Â
     Dengan tatapan Bapak yang tulus. Saat itu, andai tidak mengutarakan pemahaman yang salah, aku tidak akan pernah tahu bahwa Bapak dan Ibu sangat mencintai anaknya dengan porsi yang sama dan tanpa berlebihan. Karena seperti yang Bapak bilang, bahwa setiap jiwa yang lahir itu berbeda, maka perlakuan yang Bapak kasih pada tiap anaknya juga wajar jika tak sama. Mungkin saja, Bapak harus bersikap lebih lembut kerena hati Kakak lebih rapuh. Bapak yang lebih semangat ketika membicarakan anak laki-lakinya yang gemar bola, mungkin saja itu cara Bapak untuk membuat Adik semangat. Toh nyatanya Bapak tetap sayang semua anak nya. Bukan salah satunya. Jangan biarkan terus rasa iri memupuk hati selama itu, jangan biarkan rasa iri mengalir bagai eratnya darah dan nadi. Jangan pernah biarkan rasa iri untuk masuk sampai kapanpun itu.Â
      Aku menatap Bapak, tak yakin. "Pak, sebentar lagi perlombaan KSN bakal dimulai, selepas itu, universitas yang bakal dijadikan medan perang. Dewasa rumit yah, Pak? Ternyata takut. Lebih gak kelihatan dan gak jelas kaya crush."Bapak tertawa kencang malam itu.Â
"Ko pacarnya gak jelas, malah diterima?".Â
" Ih... Bukan pacar Pak. Perumpamaan. Tapi Pak, ko dewasa harus kaya gini? Harus serba teka-teki, serba dadakan tapi maunya yang berlebihan. " Bapak tersenyum.Â
" Gak ada yang salah sama dewasa. Emang sulit sih. Serba dadakan emang iyah. Makanya, hidup tuh apa adanya aja, bukan seandainya. "
"Loh apa adanya mah miris banget. Pasrah banget sama semesta yang kadang taruh takdir seenaknya. Curang yah, Pak. Masa cuman orang dewasa yang dia kasih kesulitan?"
 "Semesta curang dalam hal apa? Gak ada kata semesta yang gak adil ko. Adanya semesta yang jail kali." Aku membantah perkataan Bapak.Â
"Sama aja kali, Pak." Jawabku kesal.Â
"Beda dong. Gak adil tuh ujungnya rugi. Kalo jail, ya semesta cuman main-main doang. Nanti juga dia balikin lagi ke semula. Kenapa takut banget gak sesuai sih? Emangnya hidup menyimpang sedikit itu gak boleh? " Aku mengerutkan dahi tak paham.
"Menyimpang gimana pak?". Bapak menatapku jahil. Dahi dan halisnya selalu membuatku kesal ketika Bapak membuat wajahnya so kegantengan, yang selalu Bapak puji nyata.Â