Syamsuddin menyerah. Dia pun harus mengumpulkan segenap keberaniannya, kemudian memilih diksi yang pas untuk mengatakannya kepada Inna.
"Saya sudah menggunakan segala daya dan upayaku, tapi botol itu tidak ketemu, saya sangat menyesal sayangku," kata Syamsuddin kepada Inna, dengan degup jantung yang lebih cepat, dua hari kemudian.
"Tidak apa, mungkin sudah kehendak Allah. Semoga bermanfaat bagi yang menggunakannya. Saya ke masjid dulu ya, ada pengajian," jawab Inna.
Syamsuddin terkejut. Dia bengong mendengar jawaban istrinya yang kemudian memakai mukena lalu berlalu pergi begitu saja. Tidak biasanya Inna melontarkan kalimat seperti itu. Seharusnya dia mengomel.
Inna memang dalam beberapa pekan terakhir rutin mengikuti pengajian. Entah apa gerangan yang memikatnya. Dalam sepekan terakhir, sejak rutin mengikuti pengajian, jilbanya juga makin lebar, menjuntai hingga bagian pinggul.
Syamsuddin terkesima. Siapapun ustadz, atau ustadzah yang menggelar pengajian itu, dia telah mengubah perspektif istrinya tentang cinta dan memiliki.
Sungguh besar jasa ustadz di majelis itu, yang telah mengubah istrinya menjadi pribadi yang merelakan. Ikhlas. Sebuah nilai yang dirinya sendiri pun sulit untuk membenamkannya ke dalam diri Inna di sepanjang dekade usia pernikahannya. Tetapi ustadz di majelis taklim itu cuma butuh waktu sepekan.
Siapapun dia, Syamsuddin ingin menemuinya, dan menyampaikan terima kasih yang dalam.
Makassar, 17 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H