"Kecuali kamu rela menerimaku apa adanya."
"Aku terima, Hun. Kau tahu itu. Dan pernikahan ini bukan kehendakku, aku--- aku tidak tega melihat Ibu memohon seperti itu."
"Kalau begitu lupakan tentang kita, mulai saat ini." Kulihat Dia menyusut air matanya, melihat kearahku dengan senyum yang sangat dipaksakan.
"Aku tidak bisa---" Jawabku menunduk.
"Lantas?"
Tidak ada jawaban atas pertemuan siang itu. Aku dan August saling menyintai, dan itu kenyataan yang harus kami hadapi.
Tanggal 26 November. Tamu undangan sudah memenuhi ruang tamu dan pekarangan depan. Menurut Kak Lia, rombongan keluarga Ro akan sampai setengah jam lagi dan upacara akad nikahpun dimulai. Tak banyak yang ingin kulakukan selain membiarkan kenanganku bersama August memenuhi isi kepala. Berusaha untuk tidak menangis, berusaha untuk membahagiakan Ibu dan keluargaku. Dan-- entahlah. Aku tidak tahu bagaimana kelanjutannya nanti dengan kebahagiaanku sendiri.
"Pernikahan batal!" Bang Nur nyelonong masuk kamar rias dengan mengumpat-umpat.
"Kau bicara apa, Nur?" Kali ini mata Ibu luber. 'Dan--- ya Tuhaaan. Apa aku harus gagal menikah untuk kedua kalinya?'
Suasana mendadak ribut. Ibu pingsan, Kak Lia terisak di ujung kamar dan di luar Bang Nur juga beberapa kerabat lain tengah berusaha memberikan pengertian kepada undangan kalau Ro mengalami musibah di perjalanan menuju ke sini. Keadaannya gawat dan sedang di rawat di IGD Rumah Sakit AL. Dia koma.
Lalu, salah kalau aku bertanya pada Tuhan sekali lagi? Soal nasib pernikahanku yang selalu sial. Bahkan ketika pernikahan dengan Ro ini kulakukan demi keluargaku. Tapi Tuhan masih juga tidak memberikan keberuntungan buatku bukan?