Namun, keseimbangan kekuatan ini tidak hanya berlangsung di tingkat negara, tetapi juga di tingkat sub-negara melalui aktor-aktor non-negara seperti Hizbullah. Konflik ini memperlihatkan bagaimana aktor non-negara bisa menjadi alat bagi negara besar untuk terlibat dalam pertarungan geopolitik tanpa harus terlibat secara langsung dalam perang terbuka. Ini juga mencerminkan fenomena pasca-Perang Dingin, di mana aktor-aktor non-negara semakin memainkan peran penting dalam konflik bersenjata, sementara negara-negara besar menggunakan mereka untuk mencapai tujuan strategis mereka.
Deterrence dan Dilema Keamanan: Mencegah Eskalasi Konflik
Teori Deterrence atau pencegahan merupakan salah satu konsep utama dalam hubungan internasional yang relevan dengan konflik antara Hizbullah dan Israel. Deterrence adalah strategi untuk mencegah musuh melakukan serangan melalui ancaman pembalasan yang lebih besar. Israel telah lama mengandalkan kebijakan deterrence dalam menghadapi ancaman dari negara-negara tetangganya dan aktor non-negara seperti Hizbullah. Salah satu bentuk deterrence yang digunakan Israel adalah serangan militer preemptive atau pencegahan, yang bertujuan untuk menghancurkan potensi ancaman sebelum ancaman tersebut benar-benar membahayakan. (Jayakarta, 2020)
Namun, masalah utama dengan deterrence dalam konteks ini adalah bahwa strategi ini seringkali menyebabkan security dilemma atau dilema keamanan. Security dilemma terjadi ketika tindakan satu pihak untuk meningkatkan keamanannya---seperti serangan preemptive atau penguatan militer---ditafsirkan oleh pihak lain sebagai ancaman, sehingga pihak lain tersebut juga merasa perlu untuk meningkatkan kapasitas militernya. Ini menciptakan siklus eskalasi yang pada akhirnya bisa memicu perang skala penuh.
Dalam kasus Hizbullah dan Israel, setiap kali Israel melakukan serangan udara untuk menargetkan posisi Hizbullah, Hizbullah merespons dengan meluncurkan roket ke wilayah Israel. Eskalasi semacam ini dapat memicu perang yang lebih luas jika kedua belah pihak tidak bisa menahan diri. Situasi ini menciptakan dilema bagi Israel: di satu sisi, mereka perlu menanggapi ancaman Hizbullah secara serius untuk menjaga keamanan nasional mereka, tetapi di sisi lain, setiap respons militer berisiko meningkatkan ketegangan dan memperluas konflik.
Implikasi Global: Peran Amerika Serikat, Rusia, dan Kekuatan Besar Lainnya
Konflik antara Hizbullah dan Israel tidak hanya relevan di tingkat regional, tetapi juga memiliki implikasi yang lebih luas bagi keamanan internasional. Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Israel, memiliki kepentingan strategis dalam mendukung Israel dan menekan Iran serta Hizbullah. Di sisi lain, Rusia, yang memiliki hubungan baik dengan Iran dan Suriah, terlibat secara tidak langsung dalam konflik ini dengan memberikan dukungan kepada pihak-pihak yang bersahabat dengan Hizbullah.
Keterlibatan kekuatan-kekuatan besar ini mencerminkan dinamika yang mirip dengan era Cold War, di mana negara-negara adidaya menggunakan aktor-aktor regional dan non-negara sebagai proksi untuk mencapai tujuan geopolitik mereka. Meskipun Perang Dingin telah berakhir, konflik proksi seperti ini terus berlanjut di berbagai bagian dunia, termasuk di Timur Tengah. Amerika Serikat dan Rusia, meskipun tidak terlibat langsung dalam pertempuran antara Hizbullah dan Israel, memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat posisi mereka di kawasan dan mempertahankan pengaruh global mereka.
Dalam konteks ini, konflik Hizbullah-Israel mencerminkan pergeseran paradigma dalam hubungan internasional pasca-Perang Dingin, di mana pertempuran antar negara semakin jarang terjadi, tetapi konflik yang melibatkan aktor non-negara dan proksi semakin menonjol. Sistem internasional yang lebih multipolar juga semakin memperumit upaya penyelesaian konflik, karena banyaknya aktor yang terlibat dengan kepentingan yang saling bertentangan. (Susanti2024)
Solusi: Pendekatan politik, ekonomi, dan diplomatik yang komprehensif.
Konflik antara Hizbullah dan Israel merupakan contoh kompleksitas yang meningkat dalam hubungan internasional kontemporer, di mana aktor non-negara seperti Hizbullah memainkan peran yang signifikan dalam mengganggu stabilitas regional dan global. Konflik ini juga mencerminkan tantangan bagi teori-teori klasik dalam hubungan internasional, seperti kedaulatan Westphalia dan Balance of Power, yang tidak selalu mampu menjelaskan dinamika konflik yang melibatkan aktor non-negara dan perang asimetris.