Mohon tunggu...
Kiara Vie
Kiara Vie Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Masih Ada, Tuhan

2 Oktober 2016   21:03 Diperbarui: 2 Oktober 2016   21:10 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Langitlahi.com"][/caption]
Aku Masih Ada, Tuhan

 "Kita akan membiarkan rindu ini menguning, Nay. Sampai renta benar-benar berada di titik pikun, lalu puisimu abadi sebagai pendampingku." Kata August-ku dari seberang sana sesaat sebelum kami menyelesaikan percakapan melalui ponsel.

***
Sedang saat itu hatiku tidak baik-baik saja. Aku dan tahun-tahun penantian, menyaksikan perlakuan Tuhan yang seolah-olah telah mementahkan doa dan harapan agar cinta kami bersatu. Lalu beberapa orang mengatai kami naif.

Lantas kalian pikir aku peduli? Aku sudah cukup lelah diabaikan, dikhianati dan dibenarkan kalau kepergian Ayah itu karena takdir. Tidak ada sangkut pautnya dengan penghianatan Zoe. Kupikir tidak sesederhana itu. Dan pastilah kalian tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan dua orang sekaligus dalam waktu dekat. Menanggung malu akibat gagalnya sebuah pernikahan, lalu berujung pada kematian Ayah.
Dan jikapun sampai saat ini aku masih baik-baik saja. Itu karena beberapa kali aku telah gagal mencoba mengakhiri hidup. Beberapa kali membuat Ibu jatuh pingsan dan melihat dukanya yang miris sekali. Berkata-kata banyak hal tentang kekuatan, tentang nasib yang setelahnya akan berbaik hati dengan bahagia bersama yang lain.
Juga perihal menyintai, itu tidak mudah. Dan itu pula yang akhirnya mau tidak mau harus kuterima pinangan sahabatku sendiri.

"Kita malu mendengar kasak-kusuk tetangga, Nay. Kau itu seperti perempuan tak laku saja sampai harus melajang di usia yang sudah kepala tiga begini." Kata Bang Nur waktu itu.

"Terus?"

"Iya--menikahlah!"

"Sama kambing?" Selorohku.

"Ro menyintaimu. Apa itu kurang?"

"Tapi aku tidak sayang dia, Bang. Abang ngerti nggak sih!" Jawabku ketus pada Abang sepupuku itu.

"Tahu--tahu! Karena kau menyintai Lelaki yang sudah beristri itu kan? Mau jadi apa kau, Nay! Bikin malu saja!" Bang Nur berlalu. Meninggalkanku sendirian dan membiarkan aku menelan mentah-mentah ketidak setujuannya atas hubunganku dengan August.

Well, keputusan keluarga sudah diambil. Ro sudah melamarkau sebulan yang lalu dan membuat kesepakatan akan menyegerakan pernikahan kami.
Lalu hari-hariku mulai disibukkan dengan keperluan belanja, mencari bahan dan warna kain untuk gaun pernikahan. Ukur sana-sini, dan seolah-olah tak ada habis-habisnya. Sampai ke-pernak-pernik hiasan untuk pra-weedeng. 'Duuh, dan itu sangat memuakkan.'

"Hun, aku perlu bicara siang ini. Kutunggu di tempat biasa ya?" Kataku melalui pesan singkat yang kukirim ke ponsel August.

Tepat jam 13:00 kulihat mobil rush hitam memasuki halaman kafee Morin's. Dan aku tahu pasti kalau itu August-ku.

"Sudah pesan makanan, Sayang?" Tanyanya sambil mengecup keningku.

"Belum. Aku tidak sedang berselera makan. Kau mau kupesankan sesuatu?"

"Kentang goreng sama soft drink saja." Ia menjawab lembut dengan tatapan teduh yang selalu kurindukan.

"Hun--"

"Iya?"

"Aku-- " Entah bagaimana caraku memulai bicara. Rasanya ini berat sekali. Tapi bagaimanapun berita ini memang harus disampaikan.

"Aku---, Aku menerima pinangan Ro."

"Pinangan? Sayang--- Kau? Ya Tuhaaan."

"Well, Aku tidak punya pilihan, Hun. Aku minta maaf."

Kami hening. August menunduk dalam, menekuri meja yang masih kosong. Sedang aku masih terus mengulang-ulang kata maaf.

Sejak kejadian siang itu aku tidak bisa lagi menghubungi kekasihku. Ponselnya mati, sedang untuk menelphone ke rumahnya tidak mungkin. Karena bisa-bisa Istrinya yang mengangkat. Selain itu, Bang Nur dan Kak Lia juga seolah-olah mengawasiku 24 jam. Rasa ketakutan kalau-kalau aku kabur dari rumah dan membuat malu seluruh keluarga karena pernikahan itu pasti gagal.

"Ingat ya. Jangan macam-macam." Kata Bang Nur suatu malam di depan Ibu.

20 November. Sabtu siang, kuputuskan untuk menemui August di Kantornya dengan ditemani Kak Lia. Aku hanya ingin meminta maaf sekali lagi, mengucapkan salam perpisahan tanpa harus membunuh cinta kami.

"Oh, maaf, Mbak. Apa sudah ada janji dengan Bapak?" Tanya salah satu staf di kantornya.

"Sudah." Jawabku berbohong.
Tak menunggu lama Staf itu menyuruhku masuk ke ruangan August. Melihat kekasihku itu tengah sibuk dengan rutinitasnya, melihat badannya yang agak kurus dari biasanya.

"Hun---" Dia mendongakkan kepala kerahku.

Kami saling peluk, saling menangisi. Membiarkan duka tumpah lebih deras dari hujan di luar jendela, lalu menghangatkannya dengan ciuman-ciuman yang teramat kurindukan. 'Ya Tuhaan-- kenyataannya aku sangat menyintai Lelaki ini. Lalu bagaimana harus melupakannya?'

"Menikahlah dengannya, Sayang, kecuali--"

"Kecuali?" Kuperjelas kata-kata August yang terpenggal.

"Kecuali kamu rela menerimaku apa adanya."

"Aku terima, Hun. Kau tahu itu. Dan pernikahan ini bukan kehendakku, aku--- aku tidak tega melihat Ibu memohon seperti itu."

"Kalau begitu lupakan tentang kita, mulai saat ini." Kulihat Dia menyusut air matanya, melihat kearahku dengan senyum yang sangat dipaksakan.

"Aku tidak bisa---" Jawabku menunduk.

"Lantas?"

Tidak ada jawaban atas pertemuan siang itu. Aku dan August saling menyintai, dan itu kenyataan yang harus kami hadapi.

Tanggal 26 November. Tamu undangan sudah memenuhi ruang tamu dan pekarangan depan. Menurut Kak Lia, rombongan keluarga Ro akan sampai setengah jam lagi dan upacara akad nikahpun dimulai. Tak banyak yang ingin kulakukan selain membiarkan kenanganku bersama August memenuhi isi kepala. Berusaha untuk tidak menangis, berusaha untuk membahagiakan Ibu dan keluargaku. Dan-- entahlah. Aku tidak tahu bagaimana kelanjutannya nanti dengan kebahagiaanku sendiri.

"Pernikahan batal!" Bang Nur nyelonong masuk kamar rias dengan mengumpat-umpat.

"Kau bicara apa, Nur?" Kali ini mata Ibu luber. 'Dan--- ya Tuhaaan. Apa aku harus gagal menikah untuk kedua kalinya?'

Suasana mendadak ribut. Ibu pingsan, Kak Lia terisak di ujung kamar dan di luar Bang Nur juga beberapa kerabat lain tengah berusaha memberikan pengertian kepada undangan kalau Ro mengalami musibah di perjalanan menuju ke sini. Keadaannya gawat dan sedang di rawat di IGD Rumah Sakit AL. Dia koma.

Lalu, salah kalau aku bertanya pada Tuhan sekali lagi? Soal nasib pernikahanku yang selalu sial. Bahkan ketika pernikahan dengan Ro ini kulakukan demi keluargaku. Tapi Tuhan masih juga tidak memberikan keberuntungan buatku bukan?

Satu-satunya harapanku ialah, tetap mengemis pada-Nya. Berharap Ro akan membaik, Ibu dan keluargaku termasuk keluarga Ro tabah. Sebab untuk kali ini aku tidak akan bunuh diri lagi, tetapi akan menunggu kesialan-kesialan selanjutnya. Apakah aku akan berjodoh dengan Ro, dengan August, atau dengan Lelaki lain lagi dan mengalami nasib seperti ini juga. Atau aku akan menjadi perawan tua sampai mati.
Terserah. Bahkan seandainya aku dan August harus tinggal serumah tanpa ikatan, atau Istrinya menyetujui hubungan kami. Aku benar-benar sudah tidak peduli lagi. Iya--- aku tak peduli.
Terserah Kau saja Tuhan!

~tamat~
Kiara Vie, 02 Oktober 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun