Perkembangan teknologi tidak lepas dari pesatnya zaman yang dilalui umat manusia. Teknologi tertentu terus bermunculan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang berupaya mengungkap aspek-aspek kehidupan manusia.
Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) merupakan salah satu sektor yang tumbuh paling cepat, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Tidak hanya karena persaingan industri, merebaknya pandemi Covid-19 di penghujung tahun 2019 semakin meningkatkan urgensi penggunaan TIK.
Wujud keberadaan dan perkembangan TIK tercermin dari banyaknya produk yang dikatakan mendukung dan memudahkan kehidupan manusia seperti smartphone, laptop, Smart TV dan perangkat virtual reality. Di awal tahun 2022, salah satu perusahaan teknologi ternama, Meta (sebelumnya Facebook) muncul dengan ide Metaverse. Penggagasnya tentu saja CEO Meta, Mark Zurckerberg, yang ingin membuat dunia maya terlihat seperti dunia nyata.
Metaverse mengklaim mampu memberikan nuansa nyata kepada penggunanya tanpa harus mengunjungi atau melakukan perjalanan secara fisik. Setiap pengguna melalui perangkat virtual reality dapat berinteraksi satu sama lain menggunakan layar avatar yang sesuai.
Metaverse diluncurkan pada awal Desember 2021 di AS dan Kanada melalui platform Horizon Worlds. Di Indonesia, pidato Metavers ditegaskan Presiden Joko Widodo pada acara pembukaan Kongres PBNU ke-34 di Lampung Tengah. Presiden menyinggung pentingnya mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi laju perkembangan teknologi masa depan, salah satunya kemunculan Metaverse.Â
Potensi Metaverse
Jika diperhatikan, metaverse menyediakan dunia atau ruang baru di mana manusia dapat melakukan beberapa aktivitas seperti aktivitas sehari-hari. Penggunaan Metaverse paling mudah ditemukan di industri game online, seperti Fornite, Minecraft, Roblox, dan Second Life.
Dalam game tersebut, pengguna diajak untuk berperan langsung sebagai karakter, sehingga pengguna memiliki kesan yang nyata. Namun, tujuan penggunaan Metaverse tentu tidak akan berhenti hanya sebagai sarana hiburan. Bukan tidak mungkin dengan potensi metaverse tersebut, aspek lain kehidupan manusia akan terpengaruh, seperti ekonomi, sosial, budaya, politik dan pendidikan.Â
Keberadaan metaverse tentu tidak bisa dipahami begitu saja sebagai bentuk perkembangan teknologi yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomi dan memudahkan kehidupan manusia. Kehadiran teknologi tentunya membawa dampak tertentu yang diharapkan. Bentuk prediksi yang paling sederhana adalah memahami bahwa teknologi sangat mungkin dikuasai oleh penciptanya, yaitu manusia.
Ketika manusia kehilangan kendali atas ciptaannya, yang terjadi adalah manusia dikuasai oleh ciptaannya sendiri. Sungguh ironis, walaupun pada awalnya penciptaan teknologi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, yang terjadi adalah manusia tunduk pada cara kerja teknologi.Â
Simmel dan Tragedi Budaya
Kemampuan teknologi mengendalikan manusia atau ketidakmampuan manusia mengendalikan teknologi dapat dilihat dari sudut pandang sosiolog Jerman Georg Simmel.
Simmel memahami konsep masyarakat sebagai interaksi antar individu. Sedikit berbeda dengan perkembangan pemikiran sosiologi pada masa itu yang menitikberatkan pada dua tokoh utama, August Comte dan Herbert Spencer.
Simmel berusaha melindungi sosiologi dari pengaruh "hukum perkembangan sosial", yang menurut hipotesisnya, semua unsur masyarakat bergerak menurut hukum alam (Widyanta, 2002:
78).
Tragedi Budaya adalah salah satu komentar Simmel tentang kondisi manusia dalam masyarakat modern. Budaya dibagi menjadi dua jenis, budaya objektif dan budaya subjektif.
Budaya objektif dapat berupa alat, sarana transportasi, produk ilmu pengetahuan, teknologi, seni, bahasa, ranah intelektual, akal sehat, dogma agama, sistem filsafat, sistem hukum, kode moral dan cita-cita (Ritzer, 2011:
172-173).
Singkatnya, dapat dikatakan bahwa budaya objektif adalah hasil dari ekspresi atau penciptaan kapasitas manusia. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk mengembangkan diri. Untuk mengalami perkembangan yang maksimal, disinilah diperlukan kultivasi subjektif. Konsep budaya subjektif digunakan Simmel untuk menggambarkan sejauh mana individu menginternalisasi unsur-unsur budaya objektif dan mengekspresikannya dalam struktur kepribadiannya (Widyanta, 2002:136).
Menurut Simmel, budaya ideal dapat tercipta ketika hubungan antara budaya objektif dan budaya subjektif mencapai titik keseimbangan. Simmel menggambarkan hal ini sebagai proses subjektivisme budaya objektif dan objektifikasi budaya subjektif (Widyanta, 2002:139).
Tragedi budaya terjadi ketika budaya objektif mendominasi budaya subjektif atau budaya subjektif gagal mendominasi budaya objektif. Modernisasi telah mendorong orang untuk menciptakan berbagai produk pengisian daya sendiri. Tanpa disadari, produk manusia seolah memiliki cara berpikir dan logikanya sendiri. Simmel menyebutnya materialisasi, situasi di mana budaya objektif (produk manusia) membangun hidupnya secara independen dari penciptanya (manusia).
Hal ini tentu saja menyebabkan manusia sebagai subjek menjadi hilang dan hilang. Salah satu contoh yang diberikan Simmel sebagai bentuk tragedi budaya adalah dominasi uang berdampak besar pada sifat hubungan manusia (Ritzer, 2011:173).
Uang sebagai salah satu bentuk penemuan manusia menjadikan kehidupan sosial manusia penuh dengan rasionalitas dan perhitungan. Dalam studinya tentang kota, Simmel juga menjelaskan bagaimana uang mengubah wajah kota sehingga menghitung tanpa dimensi emosional.Â
Prediksi Metaverse
Sangat jelas bahwa metaverse berpotensi menjadi alternatif sarana bersosialisasi di masa depan, untuk mencari hiburan atau bahkan untuk memenuhi aktivitas sehari-hari. Meskipun penggunaannya sejauh ini terbatas pada hiburan, Metaverse tidak tergantikan untuk ruang kelas, ruang kerja, fasilitas olahraga, taman bermain, atau bahkan kedai kopi.
Aktivitas kantor dan sekolah normal yang melibatkan kontak fisik kemungkinan akan digantikan oleh interaksi virtual menggunakan avatar. Di satu sisi, ini adalah bentuk yang ampuh dan efektif, namun di sisi lain dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan.
Memahami kehadiran Metaverse tentu saja tidak bisa berhenti pada keuntungan ekonomis atau efisiensi dan performa. Dampak sosiologis terhadap kehidupan manusia juga harus diperhitungkan agar keberadaannya tidak menjadi isu baru.
Mari luangkan waktu sejenak untuk melihat evolusi ponsel yang kemudian berkembang menjadi smartphone. Diakui, smartphone telah membawa banyak manfaat praktis bagi kehidupan masyarakat, yang semula hanya menjalankan fungsi komunikasi, kini telah menjalankan berbagai fungsi baik dari segi ekonomi, sosial, dan budaya.
Dunia nyata tampaknya berada di tangan manusia. Fitur yang selalu berubah membuat smartphone seolah menjadi teknologi yang sangat canggih yang wajib dimiliki oleh manusia. Namun, semua kekeliruan ini hanyalah satu sisi, di sisi lain, smartphone justru menimbulkan masalah baru, seperti hilangnya privasi, melemahnya privasi, kejahatan dunia maya, kecanduan internet, gangguan psikologis, dll.
Beberapa fitur yang fungsi utamanya untuk mempermudah ternyata sulit dilakukan oleh manusia. Misalnya, media sosial yang semula dimaksudkan untuk mempertemukan orang tanpa bertemu langsung, malah menjadi sumber ujaran kebencian, hasutan, dan fitnah. . "Koneksi" yang ingin dicapai oleh media sosial sebenarnya mengarah pada "keterputusan".
Metaverse sebagai produk teknologi segelap smartphone. Jika manusia sebagai pencipta tidak dapat berfungsi secara normal, maka perhatian Simmel tentang dominasi budaya objektif mungkin terjadi.
Alam Semesta Super seolah hidup dengan logikanya sendiri yang menuntun manusia ke dalam permainannya, bukan tidak mungkin kehadirannya menggantikan segala aktivitas manusia yang selama ini dilakukan tanpa melalui alam Semesta Super.
Tragedi budaya dapat muncul ketika orang benar-benar meninggalkan interaksi fisik berbasis sentuhan, seperti belajar di kelas, mengobrol di kantin kantor, bersantai di taman kota, pendidikan kolektif di sekitar kompleks olahraga, akomodasi atau mengunjungi tempat hiburan.
Interaksi antara avatar manusia menggantikan interaksi tatapan; perjalanan fisik digantikan dengan penggunaan perangkat realitas virtual; dan ruang publik menjadi sepi saat kerumunan bergerak ke ruang virtual. Tentu akan menjadi mimpi buruk ke depannya jika manusia benar-benar menguasai ciptaannya sendiri.
Oleh karena itu, gagap dan khawatir saat meluncurkan produk teknologi bukanlah sikap yang tepat, karena justru membuat masyarakat rentan terhadap penguasaan teknologi. Seperti yang dijelaskan Simmel, untuk dapat menyeimbangkan keberadaan budaya objektif, Anda membutuhkan budaya subjektif. Ini berarti bersiap untuk berhadapan langsung dengan metaverse.
Persiapan di sini tidak hanya dalam hal keterampilan tetapi juga dalam hal kecerdasan dan kecerdasan. Manusia dapat memahami operasi mana yang dimediasi oleh metaverse dan mana yang masih perlu dilakukan seperti biasa.
Jika orang dapat menyeimbangkan antara budaya objektif dan budaya subjektif, maka budaya ideal akan berkembang. Pertumbuhan industri digital tidak hanya membutuhkan keterampilan digital manusia tetapi juga etika dan budaya digital.
Berkat kesadaran masyarakat akan pentingnya bisa mengendalikan ciptaan sendiri, di masa depan, masyarakat akan bisa terhindar dari kutukan tersebut.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H