Mohon tunggu...
31_SALMA MEILANI_ XI MIPA 2
31_SALMA MEILANI_ XI MIPA 2 Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Siswa

Halo.... Salam dari perempuan Taurus yang suka semesta :)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bulannya Taurus yang Bermakna

22 September 2022   18:53 Diperbarui: 22 September 2022   18:55 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

          Sedetik yang lalu, akan menjadi cerita yang abadi. Rekam jejak semesta adalah memori. Maka di ruang minimalis yang penuh cerita ini, kusuguhkan berbagai manusia yang terkumpul pada malam yang terang. Bapak yang menyentuh tiap ruang rumah ini dengan tawa, Ibu yang paling sibuk, Kakak dan Adik yang paling jago untuk duduk mendengarkan. Dan Aku, yang paling berisik di rumah yang serba tenang. Kalo kata Bapak sih, cuman aku yang paling rusuh di rumah ini. Kakakku yang pendiam. Adik, si ceria yang selalu duduk ketika Bapak sudah mulai mengeluarkan suaranya. 

   Dunia sedang ricuh oleh gaungan takbir yang menggema. Semuanya beramai-ramai menyaksikan, dengan bulan yang turut melambaikan tangan. Menunggu esok yang penuh kejutan. Aku, Salma. Perempuan Taurus yang tengah bersiap untuk melangkah di angka yang lebih tinggi. Senin 02 Mei 2022 pun, siap mengukir hidupnya yang penuh cerita dan rahasia.

    Malam itu, Ibu sibuk menyiapkan hari esok yang penuh kebahagiaan, aku si biang rusuh ini, hanya duduk diam di samping Bapak, seraya mengecek tiap detik yang bergerak. Bapak terheran, apalagi si Adik yang paling penasaran. 

"Sariawan, diam saja? " Kata Bapak.

 "Harus jaga sikap Pak, bentar lagi sudah bukan 16 tahun. " Jawabku.

 "Emangnya kalo bertambah umur, gak boleh jadi orang yang sama? " Tanya Bapak lagi. 

"Bukan gitu Pak, masa iya sudah dewasa tetap yang paling berisik di rumah ini?" Jawabku sewot.

 "Bapak lebih senang liat semua anak nya bebas berekspresi. Mau paling rusuh sekalipun, kamu tetep anak Bapak." Aku tak suka mendengar jawaban Bapak. 

"Teh. Gak harus sempurna buat jadi dewasa. Gak harus keren buat jadi anak Bapak. Kamu, Kakak dan Adik yang selalu sehat, dan selalu ada tiap Bapak pulang kerja, itu sudah menjadi hadiah yang paling Bapak suka. " Aku menatap wajah Bapak. Ketegasan wajah Bapak selalu mengajarkanku arti kata sungguh yang nyata, yang ada, sungguh benar adanya. 

 "Bapak emangnya gak malu liat anaknya yang bentar lagi umur 17 tahun, tapi sikapnya masih ngerusuh kaya anak TK?" Bapak mengelus kepalaku. Telapak tangannya yang besar, selalu bisa melingkupi kepalaku yang ragu.

 "Malu untuk apa? Dewasa juga gak menjamin kualitas hidup yang baik. Gak usah jadi sempurna, naik angka 1, gak usah buru-buru ngejar semuanya. Gak ada yang instan buat puncak bahagia. Takut dewasa itu wajar. Tapi terburu-buru buat melangkah juga gak selamanya benar. Dewasa hanya takut dengan almanak yang terus berjalan. " 

           Percakapan dengan Bapak, merasuki relung dada yang amat dalam. Hingga suara Ibu yang menggema, menyuruhku untuk membantunya di dapur. Sambil membantu Ibu di dapur, aku tetap menjadi pendiam dengan segala kegundahan yang bersarang menjadi satu. Kalimat Bapak, akan tetap berputar jika saja saat itu, Ibu tidak menegurku untuk kembali melanjutkan pekerjaan, mengupas kulit kentang. Ditengah rasa gundah saat itu, ketika rasa ingin cepat-cepat untuk menginjak angka yang baru, kian menjadi pupus ketika perkataan Bapak yang selalu kuingat. Bahwa dewasa juga tidak menjamin kualitas hidup yang baik. 

          Ibu kembali melanjutkan pekerjaan memasaknya di dapur. Aku tetap menjadi penonton yang selalu dilarang Ibu untuk ikut terjun membantunya dekat dengan kompor. Kata Ibu, kalo dapur ini tidak mau hancur, salah satu syaratnya yah..., aku harus duduk diam di samping atau di belakang Ibu. Melihat Ibu yang lihai memasak, seketika membuatku tersenyum. Aku tidak pandai seperti Kakak yang selalu Ibu andalkan untuk membantunya. Meski begitu, keduannya akan sama-sama menjadi hal yang paling kunantikan untuk selalu ada. Karena kesal melihatku yang hanya diam saja, Ibu lekas bergegas menyuruhku untuk kembali melakukan apapun yang sempat tadi aku tinggal. 

   

          Seraya menunggu pukul 12 malam yang sakral, ketika angin malam masih saja terasa menusuk kulit dengan tajam, Bapak menghampiriku yang sedari tadi melamun menatap buku harianku tanpa menulis atau membaca apapun. Andai boleh mengadu, apa semesta mau dengar segala ketakutan manusia? Apa dunia mengizinkan manusianya untuk mengeluh sekejap saja? Yang terpenting, apa semesta peduli? 

"Belum tidur? Padahal Ibu sudah suruh kamu tidur. Besok kesiangan shalat Ied, kamu bakal ditinggal loh."Bapak duduk di sampingku. 

"Mau lihat Jerome di ucapin ulangtahun sama fansnya dulu, Pak. Biar vibesnya kerasa sampai kesini."

 "Hadeuhh anak zaman sekarang. Selain liatin idola, Bapak tahu kamu lagi takut, kan?" Aku tidak menggubris perkataan Bapak dan malah menunduk menjauhi tatapan matanya.

"Bapak bukan bermaksud menakuti kamu, cuman kalo anak Bapak sudah berusaha diluar batas kerjanya, sampai-sampai dia ngorbanin rasa sukanya, Bapak gak akan biarin itu terjadi sama anak Bapak." Aku menoleh. Kata yang keluar dari mulut Bapak, bagai magnet yang menemukan kutub pasangannya. Menarik semua hal yang selama ini kucari bagiannya yang hilang entah di mana. 

"Pak, aku sudah dewasa. Aku sudah kelas 11 SMA yang sebentar lagi bukan jadi siswa. Bapak gak keberatan untuk menerima anaknya yang satu ini? Yang bahkan jauh berbeda dari anak-anak Bapak yang lain? Aku iri sama Kakak dan Adik, Pak. Kakak jauh lebih bisa membanggakan Bapak tanpa harus buat Bapak emosi dulu. Adik yang selalu Bapak gemakan hobby dalam bermain bolanya. Aku? Apa bagusnya aku dimata Bapak?". Dengan tatapan mata yang sendu, Bapak membalas segala keraguan yang nyatanya hanya sebuah bangkai tanpa alasan. 

"Bapak gak pernah membandingkan anak-anak Bapak. Bagi Bapak, semuanya sama. Kalian istimewa. Sempurna. Dan setiap jiwa yang lahir, akan memiliki segudang prestasi yang berbeda. Bapak gak pernah menyesal kalian ada, justru Bapak banyak belajar dari kamu. Bahwa semua anak juga butuh didengar, diperhatikan selayaknya teman, kamu anak Bapak yang sampai kapanpun akan selalu istimewa dengan segala yang kamu punya. " Lagi dan lagi. Bapak selalu menjadi kompas akan arahku yang buta. Bapak, adalah arah yang selalu kuikuti kemana perginya. 

    

          Dengan tatapan Bapak yang tulus. Saat itu, andai tidak mengutarakan pemahaman yang salah, aku tidak akan pernah tahu bahwa Bapak dan Ibu sangat mencintai anaknya dengan porsi yang sama dan tanpa berlebihan. Karena seperti yang Bapak bilang, bahwa setiap jiwa yang lahir itu berbeda, maka perlakuan yang Bapak kasih pada tiap anaknya juga wajar jika tak sama. Mungkin saja, Bapak harus bersikap lebih lembut kerena hati Kakak lebih rapuh. Bapak yang lebih semangat ketika membicarakan anak laki-lakinya yang gemar bola, mungkin saja itu cara Bapak untuk membuat Adik semangat. Toh nyatanya Bapak tetap sayang semua anak nya. Bukan salah satunya. Jangan biarkan terus rasa iri memupuk hati selama itu, jangan biarkan rasa iri mengalir bagai eratnya darah dan nadi. Jangan pernah biarkan rasa iri untuk masuk sampai kapanpun itu. 

           Aku menatap Bapak, tak yakin. "Pak, sebentar lagi perlombaan KSN bakal dimulai, selepas itu, universitas yang bakal dijadikan medan perang. Dewasa rumit yah, Pak? Ternyata takut. Lebih gak kelihatan dan gak jelas kaya crush."Bapak tertawa kencang malam itu. 

"Ko pacarnya gak jelas, malah diterima?". 

" Ih... Bukan pacar Pak. Perumpamaan. Tapi Pak, ko dewasa harus kaya gini? Harus serba teka-teki, serba dadakan tapi maunya yang berlebihan. " Bapak tersenyum. 

" Gak ada yang salah sama dewasa. Emang sulit sih. Serba dadakan emang iyah. Makanya, hidup tuh apa adanya aja, bukan seandainya. "

"Loh apa adanya mah miris banget. Pasrah banget sama semesta yang kadang taruh takdir seenaknya. Curang yah, Pak. Masa cuman orang dewasa yang dia kasih kesulitan?"

 "Semesta curang dalam hal apa? Gak ada kata semesta yang gak adil ko. Adanya semesta yang jail kali." Aku membantah perkataan Bapak. 

"Sama aja kali, Pak." Jawabku kesal. 

"Beda dong. Gak adil tuh ujungnya rugi. Kalo jail, ya semesta cuman main-main doang. Nanti juga dia balikin lagi ke semula. Kenapa takut banget gak sesuai sih? Emangnya hidup menyimpang sedikit itu gak boleh? " Aku mengerutkan dahi tak paham.

"Menyimpang gimana pak?". Bapak menatapku jahil. Dahi dan halisnya selalu membuatku kesal ketika Bapak membuat wajahnya so kegantengan, yang selalu Bapak puji nyata. 

"Menyimpang dalam hal, misalnya curi start buat ambil bahagia yang sedikit lebih banyak. Atau pura-pura bahagianya, diganti jadi tangisan yang mendalam. Gapapa kan? Selagi semesta gak lihat, curi start buat bahagia yang sebentar gapapa kok. Karena selepas itu, akan ada puncak yang mesti kita gapai. Dewasa emang sulit, tapi meratapi nasib juga bukan cara Bapak banget. Kampungan. Gak level, hahaha." Kami tertawa malam itu. Lega yang Bapak kasih, masih belum cukup menutupi ketakutan yang sebenarnya sudah ada. Namun ketakutan itu, masih bisa dilapisi bahagia yang sebentar lagi datang dihari Senin yang cantik bagai bunga. 

"Tapi pak, anak Bapak yang satu ini juga, masih belum bisa buat menyimpang dalam aturan semesta yang mutlak. Buat naik satu angka aja, rasanya makin sesak yah, Pak? Makin kerasa semesta ambil jatah yang lebih banyak dari kita yang bahkan belum siap. "

          Saat itu, angin malam jadi saksi bahwa aku, yang katanya si biang rusuh dan pemberani itu, nyatanya penakut yang sedang di rongrong segala kegundahan. Keberanian yang aku miliki, cukup terkuras hanya dengan sekelebat bayangan masa depan, yang katanya menakutkan. Dan tepat pukul 12 malam yang sah, tepat suara gemaan takbir yang silih bertautan, akhirnya almanak telah berganti hari. Berganti momentum. Berganti angka. Juga Berganti ketakutan. 

          Tepat pada tanggal 02 Mei 2022, perempuan Taurus ini akhirnya berangkat dengan balon udara yang harus terbang jauh lebih tinggi. Bertepatan dengan kemeriahan Idul Fitri, kegembiraan ini terasa lebih hangat. Terasa lebih menguatkan meski tidak semua. 17 tahun usia ku sekarang. Dengan sucinya hari Idul Fitri, 02 Mei kala itu, terasa ramai dengan orang-orang yang silih posting saling memaafkan, saling menguatkan, saling melengkapi sisi kosong yang sudah tak terisi dan sudah tak bisa terpenuhi.     

           Acara ulang tahun termeriah yang pernah ada dalam hidupku. Meski rasanya hanya aku yang tahu, tak menutup kemungkinan bahwa seisi dunia juga sedang merayakan hari jadinya umat muslim. Dan dengan percaya dirinya, aku selalu menganggap bahwa ucapan kasih itu mengalir juga untuk angka 17 yang indah. Untuk keberangkatan dan keberanian baru yang harus dipupuk lebih banyak, agar melahirkan jiwa yang lebih bermanfaat. Kalo kata Bapak, meski dewasa gak ada apa-apanya, bagiku, dewasa kali ini juga tidak buruk. Perayaan kecil yang bahkan hanya sedikit yang tulus mendoakan, tapi serentak dengan hari raya idul fitri yang megah luar biasa. Rasanya, juga ikut terbawa istimewa.

           Adik dengan usilnya, datang kekamarku seraya memberi ucapan dengan gengsi, juga membawa sekotak hadiah kecil yang isinya lampu baymax kesukaanku. Kakak yang paling terencana, bolu ditanganya seakan ikut bahagia melihat perayaan indah yang tepat. Sebuah hadiah kecil disakunya menjadi titik fokusku waktu itu, karena aku tau, isinya pasti sesuai dengan yang kumau. Karena Kakak, si paling tahu, sipaling gak mau lihat adiknya menekuk wajah kecewa. Ibu datang juga ke kamar. Cuman tepuk tangan seraya menampilkan matanya yang berkaca. Kalo kata Ibu sih, momen paling sedih dalam hidupnya tuh, kalau lihat anaknya tumbuh dewasa. Meski sudah kubilang, Dewasa itu takut, Bu. 

          Setelah semuanya mengisi ruang kamar yang sempit itu, rasanya ada yang kurang ketika aku tidak melihat kehadiran Bapak. Padahal, saudara yang sedang menginap di rumahku saja sudah ikut bergabung disini. Ketika ku tanya Bapak ada dimana, Kakak menjawab Bapak ada di ruang tamu dan enggan untuk diajak perayaan kecil seperti ini, meski hanya sederhana. Aku berdecak kesal. Bapak adalah Bapak. Kepalanya yang keras kepala itu, sudah memiliki jawaban dari segala pertanyaannya yang sudah jutaan. Entah pemahaman mana yang Bapak ambil, yang jelas kalau sudah mau A, dibujuk pake uang juga tetep pilih A. Dan sayangnya, keras kepala itu turun lahir mewarnai jiwaku yang penuh rahasia kalau kata Ibu. 

        Dengan langkah kecil, kuhampiri Bapak yang masih menatap tv padahal juga tvnya tidak nyala. Setelah ditanya dan dimintai hadiah, jawaban Bapak lagi-lagi yang bisa membuat air mataku ambruk. Untung saja, jiwa gengsinya Ibu juga turut lahir. Maka air mata ini tak kubiarkan jatuh dihadapan Bapak. Malu. Takut diejek kaya biasanya. Aku emang lebih dekat dengan Bapak, karena sewaktu kecil Ibu sibuk bekerja. Dan sama Bapak, Aku bisa mendengarkan cerita berharga, juga ilmu yang gak ada dimana-mana. Setiap dengar cerita Bapak, disitulah karakter hidup sesungguhnya yang kucuri diam-diam dari Bapak. Setelah ditanya hadiahnya mana, Bapak malah jawab,

"Bisa tidak Teh untuk jangan tumbuh Cepat-cepat? Rasanya Bapak sedih lihat anak Bapak sudah besar semua. Makin keliatan deh tuanya, hahaha. Sudah 17 tahun yah, jangan lupa shalat dan belajar. Yang terpenting buat Bapak Ibu bangga. Dan selalu ada dijalan yang benar. "

          Maaf lahir batin yang biasanya Bapak lontarkan, tak terucap kala itu. Bapak lebih menyampaikan kata indah yang seharusnya ku kenang selalu. Dan nyatanya, kalimat Bapak juga sudah punya ruangnya sendiri. Tanpa perlu kusuruh lagu untuk tetep disini. Ucapan itu tidak lagi terdengar hanya kata maaf, lebih tepatnya terdapat tambahan do'a sekaligus ucapan yang mereka sisipkan dengan manis. Semesta, andai kamu tahu, waktu itu Aku sedikit percaya diri dengan dunia. Arogan dengan alasan angka 17 ini hanya sementara. Tapi jangan marah ya... Maaf juga tidak izin dulu. Habisnya perayaan kecil yang manis itu, amat ku reka agar penuh memori. Gapapa kan? Izin untuk ambil bahagia lebih dulu yah, semesta. Dan mohon, jangan kasih kepedihan yang terlalu sakit. Karena gak semuanya kuat, dan gak semuanya berani tampil apa adanya setelah kepedihan itu sempat gagal mereka lewati. Karena gak semuanya, memiliki wajah yang sama untuk berhadapan dengan isi dunia yang gak baik-baik aja. 

           Hari itu, ulang tahun yang indah. Ucapan demi ucapan, hadiah demi hadiah juga hadir mewarnai angka 17 yang cantik. Yang tepat. Andai bisa diputar ulang, boleh tidak untuk perayaan dengan tidak bertambahnya kesukaran hidup yang menyakitkan? Karena selepas bahagia yang ternyata sebentar, selepas dua perayaan suci terekam syahdu, semesta nyatanya masih sempat untuk hadir membawa segala rahasia waktu yang tersembunyi. Bahagia yang layak untuk bertahan lama itu, tidak selamanya untuk mulus ada. Nyatanya harus tersendat dengan fakta bahwa sebentar lagi, adalah momen besar pertama yang akan ku lewati. KSN MATEMATIKA. 

           Setelah melewati pelatihan yang cukup lama, cukup menguras tenaga, waktu terasa sehari untuk rentang 2 minggu yang seharusnya terasa cukup lama. Batin ku bergejolak ketika mengingat selisih yang hanya sebentar saja dari perayaan kecil itu. Perlombaan KSN ini adalah lomba yang selalu kutunggu, selalu kuharapkan yang terbaik disana. Karena bukan dari keluarga berada, Bapak selalu menekankan bahwa jangan dimanja keadaan. Maka lewat KSN ini, aku berharap akan menjadikan jembatan indah yang nyata. Yang amat mulus. Dan berakhir dengan membawaku terbang lebih jauh seperti merpati yang terbang lepas tanpa takut akan jatuh. Semesta, kalau berharap tinggi sejauh burung merpati yang terbang, akankah ada jatuh yang menunggu? Karena terbang yang kulakukan sekarang tidak lepas, melainkan membawa beban berat yang sedari lama sudah ingin kumusnahkan. 

          Kala itu, ketika seorang guru menanyakan kesanggupanku untuk ikut andil dalam KSN bidang Matematika. Tak pernah terlupakan ketika wajah senang Bapak dan Ibu yang tak hentinya menyertakan do'a dan semangat yang tulus. Matanya berair menyaksikan anaknya yang dipercaya untuk ikut lomba mewakili sekolah tercinta. Semangatku kian memuncak sama tingginya dengan hangat tangan Bapak yang selalu menyertai kepalaku ketika Bapak merasa bangga pada anaknya. Bapak berpesan, bahwa tidak ada hasil yang didapat tanpa usaha yang maksimal. Bapak selalu mengajarkanku bahwa dunia tidak selamanya bodoh dan adil. Ada kalanya, dunia juga melihat proses untuk bisa sampai digunung yang tinggi. 

          Sekitar kurang lebih 1 bulan, guru Matematika selalu membimbingku agar bisa bersaing diperlombaan tadi. Temanku yang ada dibidang yang sama selalu ragu akan puncak itu. Tapi itu tidak menyurutkan semangatku untuk terus berlatih mengerjakan soal-soal yang memusingkan. Selama itu aku mencoba untuk menghadapi segala soal yang tidak wajar. Mengatur jam belajar untuk sekolah maupun perlombaan. Mengatur tugas sekolah, juga membuat nameset(nama dan nomor punggung dibaju) yang sekarang menjadi lapangan pekerjaan baru untukku. 

          Sempat terpikir untuk berhenti, untuk mengakiri semuanya dan menyerahkan nya kepada orang lain. Tapi Bapak dan Ibu selalu mengatakan bahwa anaknya juga mampu, anaknya bisa untuk tetap berdiri disini. Bapak selalu yang optimistis. Selalu berkata iya jika anaknya sedang takut dilanda kebingungan. Bapak yang selalu menjadi Topangan ketika tubuhku tidak sanggup untuk dijalani sendirian. Aku menjadi kian percaya diri, ini adalah kesempatan yang gak akan ada lagi. Anggaplah kesempatan terakhir yang jika ditolak, ruginya sampai mati. Belajar pagi sampai malam juga bukan hal yang ku sesali lagi. Karena ikhlas, karena optimis, untuk bisa terbang jauh lebih tinggi. Tanpa lihat, bahwa gak menutup kemungkinan bahwa jatuh akan tetap ada dibawah sana. 

          Namun, setelah informasi KSN silih hilir mudik masuk ku terima, disatukan dengan orang-orang yang beragam dan sedang sama-sama berjuang, disitulah semesta menunjukkan bahwa sampai kapanpun yang diatas, akan ada yang lebih melaju tinggi. Keraguan, ketakutan, malah menelisik masuk tanpa disuruh. Bayangan kekecewaan kian menjadi ketakutan yang paling nyata. Percaya diri yang perempuan Taurus punya, kian hilang terkikis rasa iri yang terpupuk tanpa sengaja. Rasa itu kian menjadi kacau ketika sampai hari dimana simulasi untuk memulai lomba diadakan, rasa percaya diri itu, menjadi hilang semuanya. Bagaikan sesakit ombak yang memeluk pantai, rasa iri itu menerkam jiwa tak bersalah, terlihat biasa saja, namun tidak dengan didalamnya. Andai semesta tahu, kata maaf apalagi yang harus semesta kasih untuk manusia yang sudah gagal sebelum sampai. Sebelum memulai. 

           Hingga perlombaan dimulai. Doa Bapak dan Ibu selalu menyertai langkahku yang memberat. Iringan senyum Ibu yang menyapa matahari, kian melebar ketika aku sudah beranjak untuk pergi mengikuti lomba. Harapan besar sudah hilang sejak kapan. Yang kuharapkan sekarang, semoga bisa sampai meski sudah patah dijalan. Karena sekuat apapun meyakinkan, bukan saat ini untuk kembali merasa percaya dengan jiwa sendiri. Semesta, jika langkah sepatu yang sudah agak lusuh ini engkau ridhai untuk tetap merasakan terbang lebih lama, maka biarkan itu untuk berjalan mulus apa adanya. Namun, jika kejatuhan itu harus engkau berikan saat ini juga, berikan hati yang lapang untuk hati yang tidak lagi tegar. Semesta, jika sedih yang harus kuterima, biarkan kesakitan itu hanya ada padaku saja, jangan biarkan orangtua ku merasakan sedih yang mendalam. Biarkan dunia dengan musim yang semi dihidup mereka. Jangan biarkan setetes hujan membanjiri hidupnya. 

           Harapan besar itu kian menyusut ketika usai lomba. Ketegangan semakin terasa ketika kerabat, Bapak dan Ibu selalu menanyakan hal yang sama, perihal apa tadi bisa? Bagaimana, mudah? Pertanyaan itu semakin membuat ruang dada terhimpit kenyataan. Ketakutan semakin menggerogoti hal apapun yang masih bisa ku genggam. Rasa ketakutan itu, menjadi kian menggelayut kuat. Soal KSN yang tadi kukerjakan, tidak semulus sesuai rencana. Semua yang kuisi tidak ada satupun yang kutaruh dengan percaya diri. Semesta, kalau gagal bilang dulu. Kasih jeda untuk rasa sakit yang belum siap kuterima. 

           Aku berusaha untuk tidak mengingat itu kembali. Kenangan tidak memuaskan itu, melebur bagai angin yang kuusahakan untuk tidak mengingat nya lagi. Namun nihil, kejadian lomba itu semakin terbuka lebar ketika hasil pengumuman lomba dibagikan lewat handphone. Kabar yang harusnya diterima dengan senyum tulus yang merekah, kini bukan lagi harapan besar yang indah. Ku tarik nafas dahulu sebelum melihat hasilnya seperti apa. Deg. Jantung ku berhenti berdetak untuk sesaat. Buram rasanya. Sesak sekali. Ketika warna merah mewarnai nama indah yang tertera. 'Salma Meilani_Anda tidak lolos ketahap berikutnya ' air mengalir melewati mata yang sama sekali masih tidak percaya. Tangisan itu kian pecah, ketika Bapak yang mengelus kepala ku seraya berkata. 

"Gapapa, Bapak tetap bangga. Coba lain kali yah. Kita ambil hikmahnya sama-sama. Dan cari harapan baru yang kita curi dari semesta lagi. "

          Semesta, kenapa sakitnya sesesak ini? Kenapa gagal rasanya adalah hal yang menakutkan untuk ku coba lagi? Gagal yang kuterima, menjadi patokan hidup yang serba takut. Kenapa harus gini. Padahal sudah sekian lama aku berusaha untuk menantikan hasil yang bahagia. Bukan gini semesta. Bukan gagal seperti ini yang kumau. Bukan sesakit ini yang harus ada padaku. Kenapa gagalnya harus sekarang? Semesta, maaf. Aku akan benci kamu untuk waktu yang entah sampai kapan. 

          Rasanya semua di dunia ini tidak adil. Bahkan ketika proses sudah kulakukan lebih, namun hasil tidak memberikan kesempatan bahagia untuk datang. Aku semakin terpuruk ketika postingan guru yang menyatakan ucapan selamat untuk murid-murid yang lolos. Di dalam kamar yang sunyi itu, di balik selimut yang hangat, aku menangis kencang. Dadaku bagaikan remuk yang semakin hancur ketika suara Ibu memanggilku dengan khawatir. Semuanya jadi kjawatir, atas kelakuanku yang tak wajar. Deringan handphone dari teman silih berganti menanyakan kabar apa yang kudapat. Pupus. Hancur. Berakhir. Aku gagal semesta. Gagal. Untuk sakit yang kuterima lebih dari harapan itu sendiri. 

           Kesedihan itu masih terus berlanjut hari demi hari. Aku menjadi pendiam yang handal. Adik, maupun Bapak tidak mengangguku seperti biasa. Karena untuk apa? Disini saja aku sudah gagal kan? Bapak dan Ibu pasti kecewa. Tapi, apa yang terjadi kemarin juga terlanjur kujadikan abadi diruang yang besar. Salah kalau semuanya di bilang gak apa-apa. Kegagalan ini terlalu sakit. Karena gagal yang semesta kasih, gak main-main. 

          Padahal sebentar lagi ujian kenaikan kelas akan dimulai. Aku mencoba membalasnya dengan belajar mati-matian. Ku kerahkan semuanya untuk ujian yang sebentar lagi datang. Dentingan tangis sudah bukan lagi hal yang harus ada. Hatiku sudah kebal untuk gagal yang semesta kasih tanpa aba. Kulampiaskan semuanya disini. Bapak sudah geleng-geleng kepala melihat ku yang seharian hanya duduk dimeja belajar dan membuka buku pelajaran tiap harinya. Padahal Bapak tahu, aku lebih menyukai buku novel yang lebih menarik untuk dibaca. Namun, kala itu buku manarik yang selalu kubaca, tidak lagi menjadi hiburan untuk hati yang gak baik-baik aja. Keberhasilan yang kumau, menjadi main point akan cerita ku sekarang. Karena ternyata gagal yang semesta kasih gak asik buat dinikmati lama-lama. 

           Hari demi hari bagaikan bumi yang kemarau. Semuanya kering tanpa hujan yang hadir. Kesakitan ini lebih baik mengering tanpa setetes air yang turun. Karena sakit yang semesta kasih, terlanjur masuk, terlanjur abadi untuk bahagia yang entah datang kapan. Seandainya ini hanya sementara, jangan biarkan semuanya layu. Jangan biarkan semuanya hilang dirampas kegagalan kemarin. Sayangnya, aku sudah tak berani untuk mencoba berahap hal yang baik lagi pada semesta yang kata Bapak jail, namun menurutku jelas tak pernah adil. 

           Ujian akhir semester pun datang. Bagai almanak tanpa kaki, waktu ini berjalan tanpa tahu kenapa sudah di hari ini saja kita tumbuh berdiri? Dengan tekad yang hanya tersisa, aku belajar mati-matian untuk tidak lagi melihat seisi dunia kering. Bapak selalu menyiapkan susu hangat, Ibu yang selalu mengingat kan makan, Adik yang berubah penurut. Dan Kakak yang menjadi lebih peka keadaan. Kehangatan itu menjalar kedalam tubuh. Membawa ragaku untuk kembali merebut harapan besar yang sempat hilang. Dengan semangat yang kupunya, seminggu itu kuserahkan seisi hati yang tengah berusaha membaik. Raga yang berusaha percaya. Dan jiwa yang kuusahakan untuk memaafkan semesta. 

          Kehangatan semuanya, membuatku sedikit lebih nyaman. Ketakutan yang tak ada habisnya itu, tidak lagi menjadi dalam ketika kepercayaan diri itu kian membaik. Harapan ku kian tumbuh kembali. Pulang ketempat semula yang ternyata, selama ini tidak pernah ku suruh pergi selama nya. Dia tetap ada mengintip sampai waktunya untuk kembali kusuruh hadir. Kegagalan yang semesta kasih, ternyata menjadi rute yang nyaman ketika hati sudah berani ikhlas untuk menjalani semuanya berjalan beriringan. 

            Akhirnya, pengambilan rapot pun tiba. Bapak yang kembali mengambil hasil kegiatanku di sekolah selama ini. Bapak selalu mengatakan bahwa tak harus takut. Karena Bapak tak akan pernah menghakimi anaknya hanya karena nilai mereka tidak bagus. Namun, sesungguhnya bukan hal itu yang kutakutkan. Kekecewaan diwajah Bapak dan Ibu lah, yang lebih mengganggu tidurku selama ini. Bapak dan Ibu tak pernah menuntut ku untuk tetap selamanya mendapat nilai sempurna, mereka lebih menghargai proses dan kemampuan yang Alam kasih. Tapi, ada kalanya aku sebagai anak yang selalu ingin melihat Bapak dan Ibu senang karena anaknya juga bisa juara. Bisa menjadi lebih seperti harapan yang selalu mereka panjatkan seiring dengan langkahku yang terus berjalan kedepan. 

           Bagian Bapak dipanggil. Aku cemas. Menunduk berharap semesta tidak 'jail' untuk kali ini saja. Capek semesta. Kegagalan kemarin juga belum usai. Jangan kasih sedih yang berat dulu, belum kuat. Semuanya lagi ku usahakan buat reda dulu. Tunda sampai semuanya baik-baik aja, ya semesta? Aku mohon. Karena setegar-tegarnya hati manusia juga bisa kecewa. Bisa rapuh untuk waktu yang entah sampai kapan mereka ikhlaskan. Syukur kalo itu bisa cepat pulih, kalau tidak, bantu sembuhkan dengan cepat, yah. Karena meski gagal adalah rute terbaik untuk memperbaiki diri, namun bukan berarti layak untuk dinikmati terlalu lama. 

          Senyuman Bapak merekah. Tangan hangatnya mengelus kepalaku lembut. Aku beralih menatap Bapak. Semesta, janji kasih kabar yang baik, yah? Setidaknya kasih kesempatan buat aku liat senyum Bapak yang bangga. Gagalnya, sudah di introspeksi. Sudah di telaah. Jadi, janji untuk kasih kabar baik yah, hari ini. Buat Bapak dan Ibu setidaknya bangga untuk hari ini, karena pencapaian anaknya yang selalu menyusahkan mereka. Gagal kemarin, cukup hari itu aja, yah. Biarin terbang ku lebih tinggi dari hari itu. 

 

"Kenapa? Jelek, yah?" Aku menatap Bapak ragu. 

"Juara satu nih bos, masih cemberut? Juara satu loh. Masih perlu ngurung diri di kamar?"

"Loh? Beneran?"

"Iya gusti. Gapercayaan banget sama Bapak sendiri. "

"Lah?"

"Teh, berhasil juga ada waktunya. Kegagalan yang belum sempat diselesaikan kemarin, tuntas hari ini. Selamat yah. Nanti di jalan teriak, pamer sama semesta kalo anak Bapak juga layak ada dipuncak bahagia yang lama. "

"Hahaha. Boleh teriak kan kali ini, Pak?"

"Boleh deh buat orang yang dari kemarin capek-capekan belajar. Tapi teriaknya pelan-pelan aja, yah. "

"Ih hahaha. Sama aja bohong. "

           Aku tersenyum. Semesta, makasih buat bahagia yang nyatanya gak pernah surut. Gak pernah hilang, namun hanya tersendat. Makasih untuk selalu ada meski gak keliatan. Maaf yah. Pernah benci untuk jangka waktu yang lama. Untuk alasan yang kekanakan. Semesta, makasih untuk selalu ciptakan bahagia yang sempurna. Makasih untuk tetap menyimpan senyum Bapak dan Ibu yang indah. Jangan pernah hapus itu ya semesta, karena kekecewaan mereka adalah sakit yang nyata. 

          Inilah akhirnya. Gadis taurus yang sempat mengira semesta jahat, nyatanya adil yang sebaik-baiknya. Semesta hanya menunda bahagia kita sekejap saja. Gagal yang dia kasih adalah bentuk perhatian yang hangat. Andai semesta tahu, betapa bahagia ini akan kupinta untuk abadi selamanya. Karena ternyata, gagal bukanlah usai. Dia hanya menjadi rute pemberhentian yang aman, gak suntuk di jalan, jika kita mampu menggunakan waktu yang semesta kasih sebaik mungkin.

           Kata Bapak, semesta cuman jail. Kalo kamu sedih, tuntasin itu sampai habis. Karena nanti bahagia akan menggapaimu dengan penuh sukacita. Semangat yah. Gak ada sukses yang mudah, gak ada sukses yang cepat. Semuanya proses yang indah dan rahasia.

Kalo gagal melingkupi harimu, tuntaskan itu sebaik mungkin. Seikhlas yang kamu bisa. Jangan biarin untuk terus ada. Karena senyamannya kegagalan, dia bukan hal yang layak untuk dinikmati lama-lama. 

          Semangat ciptakan bahagia mu yang layak untuk tumbuh lama. Dan gagalmu yang menjadi rute sebentar untuk kembali melaju. Terbang tinggi dan keluar dari zona nyaman yang ada. Susah, tapi gak bakal ngecewain ko akhirnya. 

Salma, Si perempuan taurus pamit undur diri. 

Aku selalu tunggu kalian untuk cerita in bahagia milik kalian sendiri. 

Selama apapun itu, aku tunggu, buat kamu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun