Lalu pada teori eksistensialisme yang dipelopori oleh dua tokoh, Nietzsche yang dikenal dengan jargon, "Got is Tot!" dan Feurbach. Menurut Nietzsche, Tuhan dipahami oleh orang yang beragama bukanlah untuk penyempurnaan manusia, tetapi menjadi penghalang bagi kesempurnaan manusia. Tuhan yang seperti itu baginya membuat manusia teralienasi dari dirinya sendiri. Dalam genealogi moral, Nietzsche mengkritik sebuah agama yang cenderung destruktif, eksklusif, dan afirmatif terhadap umatnya. Ada kelas biasa serta kelas terpilih, kelas suci dan profan, dan ada hak istimewa bagi mereka yang suci dan sebaliknya itu semua diciptakan oleh realitas agama pada saat itu.
Sementara menurut Feurbach, Tuhan hanya personifikasi transenden dari dambaan imajinasi yang ada di alam pikiran manusia. Dia mengungkapkan, Tuhan bukan keberadaan objektif yang lepas dari kesadaran manusia. Hal ini sama dengan konsepsinya Hegel, ia mengakatakan bahwa manusia mengasingkan diri dari esensi atau makna hakikatnya sendiri ketika dirinya memproyeksikan Tuhan dalam alam pikirannya. Kesimpulannya adalah, Tuhan dan segala turunannya adalah ciptaan imajinasi manusia, dan agama adalah hanya sebatas antropologi. Karena yang ada dan mewujud adalah manusia, bukan Tuhan.
Jika dilihat, penolakan keberatan mereka terhadap agama tidak terletak pada keseluruhan kontruksi Agama itu sendiri. Masih ada banyak dimensi yang belum tersentuh. Mereka mengajukan keberatan Agama pada hamparan kulitnya saja, tapi jauh dari esensi atau nadi yang ada dalam agama itu sendiri.
Keberatan mereka itu ada pada sikap beragama, bukan substansi yang ada didalam agama. Roh ijtihad mereka dapat menjadi penerang atau lentera pada zaman kegelapan yang terjadi pada saat itu. Kebekuan dan kemandekan diterobos hingga memunculkan zaman pencerahan bagi Kaum Eropa saat itu. Mereka mengungkap kebobrokannya dalam beragama. Mereka melakukan pencerahan agar bisa memposisikan manusia sebagai subjek sadar dalam beragama.
Pada akhirnya, tujuan agama adalah untuk memerangi keputusasaan epidemik dari rentetan sejarah manusia. Tetapi jangan sampai lupakan, manusia sebagai subjek yang sadar dan harus membebaskan diri dari ilusi metafisika yang jauh di sana. Kita harus menyambut dengan gembira keberadaan diri di dunia ini, tidak sebagai dunia imajinasi yang secara sederhana seringkali kita sebut sebagai surga atau neraka semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H