Mohon tunggu...
Azis Tri Budianto
Azis Tri Budianto Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa | Penulis | Filsuf
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dalam hidup kita hanya sebagai pemain, jadilah pemain yang menjalankan perannya dengan baik. _sing biasa bae

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Agama Dalam Kacamata Ilmuan Barat

12 November 2022   13:04 Diperbarui: 12 November 2022   15:32 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agama Dalam Paradigma Ilmuan Barat

Perkembangan sejarah manusia, tidak jauh dari apa yang disebut dengan agama. Sebagai kontruksi kehidupan sosial, agama berasal dari historis masyarakat yang membutuhkannya, sejajar dengan berkembangnya sosio-kulturalnya. Dalam hal ini, akan muncul sebuah konsepsi terhadap agama itu sendiri.

Ada yang meyakininya secara jelas dan ada juga yang menyatakan keberatan atas adanya agama itu sendiri. Mungkin, pernyataan keberatan atas agama itu sendiri, adalah sebuah keunikan. Ada beberapa tokoh yang menyatakan keberatan melalui teori yang hadir dari alam pikiran mereka seperti: Emile Durkheim dalam sosiologi, Sigmund Freud dalam psikologi, Auguste Comte dalam positivisme, Karl Marx dalam materialisme, Nietzsche, dan Feurbach dalam eksistensialisme.

Pernyataan keberatan terhadap agama, tidak bisa terlepas dari konteks sosio-historis dan relasi antara masyarakat dengan agama dalam kehidupan.

Bagi Emile Durkheim, agama itu bukan kesatuan ide-ide, nilai, atau pengalaman yang terlepas dari matriks kultural. Menurutnya, beberapa fetis atau pun ritus keagamaan tidak dapat dipahami kecuali dengan matriks kultural tersebut. Ia meyakini bahwa masyarakat adalah entitas yang sudah cukup sebagai faktor penting untuk kebahagiaan jiwa manusia itu sendiri. Menurutnya, agama revelasi adalah tidak penting.

Berbeda dengan Emile Durkheim, Sigmund Freud memandang agama sebagai faktor kekuatan jiwa manusia dibandingkan dengan akal yang dimiliki sebagai individu dan sosial yang menghimpun seorang individu. Melalui konsepsi teori psikoanalisis, ia merumuskan kepada konklusi bahwa kepercayaan manusia terhadap agama, tidak lebih dari pelarian dari sakit mental yang diderita oleh manusia itu sendiri, atau dalam istilah lain disebut sebagai pseudoneuroistik.

Selanjutnya Auguste Comte mempunyai konsepsi yang berbeda dibandingkan dua tokoh sebelumnya. Pada dasarnya dia tidak menyangsingkan keberadaan agama. Namun, dalam konsepsi cara berpikirnya yang sering disebut sebagai cara berpikir humanisme sekuler, agama yang ia pahami tidak sama dengan agama yang dipahami oleh orang banyak. Inti dari humanisme sekulernya adalah manusia sebagai poros kosmos didalam hakikat kehidupan. Suatu sistem etika yang mengokohkan serta mengagungkan nilai-nilai humanis (toleransi, kasih sayang, dan kehormatan) itulah yang maksud dalam konsepsi humanisme sekuler.

Kesimpulannya, agama yang ia pahami adalah humanisme, sedangkan Tuhannya adalah kemanusiaan itu sendiri. Pada intinya, pemikirannya hampir mirip dengan konsepsi berpikir tentang agama dari Bertrand Rusell.

Berlanjut ke Karl Marx, ialah tokoh yang mempopulerkan istilah "agama itu candu". Ia lebih bertolak pada kondisi serta relasi masyarakat kepada agama pada zamannya. Sebuah kritik keras Marx terhadap agama adalah terkait dengan realitas agama pada saat itu tidak lebih dari alat legitimasi kaum borjuis. Bahwa klaim agama tidak lebih dari fasilitator bagi kamu borjuis tersebut untuk menidurkan kaum proletar yang sedang tertindas agar untuk terus ditindas dalam hidupnya.

Penindasan atas manusia saat itu, secara sadar atau tidak sadar justru dilestarikan oleh dokrin, dogma, ajaran, dan hukum agama. Agama sudah tidak lagi dijadikan aspek pembebasan, tetapi hanya memenjarakan kebebasan manusia itu sendiri. Dalam situasi itu, Marx mengatakan, "Tidak ada alasan apa pun dan bagi siapa pun ketika menganut agama kecuali karena penderitaan dan penindasan." Agama masuk dalam alam pikiran manusia secara tiba-tiba dan disonansi.

Karena "agama adalah candu masyarakat" yang hanya memberikan kesemuan dalam harapan, hiburan sesaat, dan tidak kunjung membawa titik terang pembebasan bagi masyarakat yang tertindas. Pada akhirnya, agama hanya dijadikan tempat pelarian yang utopis dan justru menjadikan manusia terasingkan dari kemanusiaannya itu sendiri. Bagi Karl Marx, "agama hanyalaj menawarkan ilusi, bukannya solusi!"

Lalu pada teori eksistensialisme yang dipelopori oleh dua tokoh, Nietzsche yang dikenal dengan jargon, "Got is Tot!" dan Feurbach. Menurut Nietzsche, Tuhan dipahami oleh orang yang beragama bukanlah untuk penyempurnaan manusia, tetapi menjadi penghalang bagi kesempurnaan manusia. Tuhan yang seperti itu baginya membuat manusia teralienasi dari dirinya sendiri. Dalam genealogi moral, Nietzsche mengkritik sebuah agama yang cenderung destruktif, eksklusif, dan afirmatif terhadap umatnya. Ada kelas biasa serta kelas terpilih, kelas suci dan profan, dan ada hak istimewa bagi mereka yang suci dan sebaliknya itu semua diciptakan oleh realitas agama pada saat itu.

Sementara menurut Feurbach, Tuhan hanya personifikasi transenden dari dambaan imajinasi yang ada di alam pikiran manusia. Dia mengungkapkan, Tuhan bukan keberadaan objektif yang lepas dari kesadaran manusia. Hal ini sama dengan konsepsinya Hegel, ia mengakatakan bahwa manusia mengasingkan diri dari esensi atau makna hakikatnya sendiri ketika dirinya memproyeksikan Tuhan dalam alam pikirannya. Kesimpulannya adalah, Tuhan dan segala turunannya adalah ciptaan imajinasi manusia, dan agama adalah hanya sebatas antropologi. Karena yang ada dan mewujud adalah manusia, bukan Tuhan.

Jika dilihat, penolakan keberatan mereka terhadap agama tidak terletak pada keseluruhan kontruksi Agama itu sendiri. Masih ada banyak dimensi yang belum tersentuh. Mereka mengajukan keberatan Agama pada hamparan kulitnya saja, tapi jauh dari esensi atau nadi yang ada dalam agama itu sendiri.

Keberatan mereka itu ada pada sikap beragama, bukan substansi yang ada didalam agama. Roh ijtihad mereka dapat menjadi penerang atau lentera pada zaman kegelapan yang terjadi pada saat itu. Kebekuan dan kemandekan diterobos hingga memunculkan zaman pencerahan bagi Kaum Eropa saat itu. Mereka mengungkap kebobrokannya dalam beragama. Mereka melakukan pencerahan agar bisa memposisikan manusia sebagai subjek sadar dalam beragama.

Pada akhirnya, tujuan agama adalah untuk memerangi keputusasaan epidemik dari rentetan sejarah manusia. Tetapi jangan sampai lupakan, manusia sebagai subjek yang sadar dan harus membebaskan diri dari ilusi metafisika yang jauh di sana. Kita harus menyambut dengan gembira keberadaan diri di dunia ini, tidak sebagai dunia imajinasi yang secara sederhana seringkali kita sebut sebagai surga atau neraka semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun