Â
Jelang sore, kami telah sampai di perkemahan tepi danau Segara Anak. Wajah kami menahan luapan emosi akibat takjub pada bentang alam dan tantangan cuaca pendakian. Otak dan hati kami bergelora mengoreksi kesalahan-kesalahan yang menggagalkan enam orang meraih puncak 3726 mdpl. Saya kemudian memahami arti gencarnya suntikan semangat dari banyak pendaki yang berpapasan dengan kami kemarin hari. Memahami arti kesungguhan niat di awal keberangkatan. Memahami arti persiapan latihan fisik yang sepadan. Pun juga memahami akibat rasa meremehkan. Meski rasa itu hadir sedikit saja di masa persiapan pendakian namun mampu menggagalkan pencapaian.
Â
Â
Â
Â
Kini sudah hampir setahun sejak pendakian Rinjani Oktober 2014 itu. Masih ada rasa berhutang. Ada kesalahan strategi yang belum terbayar. Serta summit attack yang belum tercapai. Adakah bentuk kegiatan lain yang mampu membayar hutang itu? Namun di balik hutang itu ada bentuk berkah lain yang bisa tergenggam. Peserta pendakian merasakan sendiri bagaimana proses kegagalan itu terjadi. Rupanya ketinggian 3726 mdpl pada Rinjani, karakternya cukup ganas. Tingginya kecepatan angin adalah faktor di luar perhitungan. Ketepatan menejemen pendakian versus toleransi mengakomodasi banyak peserta dengan berbagai usia membuahkan hasil terbaik yang telah kami capai bersama. Setidaknya ada empat orang (dua pegawai BNI dan dua dari nasabah BNI) berhasil mencapai puncak. Ke empat orang yang berhasil itu mempunyai modal tekad besar yang tidak dimiliki enam peserta lainnya. Keunggulan fisik saja –tanpa besarnya tekad– tak akan mampu mengantar seseorang mencapai puncak. Kegiatan yang difasilitasi BNI cabang Sumbawa Besar bersama grup hashnya mengijinkan saya mendapatkan pengalaman berharga. Poin berharga itu antara lain menanamkan nilai kemanusiaan dari hadirnya sosok porter yang luar biasa. Kedua, kami bisa melihat sendiri pengaruh bandara internasional di Pulau Lombok pada besarnya arus wisatawan mancanegara ke Gunung Rinjani.