"Well, Aku tidak punya pilihan, Hun. Aku minta maaf."
Kami hening. August menunduk dalam, menekuri meja yang masih kosong. Sedang aku masih terus mengulang-ulang kata maaf.
Sejak kejadian siang itu aku tidak bisa lagi menghubungi kekasihku. Ponselnya mati, sedang untuk menelphone ke rumahnya tidak mungkin. Karena bisa-bisa Istrinya yang mengangkat. Selain itu, Bang Nur dan Kak Lia juga seolah-olah mengawasiku 24 jam. Rasa ketakutan kalau-kalau aku kabur dari rumah dan membuat malu seluruh keluarga karena pernikahan itu pasti gagal.
"Ingat ya. Jangan macam-macam." Kata Bang Nur suatu malam di depan Ibu.
20 November. Sabtu siang, kuputuskan untuk menemui August di Kantornya dengan ditemani Kak Lia. Aku hanya ingin meminta maaf sekali lagi, mengucapkan salam perpisahan tanpa harus membunuh cinta kami.
"Oh, maaf, Mbak. Apa sudah ada janji dengan Bapak?" Tanya salah satu staf di kantornya.
"Sudah." Jawabku berbohong.
Tak menunggu lama Staf itu menyuruhku masuk ke ruangan August. Melihat kekasihku itu tengah sibuk dengan rutinitasnya, melihat badannya yang agak kurus dari biasanya.
"Hun---" Dia mendongakkan kepala kerahku.
Kami saling peluk, saling menangisi. Membiarkan duka tumpah lebih deras dari hujan di luar jendela, lalu menghangatkannya dengan ciuman-ciuman yang teramat kurindukan. 'Ya Tuhaan-- kenyataannya aku sangat menyintai Lelaki ini. Lalu bagaimana harus melupakannya?'
"Menikahlah dengannya, Sayang, kecuali--"
"Kecuali?" Kuperjelas kata-kata August yang terpenggal.