Selain bertemu banyak kewarganegaraan, kami juga mulai ditantang kemiringan tanjakan yang mencapai 30 sampai 45 derajat. Saya mulai melirik para porter. Lihatlah beban yang dibawanya (lihat foto di bawah ini).
Tanpa beban saja kami sangat lambat mendaki. Namun para porter dengan beban sebesar itu masih sanggup mendahului kami yang tanpa beban. Perbedaan fisik bagai bumi dan langit itu memberi kesan mendalam pada grup hash kami. Tak sanggup lagi saya berkata-kata. Kekuatan mereka menjadi catatan tersendiri dengan torehan yang kuat di hati untuk bekal menjalani hidup selanjutnya. Saya jadi teringat para pencari belerang di sekitar kawah Gunung Ijen di Jawa Timur. Mereka mirip satu sama lain.
Malam hari di perkemahan, tusukan suhu rendah makin melemahkan nyali. Angin juga kurang bersahabat. Di tambah lagi dengan kisah pasir licin yang disampaikan teman nasabah yang pernah melaluinya. Melalui jalur pasir itu ibarat melangkah maju tiga langkah, disertai mundur dua langkah. Saya langsung memutuskan mundur dari rombongan summit attack. Satu jam jelang pendakian, suami saya mengingatkan dengan setengah menantang.
“Sudah sejauh ini kok mau mundur? Sia-sia saja jadinya yang sudah dilakukan tadi.”
Dua pegawai muda BNI dan seorang wanita –Bu Lanny– yang sedianya bersama saya mendaki juga turut menyayangkan keputusan mundur itu. Akhirnya saya berbalik arah, batal mundur demi tantangan dan semangat yang diberikan suami serta teman-teman dalam tim dini hari itu. Pukul dua dini hari kami sepuluh orang mulai bergerak naik. Empat orang tidak turut serta. Mereka tetap di perkemahan. Waktu kami tidaklah banyak. Karena siang hari grup hash BNI telah dijadwalkan turun ke danau kawah. Di sana akan mendirikan kemah kembali dan menginap semalam di tepi danau Segara Anak. Hempasan angin dingin tidak berhenti sepanjang perjalan naik. Kecepatan angin itu makin keras saja. Luluh lantak mental kami dibuatnya. Sepuluh peserta mampu bertahan dalam tiga jam pertama. Pasir licin dan angin dingin sangat menguras daya tahan saya. Tiga setengah jam saja saya bertahan naik dan akhirnya berhenti. Dari sepuluh peserta, sayalah yang paling belakang. Bu Lanny –rekan saya– adalah wanita 50-an tahun yang jauh lebih tangguh dari saya. Namun beliau juga menyerah bersama saya. Kami berdua duduk di balik batu menahan dingin yang luar biasa. Dua jam kemudian tiga orang juga menyerah. Mereka adalah Pak Dirja, Pak Ade dan Pak Budi. Ketiganya nasabah BNI yang kekuatan fisik serta mentalnya tergolong tangguh di antara kami. Sepertinya faktor usia yang mempengaruhi keputusan mereka untuk turun sebelum mencapai puncak. Berikutnya seorang peserti lagi menyerah. Ia pegawai BNI yang masih muda, namun tenaganya telah habis terkuras karena membantu menarik tangan rekannya sepanjang lintasan pasir licin. Empat orang sisanya tetap melanjutkan naik. Mereka itulah yang berhasil meraih summit attack.