Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Makrifat dan Tugas Kemanusiaan Kita di Hari Kurban

12 September 2016   14:35 Diperbarui: 12 September 2016   17:53 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi-lagi konteksnya makrifat. Kalau ini, saya dulu juga sering melihat fenomena itu pada hewan. Ini dalam konteks kita membaca tanda ya, kadang-kadang terlihat hewan yang ingin dikurbankan terlalu tenang. Hehe, kalau yang lari dan mengamuk, sepertinya ada yang salah dalam prosesnya, hehe.

Dalam konteks ini izinkan saya untuk berkata: semoga semua makhluk yang terpilih hari ini untuk dikurbankan berbahagia, menjadi penyangga atas kesadaran komitmen manusia menenggakkan risalah Tuhan di muka bumi: berpihak pada kemanusiaan!

Masih tentang makrifat. Karena itu saya teringat di kampung-kampung, yang masih kental pemahaman makrifat keagamaannya ini, punya adab tersendiri dalam melakukan pemotongan hewan. Dalam penentuan hewan potongan pun haruslah yang sudah matang, dalam arti sudah berumur. Dulu saya sering diminta untuk memegang ayam sebelum ditahbiskan penyempurnaannya (dipotong maksudnya, J). Sebelum dipotong terlebih dahulu saya wajib majjenne (dalam Bahasa Bugis artinya berwudhu). Wudhu artinya menyucikan diri. 

Syarat wajib pertama sebelum beribadah kepada Tuhan dalam agama Islam, yang berarti penyucian. Semua orang yang terlibat dalam pemotongan ini harus bersuci terlebih dahulu, lalu ayam itu juga harus diwudhukan dengan air artinya hewan pun harus dispritualisasikan dengan wudhu sebagaimana manusia tadi.

Yang kedua: hewan yang dipotong jelas tidak boleh dilihat oleh sesama hewan yang lain. Kemudian, pastikan pisau pemotongan harus sudah diasah seasah-asahnya mungkin, itu untuk tidak meninggalkan luka rasa sakit terlalu lama. Dan secara syariat disitu, hanya boeh dilakukan tiga kali gesekan pisau. Dan dalam waktu pemotongan itu, biasanya yang memotong adalah iman (orang yang dianggap memiliki pemahaman agama yang baik), ialah yang membacakan doa (kalau ini lafas doanya saya lupa pastinya). Yang jelas inti doa itu maknanya adalah: mengembalikan. Mengembalikan hal-hal yang sifatnya non materil terhadap hewan tadi ke asalnya. Begitulah kira-kira ADAB sederhana, untuk menegaskan bahwa tradisi ini bukanlah tradisi barbar, yang bisa dilakukan begitu saja. Ada banyak komponen-komponen syarat dan makna spritual di dalamnya.

Karena lagi-lagi, bahwa Idul Adha bukan sekadar memakan daging, jauh dari itu, tentang upaya untuk mempertanyakan komitmen kemanusiaan kita terhadap sesama. Menyantuni kaum fakir, miskin, yang mungkin hanya sekali dalam setahun bisa menikmati daging (sebagai simbol makanan mewah)! Itulah tugas kemanusiaan kita bersama. 

Dalam konteks berpihak kepada kemanusiaan, baik dan buruk, serta benar dan salah tidak lagi ditentukan apakah kita mengonsumsi daging atau tidak. Di sinilah kita sama-sama berpijak. Berbahagialah mereka yang dapat menyantuni dan disantuni, semoga semua makhluk berbahagia..

Salam,

Penulis
Muhammad Ruslan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun