Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Makrifat dan Tugas Kemanusiaan Kita di Hari Kurban

12 September 2016   14:35 Diperbarui: 12 September 2016   17:53 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurban adalah sejarah manusia memenangkan ego. Sejarah manusia menyembelih ego dalam diri. Ego-ego kebinatangan yang pada dasarnya muncul dalam sikap-sikap menindas: serakah, asosialis, tidak beradab, dll. Bahkan isitilah-istilah berhala sekalipun sebagai bentuk penyekutuan terhadap Tuhan adalah simbol dari materialitas dan kegandrungan akan sifat-sifat materi yang menguasai manusia muncul dalam bentuk ego. Yang dalam konteks struktur sosial inilah yang melahirkan dan melanggengkan penindasan yang berpangkal pada akumulasi.

Kurban bukanlah sesajen yang dipersembahkan kepada altar Tuhan yang terpisah dari kehidupan. Tetapi merupakan pengorbanan manusia untuk kepentingan manusia tertindas. Karena itulah kurban adalah ibadah sosial yang mengajarkan manusia untuk berbagi. Mengorbankan hal yang paling berharga dalam diri untuk orang lain. 

Di negara-negara Arab yang notabene hidup di gurun pasir, dulu: daging atau ternak adalah simbol dari harta yang paling dianggap berharga saat itu. Kepemilikan ternak menggambarkan bahkan ikut menentukan status sosial orang. Ini adalah bentuk kapitalisme primitif saat itu. Karena tidak heran ketika dalam cerita-cerita tentang Nabi Musa sekalipun, materialisme kehidupan masyarakatnya digambarkan lewat sapi. Berhala-berhala itu digambarkan sebagai realitas materi seperti ternak.

Kalau itu bentuk kecintaan terhadap Tuhan dan manusia, kenapa harus mengorbankan hewan sebagai makhluk hidup?

Dalam konteksi ini saya ingin menjelaskan dalam ranah makrifat. Dalam ilmu makrifat kita paham bahwa hidup ini pada dasarnya satu dan abadi. Kekekalan Tuhan dan konsepsi-konsepsi kita tentang realitas pada dasarnya tidaklah bertentangan dengan hukum kekakalan energi (alam itu sendiri). Alam adalah satu, tak terkecuali dengan manusia, hewan, dan tumbuhan itu sendiri. Dalam konteks lebih luas, ajaran makrifat memahamkan bahwa tidak ada realitas selain realitas keberadaan itu sendiri. Karena semua realitas itu satu dan berkesadaran. Dalam konteks ini tidak ada benda yang benar-benar disebut mati (tak berkesadaran).

Manusia adalah makhluk berkesadaran sepertinya halnya hewan dan tumbuhan. Ada satu siklus yang saling memberi dalam proses interaksi itu. Karena pada dasarnya semua menyatu dalam proses alam itu sendiri. Adakah tumbuhan yang kita makan sekalipun tidak mengandung unsur-unsur hewani (yang diserap lewat proses alam)? Apakah tumbuhan adalah benda mati? Padahal ia memiliki sifat-sifat kemakhlukhidupan dengan sifatnya yang tumbuh, seperti halnya dengan hewan yang berkembang misalnya?

Bahkan kita cukup mudah membaca dan mendengar cerita-cerita sejarah bijak para kaum arif. Para sufi, orang yang menjalankan ajaran makrifat dalam kehidupan sehari-harinya. Bahkan beberapa di antara mereka menginjak rumput pun harus meminta izin kepada rumput itu sendiri. Lantas apakah ia tidak memakan tumbuhan apalagi hewan? Tentu saja makan untuk bertahan hidup. Namun yang membedakan adalah ADAB. Ini yang paling penting. Untuk hal sifatnya daging, beberapa di antaranya pada momentum-momentum tertentu berpuasa, ia sebut puasa daging (tidak memakan hewan pada rentang waktu tertentu). Puasa daging bukan mengharamkan daging secara total. O, ya beberapa pemeluk Islam yang saya tahu juga ada yang vegan ya. Dan kita menghormati pilihan itu.

Kembali lagi ke-ADAB. Yang membedakan adalah ADAB. Ini yang paling penting. ADAB Inilah yang membedakan manusia, hewan dan tumbuhan. Kalau manusia menyembelih hewan tapi menafikan ADAB, maka ia telah ikut melunturkan kemanusiaannya, karena lagi-lagi yang membedakan manusia dengan hewan adalah adab. 

Kata para filsuf, manusia adalah binatang yang berpikir. Dari berpikirnya itulah ia (seharusnya) beradab. Kalau saja dalam penyembelihan hewan itu tidak lagi dilandasi oleh ADAB, maka tak ada bedanya: seorang manusia menyembelih hewan dengan ketika seekor serigala memburu dan memangsa seekor domba. Hilangnya ADAB itu sama halnya hilang keberpikiran pada definisi manusia itu sendiri, sehingga definisi filsuf tentang manusia tadi ya… tinggal: manusia adalah…. (a..sudahlah jawab sendiri!) hehe

Bahkan, dalam ajaran-ajaran makrifat juga dipahami keberadaan sisi transenden-spritual terhadap kehidupan hewan. Kalau dalil naqlinya, berbunyi: “Tidak ada sesuatu pun yang tidak bertasbih (menyebut nama-Nya). Terlepas kita percaya atau tidak, karena memang konsepsi ini adalah konsepsi makrifat bukan konsepsi filsafat yang menuntut rasionalitas. Sisi makrifatnya adalah, ia memahami bahwa puncak penyempurnan hewan terhadap kehewaniannya terletak pada saat dirinya dipilih sebagai pilihan kurban untuk penyucian kepada Tuhan. Dalam konteks ini dipahami bahwa ada hal-hal hudus yang dilekatkan sebagai sebuah pemahaman untuk pemotongan hewan sekalipun.

Konsepsi ini memahami bahwa hewan diciptakan untuk mendampingi tugas kemanusiaan yang diemban oleh manusia (karena itu dipahami tidak ada yang sia-sia). Puncak penyempurnaanya ia adalah ketika ia bisa menopang jalan panjang perjuangan manusia menegakkan tugas-tugas kemanusiaannya. Karena itu dalam perspektif ini: air mata yang berkaca-kaca tidak semata-mata ditafsirkan sebagai bentuk kesedihan, bisa jadi adalah wujud nyata dari kebahagiaan J. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun