Mohon tunggu...
2330021049 ALDA FIRZA FARIDA
2330021049 ALDA FIRZA FARIDA Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 GIZI [Kelas B]

Literasi adalah langkah awal dari cara pandang kita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Putri Kecil Mama

4 November 2021   14:29 Diperbarui: 4 November 2021   14:42 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini aku memulai hariku sama seperti hari-hariku sebelumnya yakni, mengurus dan mengantar anakku ke sekolah. Lebih tepatnya Taman Kanak-Kanak. Sebelum masuk ke dalam kisahku, perkenalkan namaku Arabella Shannon sedangkan anakku bernama Eliza yang memiliki arti berharga. Aku berharap nama itu akan selalu menjadi doaku untuknya. Ditengah lamunanku, suara Eliza merisak gendang telingaku.

“Mama,” panggilnya.

Aku membalikkan tubuhku dan mensejajarkan diriku tinggi dengan tinggi tubuhnya. “Anak mama sudah mandi?” tanyaku dengan riang.

“Sudah ma. Mama lihat! Aku sudah bisa memasang bajuku sendiri,” ungkap Eliza tersenyum lebar.

Aku mengusap rambutnya, “anak mama memang pintar.”

Tiba- tiba Eliza menarik tanganku. “Mama juga harus siap-siap. Eliza sisir rambut mama yah.” 

Aku mengangguk menanggapinya. Selepas kami bersiap, kami berjalan di pinggir trotoar menuju sekolah Eliza sembari memakan roti lapis yang ku buat pagi ini. Tak butuh waktu lama, kami telah sampai. Aku mengantarkannya hingga di depan pintu kelas.

“Eliza. Fighting,” ujarku menyemangatinya dan Eliza membalasku dengan tangannya yang melingkar bergambar hati, “Saranghae, mama.” Aku tertawa melihatnya. Sesederhana itulah kebahagianku. Ditengah percakapan isyaratku dengan Eliza, aku menemukan Pak Leo selaku guru Eliza berdiri disebelahku.

“Kau sudah bisa meninggalkannya,” ujarnya.

Aku tersenyum, “aku percayakan dirinya. Sampai jumpa.” Aku berlalu pergi menuju tempat sekolahku berada. Jika semua orang mengira aku telah bekerja. Mereka salah. Nyatanya aku masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Lantas mengapa aku sudah memiliki seorang anak perempuan? Pasti kalimat itulah yang menjadi pertanyaan bagi setiap orang hingga menganggapku bukanlah seorang perempuan baik-baik. Namun, aku tidak peduli sebesar apapun orang tidak menyukaiku atau bahkan membenciku. Yang terpenting adalah Eliza.

Satu hal yang selalu kututup rapat dari banyak orang kecuali Pak Leo tentunya, karena dialah yang selama ini telah membantuku untuk menjaga Eliza di sekolah. Hal yang kututupi itu adalah kenyataan bahwa Eliza bukanlah anakku. Aku selalu mengingat hari itu, hari dimana aku menemukannya sendirian dan dalam keadaan ditinggalkan. Hatiku terenyuh melihatnya. Saat itu tak ada seorang pun yang tahu jika ada bayi yang terbungkus selimut di dalam kardus dalam keadaan kedinginan di balik semak-semak. Awalnya aku berpikir untuk membawa bayi itu ke panti asuhan. Namun, hal itu ku urungkan. “Sebab di dunia ini tak ada satu pun seorang anak yang ingin hidup tanpa orang tua disisinya. Semua anak butuh kasih sayang dan semua anak layak mendapatkannya terlepas dari latar belakang dan keadaannya,” pikirku. Akhirnya aku memutuskan untuk merawat bayi itu dan membawanya pulang bersamaku tetapi orang tuaku justru mengusirku. Dengan berat hati aku pergi meningalkan rumah dan menyewa apartemen kecil dengan harga murah untuk kutinggali bersama bayi itu. Bayi itu kuberi nama Kamalia Eliza.


🔲 🔲 🔲


Selepas menyelesaikan beberapa ujian sekolah, aku meninggalkan kelas tanpa mengucap sepatah kata pun. Hal itu ku lakukan karena semua orang tidak mau menerimaku termasuk sahabat dan kedua orang tuaku. Sedangkan sepanjang lorong hampir semua siswa memandangiku dengan tatapan tak bersahabat. Aku segera melangkah ke dalam lift dengan perasaan tak nyaman tanpa memedulikan sekitar dan menekan angka satu yang terletak disisi lift. Selama lift bergerak turun, aku hanya diam dan mendengarkan perbicaraan lima orang dibelakangku. Apalagi yang mereka bicarakan kalau bukan tentang kehidupanku. Bersamaan dengan lift yang berdenting, aku menghela napas berat dan keluar dari lift. “Siapa yang peduli? Lagipula ini kehidupanku,” batinku.

Selama ini aku bekerja sebagai content design di sebuah perusahaan kecil dengan skill yang aku punya. Disamping itu, aku memiliki pekerjaan lain yaitu sebagai pelayan restoran saat hari libur dan menjadi guru les selepas sekolah berakhir. Semua aku lakukan untuk membiayai kehidupanku sehari-hari. Memang awalnya tak mudah, tetapi seiring waktu aku mampu melakukannya. Oleh karena itu, sebagian orang menyebutku wanita tangguh. Sungguh! aku tertawa mendengarnya dan hanya kutanggapi dengan lelucon ataupun senyuman karena aku menghargainya.

Aku menengok kearah jam dinding. Tak terasa tiga jam telah berlalu, segera ku akhiri kelas les yang ku ajar saat ini. “Sekian yang bisa saya sampaikan hari ini dan selamat sore semuanya,” ucapku mengakhiri.

“Yes mam,” balas mereka serempak.

Aku berlalu untuk menjemput Eliza pulang dari sekolahnya atau mungkin ia telah menunggu di depan sekolahnya. Aku menyusuri trotoar dengan langkah tergesa-gesa. Dari kejauhan Eliza melambaikan tangan. Aku tersenyum dan berjalan menghampirinya lalu menggenggam tangan kecilnya.

“Bagaimana sekolah Eliza? Apa tadi menyenangkan?” tanyaku.

Eliza mengangguk-anggukan kepalanya, “sangat sangat menyenangkan dan aku menyukainya.”

“Syukurlah, mama senang mendengarnya,” ucapku seraya mengusap kepalanya.

“Mama. Mama,” panggil Eliza.

Aku menunduk, “apa sayang?”

“Besok mama jangan lupa datang ke sekolah yah karena besok adalah hari ibu. Tadi Bu Ana memberi Eliza surat dan karena Eliza cuman punya satu kesayangan. Jadi mama harus datang,” tutur Eliza kepadaku.

Aku mencubit hidungnya, “tentu mama akan datang. Siapa yang akan melewatkan hari yang menyenangkan itu hm.”

Aku dan Eliza tertawa.

🔲 🔲 🔲


Mungkin jika di luar sana kegiatan ibu dan anak yang kerap kali berbeda dan tak seiring, Namun itu berbeda dengan kami, kami lebih sering melakukan segala hal secara bersama-sama, seperti menggosok gigi bersama, mempersiapkan sekolah bersama, belajar bersama, memberinya dongeng sebelum tidur, dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. Secara tidak langsung hal itu akan menjadikan dirinya menjadi pribadi yang teratur dan rapi. Dengan cara itulah aku mendidiknya. Seperti malam ini, kami berdua sama-sama belajar dan mengerjakan tugas sekolah hingga jam sembilan malam lalu menggosok gigi bersama. Setelah itu, memberi Eliza dongeng sebelum tidur. Setelah kupastikan ia telah tertidur, dengan pelan aku mencium puncak kepalanya dan berbisik, “mimpi indah putri kecil mama.”

🔲 🔲 🔲


Aku melirik jam tanganku. Kurang lima belas lagi acara sekolah Eliza akan dimulai. Namun, sampai saati ini bel sekolah tak kunjung berbunyi karena pelaksanaan ujian yang sedikit lebih lambat dari sebelumnya. Aku mendesah pelan sedangkan jariku mengetuk-ngetuk meja dengan perasaan gelisah.

Kring kring

Tepat setelah bel berbunyi, aku mengambil tas dan berlari kecil menuju gerbang sekolah. Aku semakin menambah kecepatan lari sembari melihat ke arah sekeliling. Dengan napas tersengal-sengal dan tangan bertumpu di kedua lutut, aku mendongak-menatap plat nama sekolah Eliza. “Syukurlah,” batinku.

Aku melangkah memasuki sekolah Eliza menuju aula, tempat sekolah menyelenggarakan acara. Aku melihat Pak Leo melambai, lantas aku menghampirinya dan bertanya, “Apakah acaranya sudah dimulai?”

Pak Leo menggeleng. “Sepertinya kau harus duduk disana,” ujarnya seraya menunjuk kursi di atas panggung.

“Baiklah. Terima kasih pak,” balasku.

Sesuai perkiraanku, memang hanya tersisa diriku untuk menempati kursi itu. Dengan intruksi penyelenggara, aku naik ke atas panggung dan duduk dikursi yang telah disediakan. Setelah beberapa anak yang lain memberi ucapan kepada orang tua mereka. Kini giliran Eliza. Berbeda dengan anak yang lain. Eliza bergerak maju dan menggenggam tanganku kemudian tersenyum.

“Mama. Mama adalah seorang ibu terbaik yang Tuhan kirim untuk Eliza. Eliza sangat bersyukur memiliki mama. Doa yang terbaik dari Eliza selalu mengiringi mama. Selamat hari ibu, mama. Eliza sayang mama untuk hari ini, besok, dan untuk selamanya.”

Hatiku menghangat mendengarnya. Perlahan air mataku menetes. Aku tersenyum haru dan memeluknya.

“Mama juga menyayangimu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun