“Kebijakan makro dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, sebaiknya dimulai dari pembenahan industri perbankan.”
DAPAT dipastikan, kita tidak mungkin bisa memproyeksi sampai 100 persen situasi ekonomi di masa akan datang.Bagaimanapun sempurnanya rumusan dan teori yang mendasari prediksi itu. Kita juga tidak bisa memastikan, kebijakan makro ekonomi yang ditempuh pemerintah benar-benar bisa menyelesaikan persoalan sesuai targetnya. Hanya Tuhan yang tahu.
Kita tidak tahu bagaimana hitung-hitungan Presiden kita, Jokowi, saat menaikkan harga BBM sebesar Rp2.000. Bahkan Jokowi pun belum tahu sepenuhnya, di masa mendatang, kebijakan itu benar-benar sukses mensejahterakan rakyat. Meskipun dia selalu yakin kebijakannya benar. Kita tidak tahu, apakah pendapat pengamat ekonomi, atau mahasiswa, dengan perspektif bahwa kenaikan BBM justru bikin rakyat semakin sengsara, itu benar atau tidak.
Bahkan, saya kira, para anggota Dewan Gubernur BI (Bank Indonesia) itu, yang memutuskan
menaikkan BI rate ke level 7,75 persen, benar-benar yakin keputusannya sudah tepat. Saya kira mereka pun tidak 100 persen meyakini, kebijakan makro itu benar-benar menjaga defisit neraca berjalan, menjaga likuiditas perbankan, dan meningkatkan pertumbuhan kredit setelah keputusan kenaikan BBM..
Namun, satu hal yang penting. Saya percaya Jokowi, dengan pengalaman matangnya di dunia pemerintahan. Saya pun percaya para praktisi dan ekonom BI, yang punya kapasitas dan pemahaman yang matang, kala menentukan suku bunga acuan.
Mengapa harus percaya? pertama, tentu saja karena kepercayaan-lah yang membuat langkah pemerintah bisa berjalan langgeng tanpa hambatan. Kedua, rata-rata pengamat dan ahli ekonomi yang saya percayai, berpendapat, bahwa mengurangi subsidi BBM di akhir tahun 2014, adalah satu-satunya
"pilihan darurat" untuk meringankan beban fiskal secara cepat.
Sehingga, di tahun 2015 mendatang, pemerintah bisa fokus menjalankan program-programnya, sesuai anggaran APBN atau APBD 2015, dengan beban fiskal yang lebih ringan tentunya. Tidak terkecuali dalam upaya-upaya menjaga stabilitas sistem keuangan.
Ketiga, Presiden Jokowi menjalankan apa yang menjadi keinginan banyak ahli ekonomi, termasuk orang-orang BI: jangan membuat rencana kenaikan BBM diwarnai ketidakpastian, dan menggantung terlalu lama. Sebab, dengan wacana yang terlalu lama saja, sudah memicu ekspektasi berlebihan, dan memicu inflasi. Alhasil, Jokowi menaikkan BBM hanya dalam waktu empat pekan setelah dilantik. Termasuk BI yang langsung mengubah suku bunga acuan, hanya dalam dua hari setelah BBM naik.
Ya, saya kira, Jokowi dan Jusuf Kalla (JK), adalah orang yang hebat dalam hal "risk taking". Berani mengambil keputusan cepat yang berisiko, meskipun dengan kebijakan yang tidak populer. Dalam situasi ekonomi Indonesia sekarang, saya kira kita mendapat presiden dan wakil presiden pada momentum yang tepat.
Karena dasar itu pula, kita pun harus percaya rencana pemerintah mengalihkan subsidi BBM untuk membangun infrastruktur, khususnya jalan, irigasi, waduk, serta berbagai fasilitas penunjang pangan di negeri ini. Ini juga tentu harus cepat. Supaya cepat, tentu saja diperlukan sebuah sistem keuangan yang stabil. Tidak sekadar kemampuan fiskal yang memadai. Dukungan dari sektor jasa keuangan juga dibutuhkan.
Dalam tahun-tahun mendatang, khususnya setelah berlakunya kesepakatan integrasi ekonomi yang diatur dalam ASEAN Economic Community (AEC), kita yakin investasi asing akan mengalir deras masuk ke dalam negeri. Apalagi, setelah Presiden Jokowi kabarnya sukses “menjual” Indonesia saat berpidato di hadapan para CEO dunia, dalam APEC CEO Summit, 10 November lalu.
Namun, investasi asing tentu saja diiringi oleh belanja modal berupa alat-alat dan kebutuhan, yang rata-rata diimpor. Sebagai contoh, investasi smelter, atau industri pemurnian bijih besi, industri pengolahan kakao, direalisasikan dengan membeli komponen peralatan, mesin, sparepart, hingga komponen pembangkit listrik yang berasal dari luar negeri. Dengan begitu, tentu saja impor bisa membeludak, dan menambah defisit perdagangan.
Berdasarkan keterangan Kementerian Perdagangan RI, saat ini, defisit neraca perdagangan luar negeri Indonesia mencapai hingga USD318,3 juta sampai pada Agustus 2014 lalu. Kinerja ekspor mengalami peningkatan 2,5 persen dibanding Juli 2014, mencapai US$ 14,5 miliar. Sedangkan, kinerja impor bertumbuh lebih besar 5,1 persen dibanding Juli 2014, menjadi US$14,8 miliar. Beberapa komoditas impor dari sektor belanja modal untuk industri, yang memberi pengaruh, antara lain, mesin-mesin pesawat mekanik yang tumbuh 21,2 persen, dan mesin peralatan listrik tumbuh 20,3 persen. (lihat: http://nasional.kontan.co.id/news/impor-gas-turun-28-defisit-dagang-makin-tipis)
Kita patut mengapresiasi langkah-langkah moneter dan makropruensial BI yang terus berupaya menekan defisit neraca perdagangan, dengan menahan suku bunga acuan (BI Rate), pada level yang cukup tinggi. Termasuk di antaranya tengah mengkaji aturan rasio pinjaman terhadap aset atau LTV (Loan to Value) untuk kredit berkandungan barang-barang impor.
Namun, saya kira, beberapa langkah lain juga patut dipertimbangkan. Jika kebutuhan investasi memang harus dengan impor barang-barang luar negeri, paling tidak negara ini bisa menyiapkan instrumen pembiayaan yang sanggup menunjang berbagai investasi dalam skala besar. Sehingga, tidak lagi memanfaatkan pembiayaan dari luar negeri.
Dorong Konsorsium Perbankan
Sebagai Bank Sentral, saya kira BI perlu mendorong setiap perbankan melengkapi tenaga-tenaga ahli yang paham dan mampu mengkaji prospek-prospek bisnis yang baru itu. Industri smelter misalnya, yang selama ini, lebih banyak dibiayai oleh industri keuangan asing. Selain itu, jika memang modalnya tidak cukup besar, saya kira perbankan bisa dodorong untuk membentuk konsorsium untuk membiayai smelter.
Sejauh ini, kita lihat, industri smelter dilihat memiliki prospek yang besar. Di Sulawesi Selatan, Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Sulsel mencatat, ada lebih dari delapan perusahaan smelter baik itu lokal maupun asing –khususnya dari Tiongkok, yang menyatakan kesiapan berinvestasi membangun. Meskipun, baru tiga di antaranya yang sudah pasti dan tengah merealisasikan investasinya di Kabupaten Bantaeng, dan diperkirakan rampung 2017. (Harian Fajar Edisi 7 Mei)
Hanya saja, minat berinvestasi tersebut belum didukung dengan baik oleh perbankan dalam negeri. “Kita cukup sulit memanfaatkan fasilitas perbankan dalam negeri. Makanya, karena komponen alat ini kita beli dari luar negeri, dari Tiongkok, fasilitas pembiayaannya juga dari sana,” jelas Presiden Direktur Kalla Group, Fatimah Kalla, 7 September lalu. Perusahaan lokal Sulsel ini berniat membangun mini smelter di daerah Luwu, untuk mendukung program hilirisasi tambang oleh pemerintah. Namun, ikut terkendala fasilitas pembiayaan.
“Kita sarankan, sebaiknya ada konsorsium atau sindikasi perbankan, untuk membiayai pembangunan smelter ini. Kita maunya, industri smelter ini dibiayai oleh perbankan dalam negeri, supaya kita bisa membantu menekan defisit transaksi,” tambah CEO Bosowa Resources, Munafri Arifuddin, 9 September. Perusahaan lokal ini juga berencana membangun smelter beserta pembangkit listrik, di Kabupaten Jeneponto.
Head of Bussines Banking BNI Wilayah Makassar, Babas Bastaman, mengungkapkan, pada dasarnya, BNI ingin menyalurkan pembiayaan smelter. Hanya saja, menurut dia, korporasi masih berhati-hati. "Karena, smelter ini kan industri yang baru, dan kita selama ini belum punya pengalaman banyak untuk sektor itu. Kita masih harus berhati-hati, dengan melihat investor yang mau pinjam uang," ujar Babas, 9 September. Dia mengaku, sudah sering mendapat permohonan pembiayaan smelter. Tapi, belum bisa diterima.
Bentuk Bank Pertanian
Dalam pertemuan antara Kepala Bank Indonesia (BI) Wilayah I Sulampua (Sulawesi Maluku Papua), Suhaedi, dengan wartawan di ruang direksi Harian Fajar, Graha Pena, 30 September lalu, Suhaedi mengungkapkan, bank-bank milik pemerintah (BUMN), selama ini bergerak dengan kuasi fiskal. “Meskipun milik pemerintah, pada dasarnya (Bank BNI, BRI, Mandiri, BTN), perbankan ini adalah commercial bank. Pengelolaanya privat,” ujar dia.
Makanya, menurut Suhaedi, pemerintah yang baru, bersama BI, sebaiknya membentuk sebuah perbankan yang tidak bergerak seperti commercial bank. Bank yang tidak mengejar profit, dan mendapat sokongan dana pemerintah, harus dibentuk, untuk bisa memodali sektor-sektor pertanian, kelautan, hingga UMKM yang bersifat high risk. Pemerintah harus siap menanggung risiko, dengan setia member subsidi. “Dengan kesadaran bersama-sama, bahwa kredit yang disalurkan bank ini memang berisiko,” jelas dia.
Apalagi, dengan kondisi saat ini, porsi kredit perbankan untuk sektor pertanian masih sangat minim, khususnya di daerah-daerah yang mengandalkan sektor pertanian. Padahal, pertanian merupakan penyumbang PDB terbesar. Secara nasional, pertanian menyumbang hingga 11 persen PDB nasional. Namun, porsi kredit perbankan cuma 5 persen dari total kredit perbankan yang mencapai di atas Rp2.700 triliun. (lihat: http://www.jawapos.com/baca/artikel/1420/Minim-Kredit-Perbankan-ke-Pertanian).
Di Sulawesi Selatan, porsi kredit pertanian cuma 1,74 persen. Padahal, di daerah penghasil beras ini, PDRB pertanian berkontribusi sekitar 10 persen, atau kedua terbesar.(Data Bank Indonesia Sulampua).
Karena itu, saya kira, di antara berbagai kebijakan makro BI, perhatian besar terhadap produk pertanian juga sangat penting. Ini juga untuk menunjang keinginan Jokowi untuk swasembada pangan dalam tiga tahun mendatang.
Jika sektor pertanian kuat, maka dengan begitu, struktur perdagangan domestik juga kuat. Maka, kita bisa melepas ketergantungan barang-barang pangan dari luar negeri. Sejarah membuktikan, perdagangan domestik yang kuat, membuat Negara tidak mudah terganggu imbas ekonomi global. Di tahun 1998, di kala krisis moneter Indonesia, struktur perdagangan domestik, mikro, termasuk oleh pelaku-pelaku UMKM, hadir menjadi penyangga penyangga yang membuat kita bertahan. Di saat yang sama, perbankan-perbankan dan perusahaan swasta harus kolaps karena utang luar negeri yang membengkak tidak terkendali.
Perkuat Kelembagaan Pasar Mikro
Kita paham, bank pertanian yang membiayai kegiatan pertanian dan kelautan, mungkin sulit bertumbuh dengan baik, dan mungkin diwarnai kredit bermasalah yang tinggi. Ada solusi yang diberikan oleh Mantan Menteri BUMN, Tanri Abeng. Menurut dia, penyatuan berbagai lembaga usaha mikro ke dalam satu wadah yang saling terkoordinasi, di bawah satu kementerian, adalah salah satu caranya.
“Pemerintah perlu melakukan restrukturisasi pada unit-unit usaha mikro, dengan menyatukan usaha-usaha tersebut dalam satu badan usaha yang dimiliki oleh rakyat. Jadi, supaya bank (Pertanian) bisa untung, usaha-usaha mikro (pertanian) ini harus bersatu dalam badan usaha yang solid. Badan usaha ini dikelola secara bisnis, korporasi, bukan dimiliki orang pribadi seperti sekarang," ungkap Tanri yang dikenal dengan ide privatisasi aset-aset negara ini.
Catatan yang cukup panjang ini paling tidak mengungkapkan kepercayaan kita, dan keyakinan kita, terhadap Jokowi, dan Bank Indonesia. Dengan persoalan ekonomi sosial politik di sepanjang tahun ini, mungkin BI sulit mewujudkan target pertumbuhan kredit di kisaran 15-17 persen. Termasuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5,8 persen hingga akhir tahun.
Tapi, dengan kebijakan yang tepat dan cepat, termasuk beberapa gagasan yang ditawarkan untuk bisa mewujudkan stabilitas sistem keuangan ini, saya kira tahun 2015 mendatang, kita akan kembali bangkit. Kuncinya adalah percaya, dan yakin.
Hasbi Zainuddin (Jurnalis di Desk Ekonomi Harian Fajar Makassar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H