Tragedi budaya dapat muncul ketika orang benar-benar meninggalkan interaksi fisik berbasis sentuhan, seperti belajar di kelas, mengobrol di kantin kantor, bersantai di taman kota, pendidikan kolektif di sekitar kompleks olahraga, akomodasi atau mengunjungi tempat hiburan.
Interaksi antara avatar manusia menggantikan interaksi tatapan; perjalanan fisik digantikan dengan penggunaan perangkat realitas virtual; dan ruang publik menjadi sepi saat kerumunan bergerak ke ruang virtual. Tentu akan menjadi mimpi buruk ke depannya jika manusia benar-benar menguasai ciptaannya sendiri.
Oleh karena itu, gagap dan khawatir saat meluncurkan produk teknologi bukanlah sikap yang tepat, karena justru membuat masyarakat rentan terhadap penguasaan teknologi. Seperti yang dijelaskan Simmel, untuk dapat menyeimbangkan keberadaan budaya objektif, Anda membutuhkan budaya subjektif. Ini berarti bersiap untuk berhadapan langsung dengan metaverse.
Persiapan di sini tidak hanya dalam hal keterampilan tetapi juga dalam hal kecerdasan dan kecerdasan. Manusia dapat memahami operasi mana yang dimediasi oleh metaverse dan mana yang masih perlu dilakukan seperti biasa.
Jika orang dapat menyeimbangkan antara budaya objektif dan budaya subjektif, maka budaya ideal akan berkembang. Pertumbuhan industri digital tidak hanya membutuhkan keterampilan digital manusia tetapi juga etika dan budaya digital.
Berkat kesadaran masyarakat akan pentingnya bisa mengendalikan ciptaan sendiri, di masa depan, masyarakat akan bisa terhindar dari kutukan tersebut.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H