Konflik antara Hizbullah dan Israel bukanlah isu baru di kawasan Timur Tengah, Â intensitas dan eskalasi terbaru dari bentrokan ini kembali menjadi perhatian besar dunia internasional. Di tengah ketegangan geopolitik yang sudah lama mengakar di kawasan ini, konflik ini melibatkan berbagai aktor, baik negara maupun non-negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik yang terjadi antara kedua negara ini sangat berdampak tidak hanya terhadap kestabilan keamanan regional di Timur Tengah, namun juga menjadi tantangan bagi kestabilan keamanan global. Dalam esai ini, saya akan menganalisis konflik Hizbullah dan Israel dengan mengaitkannya dengan beberapa konsep penting dalam studi Hubungan Internasional, seperti kedaulatan Westphalia, Balance of Power, Deterrence, Dilema Keamanan, dan aktor-aktor non-negara dalam sistem internasional. Analisis ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan gambaran yang deskriptif tentang konflik tersebut, tetapi juga untuk memberikan opini yang berimbang dan argumentatif terkait dinamika yang berlangsung.
Latar Belakang Konflik: Sejarah dan Kepentingan Geopolitik
Hizbullah adalah kelompok militan Syiah yang berbasis di Lebanon, yang didirikan pada tahun 1982 dengan dukungan dari Iran. Hizbullah awalnya muncul sebagai reaksi terhadap invasi Israel ke Lebanon, dengan tujuan utama untuk melawan pendudukan Israel di wilayah tersebut. Seiring waktu, Hizbullah tidak hanya berkembang menjadi kekuatan militer yang signifikan, tetapi juga menjadi aktor politik penting di Lebanon, yang memiliki pengaruh besar di dalam negeri dan memiliki jaringan aliansi yang kuat di kawasan.
Israel, di sisi lain, adalah negara yang didirikan pada tahun 1948, dengan latar belakang konflik yang berkelanjutan dengan tetangga-tetangganya di dunia Arab. Sejak awal berdirinya, Israel menghadapi tantangan keamanan yang serius, baik dari negara-negara Arab maupun dari aktor non-negara seperti Hizbullah. Kepentingan Israel dalam konflik ini tidak hanya terbatas pada upaya mempertahankan keamanan dan kedaulatannya, tetapi juga mencakup tujuan geopolitik yang lebih luas, seperti memperkuat pengaruhnya di kawasan dan menekan pengaruh musuh-musuh regionalnya, terutama Iran yang merupakan pendukung utama Hizbullah.
Aktor Non-Negara dalam Sistem Internasional: Hizbullah sebagai Tantangan terhadap Kedaulatan Westphalia
Salah satu aspek yang paling menonjol dari konflik Hizbullah dan Israel adalah keterlibatan aktor non-negara dalam perang antara kedua pihak. Hizbullah bukanlah sebuah negara, tetapi organisasi militan dengan kapasitas militer yang luar biasa dan dukungan politik yang luas, baik di dalam negeri Lebanon maupun di kalangan pengikut Syiah di Timur Tengah. Fenomena ini jelas menantang konsep kedaulatan negara yang telah menjadi dasar dari sistem internasional sejak Perjanjian Westphalia pada tahun 1648. (El Shidiq, 2022)
Menurut teori Westphalia, negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya sendiri, dan tidak ada aktor lain yang memiliki hak untuk campur tangan dalam urusan domestik suatu negara. Namun, kehadiran Hizbullah yang beroperasi di Lebanon, namun menargetkan Israel dan dipengaruhi oleh kekuatan negara lain seperti Iran, menunjukkan bahwa aktor-aktor non-negara memiliki kemampuan untuk melemahkan prinsip-prinsip kedaulatan Westphalia. Hizbullah, dengan kapasitas militernya yang kuat dan jaringan internasionalnya, menimbulkan tantangan serius bagi negara-negara di kawasan tersebut, terutama Lebanon dan Israel, yang terjebak dalam dilema terkait penanganan kelompok ini.
Dari sudut pandang Israel, Hizbullah adalah ancaman eksistensial karena kemampuan militer dan kedekatannya dengan Iran, yang merupakan musuh utama Israel di kawasan. Israel melihat keberadaan Hizbullah sebagai ancaman terhadap kedaulatan dan keamanannya, yang menuntut respons militer dan diplomatik yang keras. Namun, tindakan Israel terhadap Hizbullah seringkali dipandang sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Lebanon, karena Hizbullah adalah aktor non-negara yang beroperasi di wilayah Lebanon. Hal ini menciptakan dilema besar dalam konteks hubungan internasional, di mana batas antara kedaulatan negara dan ancaman dari aktor non-negara semakin kabur.
Balance of Power dan Peran Iran dalam Konflik Hizbullah-Israel
Konsep Balance of Power atau keseimbangan kekuatan dalam hubungan internasional memainkan peran penting dalam memahami dinamika konflik Hizbullah dan Israel. Di kawasan Timur Tengah, Iran adalah kekuatan utama yang mendukung Hizbullah secara finansial dan militer. Dalam konteks ini, Iran memanfaatkan Hizbullah untuk melawan Israel dan memperkuat pengaruhnya di kawasan. Dukungan Iran terhadap Hizbullah juga bertujuan untuk mengimbangi kekuatan Israel yang didukung oleh Amerika Serikat, yang merupakan sekutu strategis utama Israel.
Dalam teori Balance of Power, negara-negara cenderung untuk mengimbangi kekuatan negara lain yang dianggap sebagai ancaman. Iran, yang merasa terancam oleh kekuatan militer Israel dan pengaruh Amerika di kawasan, menggunakan Hizbullah sebagai sarana untuk menekan Israel dan membatasi ruang gerak militer serta diplomatiknya. Di sisi lain, Israel berusaha mengimbangi pengaruh Iran dengan memperkuat aliansi militernya dengan Amerika Serikat dan mengembangkan teknologi pertahanan canggih seperti sistem Iron Dome untuk melindungi dirinya dari serangan roket Hizbullah.
Namun, keseimbangan kekuatan ini tidak hanya berlangsung di tingkat negara, tetapi juga di tingkat sub-negara melalui aktor-aktor non-negara seperti Hizbullah. Konflik ini memperlihatkan bagaimana aktor non-negara bisa menjadi alat bagi negara besar untuk terlibat dalam pertarungan geopolitik tanpa harus terlibat secara langsung dalam perang terbuka. Ini juga mencerminkan fenomena pasca-Perang Dingin, di mana aktor-aktor non-negara semakin memainkan peran penting dalam konflik bersenjata, sementara negara-negara besar menggunakan mereka untuk mencapai tujuan strategis mereka.
Deterrence dan Dilema Keamanan: Mencegah Eskalasi Konflik
Teori Deterrence atau pencegahan merupakan salah satu konsep utama dalam hubungan internasional yang relevan dengan konflik antara Hizbullah dan Israel. Deterrence adalah strategi untuk mencegah musuh melakukan serangan melalui ancaman pembalasan yang lebih besar. Israel telah lama mengandalkan kebijakan deterrence dalam menghadapi ancaman dari negara-negara tetangganya dan aktor non-negara seperti Hizbullah. Salah satu bentuk deterrence yang digunakan Israel adalah serangan militer preemptive atau pencegahan, yang bertujuan untuk menghancurkan potensi ancaman sebelum ancaman tersebut benar-benar membahayakan. (Jayakarta, 2020)
Namun, masalah utama dengan deterrence dalam konteks ini adalah bahwa strategi ini seringkali menyebabkan security dilemma atau dilema keamanan. Security dilemma terjadi ketika tindakan satu pihak untuk meningkatkan keamanannya---seperti serangan preemptive atau penguatan militer---ditafsirkan oleh pihak lain sebagai ancaman, sehingga pihak lain tersebut juga merasa perlu untuk meningkatkan kapasitas militernya. Ini menciptakan siklus eskalasi yang pada akhirnya bisa memicu perang skala penuh.
Dalam kasus Hizbullah dan Israel, setiap kali Israel melakukan serangan udara untuk menargetkan posisi Hizbullah, Hizbullah merespons dengan meluncurkan roket ke wilayah Israel. Eskalasi semacam ini dapat memicu perang yang lebih luas jika kedua belah pihak tidak bisa menahan diri. Situasi ini menciptakan dilema bagi Israel: di satu sisi, mereka perlu menanggapi ancaman Hizbullah secara serius untuk menjaga keamanan nasional mereka, tetapi di sisi lain, setiap respons militer berisiko meningkatkan ketegangan dan memperluas konflik.
Implikasi Global: Peran Amerika Serikat, Rusia, dan Kekuatan Besar Lainnya
Konflik antara Hizbullah dan Israel tidak hanya relevan di tingkat regional, tetapi juga memiliki implikasi yang lebih luas bagi keamanan internasional. Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Israel, memiliki kepentingan strategis dalam mendukung Israel dan menekan Iran serta Hizbullah. Di sisi lain, Rusia, yang memiliki hubungan baik dengan Iran dan Suriah, terlibat secara tidak langsung dalam konflik ini dengan memberikan dukungan kepada pihak-pihak yang bersahabat dengan Hizbullah.
Keterlibatan kekuatan-kekuatan besar ini mencerminkan dinamika yang mirip dengan era Cold War, di mana negara-negara adidaya menggunakan aktor-aktor regional dan non-negara sebagai proksi untuk mencapai tujuan geopolitik mereka. Meskipun Perang Dingin telah berakhir, konflik proksi seperti ini terus berlanjut di berbagai bagian dunia, termasuk di Timur Tengah. Amerika Serikat dan Rusia, meskipun tidak terlibat langsung dalam pertempuran antara Hizbullah dan Israel, memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat posisi mereka di kawasan dan mempertahankan pengaruh global mereka.
Dalam konteks ini, konflik Hizbullah-Israel mencerminkan pergeseran paradigma dalam hubungan internasional pasca-Perang Dingin, di mana pertempuran antar negara semakin jarang terjadi, tetapi konflik yang melibatkan aktor non-negara dan proksi semakin menonjol. Sistem internasional yang lebih multipolar juga semakin memperumit upaya penyelesaian konflik, karena banyaknya aktor yang terlibat dengan kepentingan yang saling bertentangan. (Susanti2024)
Solusi: Pendekatan politik, ekonomi, dan diplomatik yang komprehensif.
Konflik antara Hizbullah dan Israel merupakan contoh kompleksitas yang meningkat dalam hubungan internasional kontemporer, di mana aktor non-negara seperti Hizbullah memainkan peran yang signifikan dalam mengganggu stabilitas regional dan global. Konflik ini juga mencerminkan tantangan bagi teori-teori klasik dalam hubungan internasional, seperti kedaulatan Westphalia dan Balance of Power, yang tidak selalu mampu menjelaskan dinamika konflik yang melibatkan aktor non-negara dan perang asimetris.
Solusi untuk konflik ini memerlukan pendekatan multilateral yang melibatkan tidak hanya Israel dan Hizbullah, tetapi juga aktor-aktor regional seperti Iran, Suriah, dan negara-negara Teluk, serta kekuatan global seperti Amerika Serikat dan Rusia. Diplomasi dan dialog politik perlu ditingkatkan untuk mengurangi ketegangan, sementara mekanisme deterrence yang lebih efektif harus dikembangkan untuk mencegah eskalasi lebih lanjut. Di sisi lain, komunitas internasional juga harus mempertimbangkan upaya untuk memperkuat peran Lebanon sebagai negara yang berdaulat dan mencegah Hizbullah dari bertindak sebagai negara dalam negara.
Pada akhirnya, penyelesaian konflik Hizbullah dan Israel akan memerlukan pendekatan yang inovatif dan berkelanjutan, yang tidak hanya mengandalkan kekuatan militer, tetapi juga pendekatan politik, ekonomi, dan diplomatik yang komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Ardani, N. W., Widhiyoga, G., & Wijayati, H. (2021). PERAN PASUKAN GARUDA DALAM OPERASI PENGAWASAN PERDAMAIAN PADA KONFLIK ANTARA ISRAEL-HIZBULLAH TAHUN 2014-2015. Review of International Relations, 3(2), 129-147.
El Shidiq, R. A. (2022). Kemajuan Nuklir Iran Semakin Pesat di Tengah Konflik Iran dan Israel, Siapakah yang Terkuat?. Jurnal Ilmu Hubungan Internasional LINO, 2(1), 12-17.
Jayakarta, M. (2020). Analisis Dinamika Keterlibatan Hizbullah dalam Konflik Suriah Pasca Pemilu Parlemen Lebanon 2018 (Bachelor's thesis, FISIP UIN Jakarta).
Susanti, N., & Soraya, L. (2024). History of Islamic Civilization in the West Asian Region: Tracking the Roots of the Palestine-Israel Conflict. Journal of Islamic History, 4(1), 43-61.
Umma, S., Fadilah, I., & Redjosari, S. M. (2021). Hizbullah di Lebanon: aktualisasi gerakan agama berkedok politik di masa kini. HUMANISTIKA: Jurnal Keislaman, 7(2), 1-25.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI