Dalam pertemuan antara Kepala Bank Indonesia (BI) Wilayah I Sulampua (Sulawesi Maluku Papua), Suhaedi, dengan wartawan di ruang direksi Harian Fajar, Graha Pena, 30 September lalu, Suhaedi mengungkapkan, bank-bank milik pemerintah (BUMN), selama ini bergerak dengan kuasi fiskal. “Meskipun milik pemerintah, pada dasarnya (Bank BNI, BRI, Mandiri, BTN), perbankan ini adalah commercial bank. Pengelolaanya privat,” ujar dia.
Makanya, menurut Suhaedi, pemerintah yang baru, bersama BI, sebaiknya membentuk sebuah perbankan yang tidak bergerak seperti commercial bank. Bank yang tidak mengejar profit, dan mendapat sokongan dana pemerintah, harus dibentuk, untuk bisa memodali sektor-sektor pertanian, kelautan, hingga UMKM yang bersifat high risk. Pemerintah harus siap menanggung risiko, dengan setia member subsidi. “Dengan kesadaran bersama-sama, bahwa kredit yang disalurkan bank ini memang berisiko,” jelas dia.
Apalagi, dengan kondisi saat ini, porsi kredit perbankan untuk sektor pertanian masih sangat minim, khususnya di daerah-daerah yang mengandalkan sektor pertanian. Padahal, pertanian merupakan penyumbang PDB terbesar. Secara nasional, pertanian menyumbang hingga 11 persen PDB nasional. Namun, porsi kredit perbankan cuma 5 persen dari total kredit perbankan yang mencapai di atas Rp2.700 triliun. (lihat: http://www.jawapos.com/baca/artikel/1420/Minim-Kredit-Perbankan-ke-Pertanian).
Di Sulawesi Selatan, porsi kredit pertanian cuma 1,74 persen. Padahal, di daerah penghasil beras ini, PDRB pertanian berkontribusi sekitar 10 persen, atau kedua terbesar.(Data Bank Indonesia Sulampua).
Karena itu, saya kira, di antara berbagai kebijakan makro BI, perhatian besar terhadap produk pertanian juga sangat penting. Ini juga untuk menunjang keinginan Jokowi untuk swasembada pangan dalam tiga tahun mendatang.
Jika sektor pertanian kuat, maka dengan begitu, struktur perdagangan domestik juga kuat. Maka, kita bisa melepas ketergantungan barang-barang pangan dari luar negeri. Sejarah membuktikan, perdagangan domestik yang kuat, membuat Negara tidak mudah terganggu imbas ekonomi global. Di tahun 1998, di kala krisis moneter Indonesia, struktur perdagangan domestik, mikro, termasuk oleh pelaku-pelaku UMKM, hadir menjadi penyangga penyangga yang membuat kita bertahan. Di saat yang sama, perbankan-perbankan dan perusahaan swasta harus kolaps karena utang luar negeri yang membengkak tidak terkendali.
Perkuat Kelembagaan Pasar Mikro
Kita paham, bank pertanian yang membiayai kegiatan pertanian dan kelautan, mungkin sulit bertumbuh dengan baik, dan mungkin diwarnai kredit bermasalah yang tinggi. Ada solusi yang diberikan oleh Mantan Menteri BUMN, Tanri Abeng. Menurut dia, penyatuan berbagai lembaga usaha mikro ke dalam satu wadah yang saling terkoordinasi, di bawah satu kementerian, adalah salah satu caranya.
“Pemerintah perlu melakukan restrukturisasi pada unit-unit usaha mikro, dengan menyatukan usaha-usaha tersebut dalam satu badan usaha yang dimiliki oleh rakyat. Jadi, supaya bank (Pertanian) bisa untung, usaha-usaha mikro (pertanian) ini harus bersatu dalam badan usaha yang solid. Badan usaha ini dikelola secara bisnis, korporasi, bukan dimiliki orang pribadi seperti sekarang," ungkap Tanri yang dikenal dengan ide privatisasi aset-aset negara ini.
Catatan yang cukup panjang ini paling tidak mengungkapkan kepercayaan kita, dan keyakinan kita, terhadap Jokowi, dan Bank Indonesia. Dengan persoalan ekonomi sosial politik di sepanjang tahun ini, mungkin BI sulit mewujudkan target pertumbuhan kredit di kisaran 15-17 persen. Termasuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5,8 persen hingga akhir tahun.
Tapi, dengan kebijakan yang tepat dan cepat, termasuk beberapa gagasan yang ditawarkan untuk bisa mewujudkan stabilitas sistem keuangan ini, saya kira tahun 2015 mendatang, kita akan kembali bangkit. Kuncinya adalah percaya, dan yakin.