Kisah "The School of Freedom"
Di sebuah desa kecil di tengah pegunungan, terdapat sebuah sekolah yang sangat berbeda dari sekolah pada umumnya. Sekolah ini tidak memiliki dinding kokoh atau meja-meja yang teratur seperti di sekolah kota.Â
Sebaliknya, sekolah ini terbuka, dikelilingi alam, dengan suara burung berkicau dan angin sepoi-sepoi sebagai latar belakang. Di sini, anak-anak tidak hanya belajar membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga diajarkan untuk mengenali hak mereka, mempersoalkan ketidakadilan, dan berpikir secara kritis.
Suatu hari, Pak Arif, seorang guru di sekolah tersebut, mengajak murid-muridnya untuk memahami sejarah tidak hanya dari buku teks, tetapi juga dari cerita-cerita yang disampaikan oleh orang tua mereka.Â
Pak Arif bertanya kepada murid-muridnya, "Siapa yang menurut kalian paling berkuasa di desa ini?" Seorang anak bernama Rani dengan yakin menjawab, "Yang berkuasa adalah kepala desa." Pak Arif tersenyum dan bertanya lagi, "Mengapa demikian?" Rani terdiam, berpikir, begitu juga teman-temannya.
Pak Arif kemudian melanjutkan, "Tahukah kalian bahwa di masa lalu, penjajah yang datang ke desa ini tidak hanya menguasai dengan senjata, tetapi juga dengan mengendalikan pendidikan. Mereka mengajarkan hanya apa yang mereka ingin kalian tahu. Sejarah yang kalian pelajari di sekolah itu mungkin hanya versi yang mereka tulis."
Cerita Pak Arif itu menggugah pikiran Rani dan teman-temannya. Hari itu, mereka belajar bahwa pendidikan bisa menjadi alat yang sangat kuat untuk menguasai atau bahkan untuk membebaskan.Â
Di sekolah ini, mereka tidak hanya diajarkan untuk menerima segalanya begitu saja. Mereka didorong untuk berpikir kritis, mempertanyakan apa yang selama ini dianggap benar, dan mencari kebenaran yang lebih dalam.
Â
Pendidikan sebagai Alat untuk Mempertahankan Kekuasaan
Pendidikan kerap kali dimanfaatkan oleh pihak yang berkuasa untuk menjaga struktur sosial yang ada. Di banyak negara, penguasa seringkali merancang sistem pendidikan yang tidak mengakomodasi pemikiran kritis atau tidak memberikan kesempatan bagi warga untuk mempertanyakan ketidakadilan.Â
Melalui kurikulum yang terbatas dan tidak menggali secara mendalam aspek-aspek sosial atau sejarah, pendidikan bisa membuat individu tidak menyadari ketimpangan yang ada dalam masyarakat, dan malah memperkuat struktur kekuasaan yang ada.
Dengan kata lain, pendidikan yang tidak membebaskan bisa menciptakan ketergantungan dan keterbatasan dalam berpikir, yang pada akhirnya menjaga agar perubahan sosial tidak terjadi. Dalam sistem pendidikan seperti ini, orang lebih cenderung menerima hal-hal yang ada tanpa pertanyaan, tanpa mencoba mengubah keadaan.
Di masa kini, meskipun kemajuan teknologi dan informasi telah membuka banyak akses, pendidikan masih sering digunakan untuk mempertahankan struktur sosial yang ada. Ketidaksetaraan akses pendidikan, serta kurikulum yang tidak mendukung perkembangan berpikir kritis, membuat banyak orang tetap terjebak dalam pola pikir yang terbatas.Â
Ketika pendidikan hanya mentransfer pengetahuan tanpa mengajarkan cara berpikir secara kritis, hal itu bisa memperkuat ketidaksetaraan dan mengekang kebebasan berpikir.
Pendidikan sebagai Sarana Pembebasan
Namun, pendidikan juga memiliki potensi besar untuk menjadi sarana pembebasan. Ketika pendidikan didesain untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kesadaran sosial, ia dapat menjadi alat yang sangat kuat untuk mengubah masyarakat.Â
Pendidikan yang membebaskan mengajarkan bahwa pengetahuan bukan hanya untuk memperoleh kekuasaan, tetapi untuk memahami kondisi sosial dan bertindak untuk perubahan.
Sebagai contoh, Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa pendidikan yang benar adalah yang membuat individu mampu berpikir secara mandiri, memahami realitas sosial mereka, dan terlibat dalam proses perubahan sosial. Pendidikan seperti ini tidak hanya memberi pengetahuan, tetapi juga memberdayakan individu untuk berjuang melawan ketidakadilan.
Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan. Dalam pendidikan seperti ini, anak-anak belajar bahwa mereka berhak atas kehidupan yang lebih baik dan memiliki kekuatan untuk berjuang memperjuangkan hak-hak mereka.
Â
Kesimpulan
Melalui kisah "The School of Freedom", kita bisa melihat bahwa pendidikan bukanlah entitas yang netral. Pendidikan bisa digunakan untuk memperkuat kekuasaan atau, sebaliknya, menjadi alat untuk membebaskan masyarakat dari penindasan. Pendidikan yang mengajarkan kita untuk berpikir kritis, memperjuangkan hak-hak kita, dan berjuang untuk keadilan, adalah pendidikan yang sejati, yang mampu mengubah dunia.
Namun, pendidikan yang hanya mengajarkan kita untuk menerima tanpa pertanyaan, tanpa pemahaman mendalam, akan selalu berisiko digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk memastikan bahwa pendidikan yang kita berikan kepada generasi mendatang adalah pendidikan yang membuka jalan menuju pembebasan, bukan yang mengikat mereka dalam struktur yang menindas.
Oleh: Pahriah, Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H