Agama Dalam Paradigma Ilmuan Barat
Perkembangan sejarah manusia, tidak jauh dari apa yang disebut dengan agama. Sebagai kontruksi kehidupan sosial, agama berasal dari historis masyarakat yang membutuhkannya, sejajar dengan berkembangnya sosio-kulturalnya. Dalam hal ini, akan muncul sebuah konsepsi terhadap agama itu sendiri.
Ada yang meyakininya secara jelas dan ada juga yang menyatakan keberatan atas adanya agama itu sendiri. Mungkin, pernyataan keberatan atas agama itu sendiri, adalah sebuah keunikan. Ada beberapa tokoh yang menyatakan keberatan melalui teori yang hadir dari alam pikiran mereka seperti: Emile Durkheim dalam sosiologi, Sigmund Freud dalam psikologi, Auguste Comte dalam positivisme, Karl Marx dalam materialisme, Nietzsche, dan Feurbach dalam eksistensialisme.
Pernyataan keberatan terhadap agama, tidak bisa terlepas dari konteks sosio-historis dan relasi antara masyarakat dengan agama dalam kehidupan.
Bagi Emile Durkheim, agama itu bukan kesatuan ide-ide, nilai, atau pengalaman yang terlepas dari matriks kultural. Menurutnya, beberapa fetis atau pun ritus keagamaan tidak dapat dipahami kecuali dengan matriks kultural tersebut. Ia meyakini bahwa masyarakat adalah entitas yang sudah cukup sebagai faktor penting untuk kebahagiaan jiwa manusia itu sendiri. Menurutnya, agama revelasi adalah tidak penting.
Berbeda dengan Emile Durkheim, Sigmund Freud memandang agama sebagai faktor kekuatan jiwa manusia dibandingkan dengan akal yang dimiliki sebagai individu dan sosial yang menghimpun seorang individu. Melalui konsepsi teori psikoanalisis, ia merumuskan kepada konklusi bahwa kepercayaan manusia terhadap agama, tidak lebih dari pelarian dari sakit mental yang diderita oleh manusia itu sendiri, atau dalam istilah lain disebut sebagai pseudoneuroistik.
Selanjutnya Auguste Comte mempunyai konsepsi yang berbeda dibandingkan dua tokoh sebelumnya. Pada dasarnya dia tidak menyangsingkan keberadaan agama. Namun, dalam konsepsi cara berpikirnya yang sering disebut sebagai cara berpikir humanisme sekuler, agama yang ia pahami tidak sama dengan agama yang dipahami oleh orang banyak. Inti dari humanisme sekulernya adalah manusia sebagai poros kosmos didalam hakikat kehidupan. Suatu sistem etika yang mengokohkan serta mengagungkan nilai-nilai humanis (toleransi, kasih sayang, dan kehormatan) itulah yang maksud dalam konsepsi humanisme sekuler.
Kesimpulannya, agama yang ia pahami adalah humanisme, sedangkan Tuhannya adalah kemanusiaan itu sendiri. Pada intinya, pemikirannya hampir mirip dengan konsepsi berpikir tentang agama dari Bertrand Rusell.
Berlanjut ke Karl Marx, ialah tokoh yang mempopulerkan istilah "agama itu candu". Ia lebih bertolak pada kondisi serta relasi masyarakat kepada agama pada zamannya. Sebuah kritik keras Marx terhadap agama adalah terkait dengan realitas agama pada saat itu tidak lebih dari alat legitimasi kaum borjuis. Bahwa klaim agama tidak lebih dari fasilitator bagi kamu borjuis tersebut untuk menidurkan kaum proletar yang sedang tertindas agar untuk terus ditindas dalam hidupnya.
Penindasan atas manusia saat itu, secara sadar atau tidak sadar justru dilestarikan oleh dokrin, dogma, ajaran, dan hukum agama. Agama sudah tidak lagi dijadikan aspek pembebasan, tetapi hanya memenjarakan kebebasan manusia itu sendiri. Dalam situasi itu, Marx mengatakan, "Tidak ada alasan apa pun dan bagi siapa pun ketika menganut agama kecuali karena penderitaan dan penindasan." Agama masuk dalam alam pikiran manusia secara tiba-tiba dan disonansi.
Karena "agama adalah candu masyarakat" yang hanya memberikan kesemuan dalam harapan, hiburan sesaat, dan tidak kunjung membawa titik terang pembebasan bagi masyarakat yang tertindas. Pada akhirnya, agama hanya dijadikan tempat pelarian yang utopis dan justru menjadikan manusia terasingkan dari kemanusiaannya itu sendiri. Bagi Karl Marx, "agama hanyalaj menawarkan ilusi, bukannya solusi!"