“Kalau saja saya seorang aktivis, maka saya akan lebih dulu membela manusia-manusia tertindas (membela hak asasi manusia), sebelum membela hak asasi hewan”. Begitu ujarku dengan nada bercanda kepada seorang kawan yang mengajakku berdiskusi ringan beberapa hari yang lalu. Sambil beranjak memperlihatkan lewat smartphonenya: Serangkaian aksi telanjang (setelah disensor) aktivis PETA (People for the Ethical Treatment of Animals) saat mengampanyekan vegetarian di Sao Paulo, Brasil, bulan Agustus silam.
Dengan nada bercanda lagi saya sambung, “Aku juga kadang-kadang bingung Bung, terlalu mudah kita berempati pada hewan daripada manusia. Hampir tiap hari kita selalu bicara hak asasi hewan, tapi luput memantik rasa simpati atas banyaknya ketertindasan manusia? Kenapa terlalu mudah muncul ide dalam kepala kita keinginan untuk membebaskan semua binatang di Kebun Binatang Bogor, daripada membebaskan buruh tertindas di pabrik-pabrik miliki Bakrie? Hahahaha. Kami lantas tertawa. Begitulah kami bercanda dan menularkan pikiran tanpa ada hal tabu. Banyak hal yang membuat saya hormat dengan kawan saya ini: salah satunya pilihannya untuk menjadi pecinta semua jenis binatang. Hehe.
Kawan saya ini memang seorang vegan yang taat—bahkan sangat taat menurutku. Ia seorang, bisa dibilang pemerhati kalau bukan aktivis hewan. Aku menghormati pilihan ideologisnya. Begitupun ia, meski saya bukan vegan ia juga menaruh hormat atas pilihan saya. Karena seperti yang selalu dia bilang: vegan itu adalah pilihan! Dan tidak ada yang harus dipersoalkan atas pilihan-piihan itu.
Hari ini tepat Hari Idul Adha, hari yang disimbolkan sebagai hari berqurban bagi umat Muslim seperti saya. Kawan saya mengajak saya ngobrol lewat chat, sekaligus men-share banyak artikel ke saya dengan segenap gambar-gambar yang menuai keprihatinan: mulai dari gambar sapi yang meneteskan air mata, sampai gambar-gambar ‘sadis’ penyembelihan.
Saya ikut menaruh rasa prihatin atas keprihatinannya. “Saya sepakat (dengan keprihatinanmu),” begitu balasku. “Penyembelihan secara sadis dalam konteks apapun adalah tindakan yang tidak manusiawi,” ujarku. Mulailah saya menyambung diskusi. Berusaha untuk membedakan: mana penyembelihan hewan secara barbar untuk kepentingan pasar dan yang mana pemotongan hewan untuk kepentingan sosial-spritual Idul Adha.
Dua hal di atas di beberapa artikel ataupun komentar yang saya baca, sepertinya luput untuk dibedakan dengan jelas. Sehingga potensi kesalahan tafsir bisa terjadi. Sehingga dapat berpotensi salah persepsi: mempersepsi Idul Adha sebagai tradisi barbar?
Beberapa waktu silam. Kami menonton video tentang bagaimana praktik pemotongan hewan dan pengolahan daging hewan lewat mesin untuk kepentingan industri. Sungguh sangat memantik rasa prihatin. Penyembelihan hewan secara sporadis dengan alat penyedot, hingga kemudian dikunyah-kunyah oleh mesin pengunyah dalam kondisi hewan itu: setengah hidup-setengah mati. Lagi-lagi konteksnya untuk kepentingan pasar: bisnis daging-dagingan, yang sampai saat ini produknya tergolong paling banyak digemari oleh konsumen dengan selera gengsi yang tinggi seperti mekdi, cocis, dll.
Mulailah saya menanggapi, bahwa dalam Islam (sesuai kadar pahaman saya) produk yang dihasilkan dari proses itu sudah jelas haram! Bagi saya, ada dua kaidah Islam menetapkan haram tidaknya suatu produk yakni melihat sisi proses dari dua sisi yakni: sisi proses produksi dan sisi relasi sosial produksi yang ada. Sisi proses produksi secara fiqih menempatkan bahwa kalau saja ia adalah olahan daging, tetapi diperoleh dari penyembelihan secara barbar maka jelas ia menjadi haram (termasuk di dalamnya bahan-bahan yang membahayakan lainnnya).
Yang kedua secara relasi sosial produksi: Kalau saja produk itu dihasilkan dari proses penindasan terhadap manusia (seperti buruh, pekerja, masyarakat adat, dll), maka bagi saya fiqh sosialnya atas produk itu menjadi bermasalah. Ini alasan praksis, atas konsepsi penolakan Islam atas segala bentuk kegiatan bisnis yang dibangun beralaskan eksploitasi manusia di atas manusia.
Bagaimana dengan Idul Adha? Apa sebenarnya hakikat dari Idul Adha yang membuat kita mentradisikan pemotongan hewan?
Menurut sejarah, dari cerita-cerita tentang Nabi Ibrahim, kita tahu bahwa sejarah kurban adalah sejarah pengorbanan. Sejarah tentang pengorbanan untuk pembuktian cinta manusia kepada Tuhan. Yang pada hakikatnya sekaligus sejarah atas komitmen cinta manusia atas manusia sebagai konskuensi kecintaan manusia atas Tuhan.
Kurban adalah sejarah manusia memenangkan ego. Sejarah manusia menyembelih ego dalam diri. Ego-ego kebinatangan yang pada dasarnya muncul dalam sikap-sikap menindas: serakah, asosialis, tidak beradab, dll. Bahkan isitilah-istilah berhala sekalipun sebagai bentuk penyekutuan terhadap Tuhan adalah simbol dari materialitas dan kegandrungan akan sifat-sifat materi yang menguasai manusia muncul dalam bentuk ego. Yang dalam konteks struktur sosial inilah yang melahirkan dan melanggengkan penindasan yang berpangkal pada akumulasi.
Kurban bukanlah sesajen yang dipersembahkan kepada altar Tuhan yang terpisah dari kehidupan. Tetapi merupakan pengorbanan manusia untuk kepentingan manusia tertindas. Karena itulah kurban adalah ibadah sosial yang mengajarkan manusia untuk berbagi. Mengorbankan hal yang paling berharga dalam diri untuk orang lain.
Di negara-negara Arab yang notabene hidup di gurun pasir, dulu: daging atau ternak adalah simbol dari harta yang paling dianggap berharga saat itu. Kepemilikan ternak menggambarkan bahkan ikut menentukan status sosial orang. Ini adalah bentuk kapitalisme primitif saat itu. Karena tidak heran ketika dalam cerita-cerita tentang Nabi Musa sekalipun, materialisme kehidupan masyarakatnya digambarkan lewat sapi. Berhala-berhala itu digambarkan sebagai realitas materi seperti ternak.
Kalau itu bentuk kecintaan terhadap Tuhan dan manusia, kenapa harus mengorbankan hewan sebagai makhluk hidup?
Dalam konteksi ini saya ingin menjelaskan dalam ranah makrifat. Dalam ilmu makrifat kita paham bahwa hidup ini pada dasarnya satu dan abadi. Kekekalan Tuhan dan konsepsi-konsepsi kita tentang realitas pada dasarnya tidaklah bertentangan dengan hukum kekakalan energi (alam itu sendiri). Alam adalah satu, tak terkecuali dengan manusia, hewan, dan tumbuhan itu sendiri. Dalam konteks lebih luas, ajaran makrifat memahamkan bahwa tidak ada realitas selain realitas keberadaan itu sendiri. Karena semua realitas itu satu dan berkesadaran. Dalam konteks ini tidak ada benda yang benar-benar disebut mati (tak berkesadaran).
Manusia adalah makhluk berkesadaran sepertinya halnya hewan dan tumbuhan. Ada satu siklus yang saling memberi dalam proses interaksi itu. Karena pada dasarnya semua menyatu dalam proses alam itu sendiri. Adakah tumbuhan yang kita makan sekalipun tidak mengandung unsur-unsur hewani (yang diserap lewat proses alam)? Apakah tumbuhan adalah benda mati? Padahal ia memiliki sifat-sifat kemakhlukhidupan dengan sifatnya yang tumbuh, seperti halnya dengan hewan yang berkembang misalnya?
Bahkan kita cukup mudah membaca dan mendengar cerita-cerita sejarah bijak para kaum arif. Para sufi, orang yang menjalankan ajaran makrifat dalam kehidupan sehari-harinya. Bahkan beberapa di antara mereka menginjak rumput pun harus meminta izin kepada rumput itu sendiri. Lantas apakah ia tidak memakan tumbuhan apalagi hewan? Tentu saja makan untuk bertahan hidup. Namun yang membedakan adalah ADAB. Ini yang paling penting. Untuk hal sifatnya daging, beberapa di antaranya pada momentum-momentum tertentu berpuasa, ia sebut puasa daging (tidak memakan hewan pada rentang waktu tertentu). Puasa daging bukan mengharamkan daging secara total. O, ya beberapa pemeluk Islam yang saya tahu juga ada yang vegan ya. Dan kita menghormati pilihan itu.
Kembali lagi ke-ADAB. Yang membedakan adalah ADAB. Ini yang paling penting. ADAB Inilah yang membedakan manusia, hewan dan tumbuhan. Kalau manusia menyembelih hewan tapi menafikan ADAB, maka ia telah ikut melunturkan kemanusiaannya, karena lagi-lagi yang membedakan manusia dengan hewan adalah adab.
Kata para filsuf, manusia adalah binatang yang berpikir. Dari berpikirnya itulah ia (seharusnya) beradab. Kalau saja dalam penyembelihan hewan itu tidak lagi dilandasi oleh ADAB, maka tak ada bedanya: seorang manusia menyembelih hewan dengan ketika seekor serigala memburu dan memangsa seekor domba. Hilangnya ADAB itu sama halnya hilang keberpikiran pada definisi manusia itu sendiri, sehingga definisi filsuf tentang manusia tadi ya… tinggal: manusia adalah…. (a..sudahlah jawab sendiri!) hehe
Bahkan, dalam ajaran-ajaran makrifat juga dipahami keberadaan sisi transenden-spritual terhadap kehidupan hewan. Kalau dalil naqlinya, berbunyi: “Tidak ada sesuatu pun yang tidak bertasbih (menyebut nama-Nya). Terlepas kita percaya atau tidak, karena memang konsepsi ini adalah konsepsi makrifat bukan konsepsi filsafat yang menuntut rasionalitas. Sisi makrifatnya adalah, ia memahami bahwa puncak penyempurnan hewan terhadap kehewaniannya terletak pada saat dirinya dipilih sebagai pilihan kurban untuk penyucian kepada Tuhan. Dalam konteks ini dipahami bahwa ada hal-hal hudus yang dilekatkan sebagai sebuah pemahaman untuk pemotongan hewan sekalipun.
Konsepsi ini memahami bahwa hewan diciptakan untuk mendampingi tugas kemanusiaan yang diemban oleh manusia (karena itu dipahami tidak ada yang sia-sia). Puncak penyempurnaanya ia adalah ketika ia bisa menopang jalan panjang perjuangan manusia menegakkan tugas-tugas kemanusiaannya. Karena itu dalam perspektif ini: air mata yang berkaca-kaca tidak semata-mata ditafsirkan sebagai bentuk kesedihan, bisa jadi adalah wujud nyata dari kebahagiaan J.
Lagi-lagi konteksnya makrifat. Kalau ini, saya dulu juga sering melihat fenomena itu pada hewan. Ini dalam konteks kita membaca tanda ya, kadang-kadang terlihat hewan yang ingin dikurbankan terlalu tenang. Hehe, kalau yang lari dan mengamuk, sepertinya ada yang salah dalam prosesnya, hehe.
Dalam konteks ini izinkan saya untuk berkata: semoga semua makhluk yang terpilih hari ini untuk dikurbankan berbahagia, menjadi penyangga atas kesadaran komitmen manusia menenggakkan risalah Tuhan di muka bumi: berpihak pada kemanusiaan!
Masih tentang makrifat. Karena itu saya teringat di kampung-kampung, yang masih kental pemahaman makrifat keagamaannya ini, punya adab tersendiri dalam melakukan pemotongan hewan. Dalam penentuan hewan potongan pun haruslah yang sudah matang, dalam arti sudah berumur. Dulu saya sering diminta untuk memegang ayam sebelum ditahbiskan penyempurnaannya (dipotong maksudnya, J). Sebelum dipotong terlebih dahulu saya wajib majjenne (dalam Bahasa Bugis artinya berwudhu). Wudhu artinya menyucikan diri.
Syarat wajib pertama sebelum beribadah kepada Tuhan dalam agama Islam, yang berarti penyucian. Semua orang yang terlibat dalam pemotongan ini harus bersuci terlebih dahulu, lalu ayam itu juga harus diwudhukan dengan air artinya hewan pun harus dispritualisasikan dengan wudhu sebagaimana manusia tadi.
Yang kedua: hewan yang dipotong jelas tidak boleh dilihat oleh sesama hewan yang lain. Kemudian, pastikan pisau pemotongan harus sudah diasah seasah-asahnya mungkin, itu untuk tidak meninggalkan luka rasa sakit terlalu lama. Dan secara syariat disitu, hanya boeh dilakukan tiga kali gesekan pisau. Dan dalam waktu pemotongan itu, biasanya yang memotong adalah iman (orang yang dianggap memiliki pemahaman agama yang baik), ialah yang membacakan doa (kalau ini lafas doanya saya lupa pastinya). Yang jelas inti doa itu maknanya adalah: mengembalikan. Mengembalikan hal-hal yang sifatnya non materil terhadap hewan tadi ke asalnya. Begitulah kira-kira ADAB sederhana, untuk menegaskan bahwa tradisi ini bukanlah tradisi barbar, yang bisa dilakukan begitu saja. Ada banyak komponen-komponen syarat dan makna spritual di dalamnya.
Karena lagi-lagi, bahwa Idul Adha bukan sekadar memakan daging, jauh dari itu, tentang upaya untuk mempertanyakan komitmen kemanusiaan kita terhadap sesama. Menyantuni kaum fakir, miskin, yang mungkin hanya sekali dalam setahun bisa menikmati daging (sebagai simbol makanan mewah)! Itulah tugas kemanusiaan kita bersama.
Dalam konteks berpihak kepada kemanusiaan, baik dan buruk, serta benar dan salah tidak lagi ditentukan apakah kita mengonsumsi daging atau tidak. Di sinilah kita sama-sama berpijak. Berbahagialah mereka yang dapat menyantuni dan disantuni, semoga semua makhluk berbahagia..
Salam,
Penulis
Muhammad Ruslan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H