikir demi kesejahteraan dan keadilan. Mengapa harus bekerja, sebab alam Papua sangat menjanjikan dan berdosa jika tidak dikelolah oleh anak Papua sendiri. Jika mereka bekerja, maka taraaf kesejahteraan keluarga dan masyarakat berkembang secara langsung.Â
Itu menjadi suatu kondisi bagi terciptanya keadilan. Jadi keadilan ekonomi adalah suatu kondisi yang harus diperjuangkan melalui bekerja. Jika keadilan itu juga tergantung pada aspek struktural, menurut Pendeta Wem, orang Papua harus ada di dalam sistem sehingga turut menentukan ke arah mana sistem pensejahteraan rakyat itu akan bergerak.Â
Dalam kaitan itu, ia sangat mengapresiasi inisiasi Wantanas, melalui Letjen Doni Monardo, guna mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dengan mengajak orang Papua mengembangkan potensi sumber kekayaan alam yang khas di Papua baik pada sektor agraris dan kelautan/perikanan (laut dan darat). Agar keadilan ekonomi itu terbentuk, maka menurut Pendeta Wem, masyaarakat Papua yang harus trampil mengelolah lingkungannya sendiri.Â
Sebab itu memerlukan kesadaran lingkungan sehingga alam yang kaya ini benar-benar memberi dampak kesejahteraan secara langsung kepada masyarakat. Dirinya berharap agar kebijakan Wantanas ini bisa dijalankan terus. Karena itu sebagai Pendeta yang telah turut melakoni tugas pensejahteraan rakyat Papua, ia sangat berterima kasih atas kunjungan Tim Holistik Wantanas (9/1-2018) di rumahnya.Â
Hal itu baginya adalah suatu berkat, sebab selain Presiden Soeharto yang pernah atau bahkan selau dijumpainya, setelah masa pensiunnya ini, ia baru mendapat kunjungan dari pejabat negara, melalui Wantanas.
PENDETA MESAKH, Saksi Kewibawaan Bangsa di Tanah Papua Pendeta Mesakh Koobuhr, mungkin adalah salah seorang Pendeta GKI yang juga pernah berjumpa dengan Presiden RI yang pertama, Ir. Soekarno, sebagaimana Pendeta Theo Suangburaro. Ia telah usur kini, berusia 82 tahun.Â
Namun ingatannya tentang prosesproses mendirikan kewibawaan Indonesia di tanah Papua tidak hilang termakan usianya. Dirinya menuturkan: "Saat Perang Trikora, Ir. Soekarno datang dengan kapal. Saat itu saya menjabat sebagai Sekretaris Sinode GKI di Tanah Papua. Kami menjemputnya ke kantor Sinode, dan kemudian mengaraknya ke Lapangan Mandala untuk menyampaikan pidato di hadapan masyarakat Papua".Â
Pidato-pidato Ir. Soekarno begitu membekas dalam ingatannya. Dilanjutkannya bahwa, pada tahun 1964, ia turut menghadiri Sidang Raya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) ~sekarang Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). "Saya ingat betul, bapak Presiden Soekarno berpidato di hadapan Sidang Raya dengan mengatakan bahwa, Yesus Kristus adalah gembala yang sangat baik".
Baginya itu hanya mimpi. Sebab itu saat Pepera, GKI di tanah Papua lebih banyak membangun komunikasi dengan tokohtokoh nasional seperti TB Simatupang dan dengan lembaga DGI dalam rangka turut melihat persoala riil Papua saat itu. Kini, Pendeta Mesakh mengisi masa pensiiunnya dengan menikmati hari-hari lanjut usianya.Â