Mohon tunggu...
Tedy Aprilianto
Tedy Aprilianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Individu merdeka permbelajar filsafat untuk memberi gambaran opini generasi muda

Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada | Pembelajar Filsofis dan Pecinta Perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Polemik Penundaan Pemilu: Pemantik Gejolak Kritisisme Masyarakat dalam Memperjuangkan Amanat Demokrasi

19 April 2022   09:57 Diperbarui: 19 April 2022   10:03 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Demonstrasi/Foto : Merdeka.com

Semenjak Bulan Maret lalu, masyarakat Indonesia dibuat gaduh oleh salah satu wacana yang dicetuskan oleh beberapa elite politik. Wacana tersebut adalah keinginan untuk melakukan penundaan pemilu pada tahun 2024. 

Dengan ditundanya pemilu ini maka masa jabatan dari berbagai elemen penguasa dari struktur legislatif dan eksekutif berkemungkinan besar bertambah. 

Dikutip dari Kompas.com, dipaparkan bahwa elite penguasa memiliki big data tentang masyarakat yang mendukung untuk penundaan pemilu 2024. 

Dengan dalih perbaikan ekonomi di masa pandemi covid-19 seakan-akan mampu membuat publik percaya bahwa rezim saat ini layak untuk berkuasa. 

Selain itu pengusaha juga dijadikan tameng penguasa dalam mencari suara untuk menginginkan isu ini dilanggengkan. Tidak sedikit dari pengusaha yang menyetujui usulan itu dengan harapan bisa menghemat anggaran di masa pemulihan ini.

Apapun alasannya, wacana penundaan pemilu jika benar-benar terjadi maka keputusan menyetujui wacana tersebut akan melanggar cita-cita reformasi dan undang-undang yang berlaku. 

Walaupun penguasa tetap kekeh menginginkan wacana itu maka, penundaan pemilu dengan dalih suci apapun itu akan Inskonstusional dan ditolak oleh rakyat. 

Walaupun wacana belum sepenuhnya terjadi, akan tetapi dengan adanya statement dari Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengklaim bahwa ia memiliki big data dari media sosial yang merepresentasikan dukungan masyarakat atas penundaan pemilu.

Dengan adanya klaim itu seakan-akan masyarakat sedang digoreng untuk lebih mudah percaya. Namun, di dalam big data itu kebenaranya masih menjadi sebuah tanda tanya besar. Apakah big data itu hanya rekayasa belaka ? ataukah big data itu memang benar adanya ?.

Dengan adanya tanda tanya besar itu, berbagai elemen masyarakat tidak tinggal diam. Terutama mahasiswa, mereka semua langsung bergejolak menggunakan idealismenya untuk mengkritisi polemik penundaan pemilu. 

Kebingungan publik adalah salah satu moment untuk membangkitkan kembali para pemikir-pemikir muda dengan bernafaskan kritisisme dan realitisme akan keadaan.

Kritisisme adalah istilah yang penulis pinjam dari pemikiran Immanuel Kant, mengenai "rasional(isme) yang kritis". Di dalam pemikiran tersebut Kant berusaha menanggapi dua aliran besar yang berdebat. Yakni aliran empirisme dan rasionalisme. 

Kant menolak pengetahuan sejati dari pandangan dunia tentang akal budi selain itu Kant juga menolak pandangan empirisme yang lebih menekankan pada pengalaman empiris. 

Dari kedua permasalahan tersebut Kant mencetuskan sebuah aliran filsafat yang disebut dengan kritisisme. Aliran filsafat ini diposisikan melawan dogmatis dan dimaknai sebagai filsafat yang memulai sebuah penyelidikan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi kemampuan dan batas-batas rasio (Wibawa dan Muttaqin,2021).

Dari hasil pemikiran Immanuel Kant tersebutlah yang menjadi sebuah modal utama bagi umat manusia diseluruh dunia dalam mengungkap kebenaran dalam sebuah permasalahan. 

Di Indonesia ini masyarakat yang kritis sangat dibutuhkan. Apalagi negara kita adalah negara demokrasi yang dimana aspirasi kritis dalam perpolitikan sangat dibutuhkan. Menanggapi wacana penundaan pemilu ini kritisme adalah senjata paling awal untuk menggagalkannya. 

Dengan adanya kritisisme di masyarakat hal itu secara tidak langsung dapat menggaungkan masyarakat untuk menunjukkan aspirasinya dalam keterlibatan demokrasi baik dalam berpolitik baik dalam ranah praktis maupun teoritis.

Masyarakat seluruh Indonesia memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi secara aktif dalam membahas permasalahan kiprah politik di negaranya. 

Jika wacana penundaan pemilu tetap dijalankan maka pencederaan semangat reformasi benar-benar terjadi dan berbagai pergolakan besar akan terjadi. 

Tidak jarang akhir-akhir ini banyak statement di sosial media yang mengatakan bahwa, mahasiswa akan terus bergerak dan mahasiswa juga mempersiapakan sebuah ultimatum akan menciptakan peristiwa reformasi jilid 2.

Segala kemungkinan di perpolitikan Indonesia ini pasti akan terjadi. Jika wacana penundaan pemilu itu benar adanya serta tidak melibatkan suara rakyat sebagai nilai demokrasi. 

Maka kemungkinan wacana itu dapat menimbulkan sebuah konflik baru yang berujung pada kekerasan yang menelusur pada titik akhir berupa kehancuran dan ketidakjelasan arah negeri ini.

Profestisme kaum intelektual di tengah gejolak kritisisme ini memberikan sebuah kekuatan dalam politik praksis. Di dalam hal ini tanggung jawab besar melekat pada kaum intelektual di dalam mempertaruhkan diri untuk menentukan jalan sejarah peradaban di negeri ini. Gejolak pemikiran kritisisme adalah bentuk kewajiban di dalam memenuhi panggilan sejarah di negeri ini. 

Dengan adanya isu penundaan pemilu ini menjadikan sebuah kontradiktif perpolitikan di Indonesia. Isu tersebut menjadikan politik di negeri ini sudah tidak berjalan sesuai fungsinya. Kebaikan bersama yang menjadi harapan kian sirna dengan lahirnya kegelisahan-kegelisahan bersama.

Selain itu ketika masyarakat berusaha mengkritisi wacana penundaan pemilu, masyarakat mengalami kondisi yang tidak ada aman. Didukung dengan peretasan data pribadi dan sosial media beberapa mahasiswa yang mencoba menyuarakan isu itu, seakan-akan pemerintahan rezim ini telah melakukan pembungkaman atas segala suara hati aspirasi masyarakat.

Dengan adanya fenomena peretasan yang kian berkesinambungan dengan gejolak masyarakat Indonesia, maka masyarakat Indonesia ahkir-ahkir ini dapat dikatakan telah menjadi korban di dalam permainan politik.

Isu penundaan pemilu dan kebebasan berpendapat yang dibungkam menjadikan boomerang dari pemerintahan rezim ini atas reformasi yang telah terjadi. 

Apapun dalih pembelaanya elite politik dalam rezim pemerintahan ini tidaklah mempan. Dan pemerintah itulah yang mengabaikan politik di negeri ini dari hakikat luhur reformasi. 

Kritisme dalam wacana penundaan pemilu ini harus terus digaungkan untuk menumbuhkan iklim baru kritisisme dalam mencegah semakin maraknya apatisme. 

Jika masyarakat di negeri ini masih tetap apatis dengan penundaan pemilu ini, maka peradaban kritis akan mengalami kemunduran serta keberlanjutan penindasan intelektual dengan cara apapun akan melestari.

Dalam isu wacana penundaan pemilu ini jika dikaji di dalam pendapat Sosiolog Yaraf Amir Piliang, perpolitikan di Indonesia ini akan bisa dijadikan alat penguasa untuk melegalkan berbagai cara. Hal ini terbukti dengan klaim dari Luhut untuk melanggengkan wacana penundaan pemilu ini. 

Selain itu Luhut di dalam melanggengkan keinginan penundaan pemilu, menjadikan dirinya sebagai aktor politik yang minim dalam intelektualitas,moralitas (software politik) dan media politik serta perangkatnya (hardware politik ). 

Hal tersebut secara tidak langsung akan mengarah pada manipulasi politik. Manipulasi politik itu merupakan bentuk propaganda dari rezim ini dalam menutupi realitas citra politik yang ada dengan tujuan untuk memanipulasi kritisisme dan kesadaran di masyarakat.

Aktor politik yang tumbuh dan popular jika dilihat dari kondisi sekarang, seakan-akan membuat tokoh tersebut sedang kurang pemahaman tentang pendidikan politik dan tidak tahu kinerja politik yang cocok untuk saat ini. 

Kejadian yang telah terjadi ini membuat politik di Indonesia ini menjadi diminimalisasikan dengan penyelewengan kebenaran yang ke arah mitologisasi politik. 

Dengan adanya penyelewengan itu maka terjadi fantasi di politik Indonesia yang merujuk untuk menjadikan politik di negeri ini irasional dan imajinasi dangkal dalam mengesampingkan tuntutan dari masyarakat.

Isu wacana penundaan pemilu jika benar-benar terjadi dengan segala macam cara yang dianggap sah oleh konstitusi di negara ini maka, bisa dikatakan bahwa rakyat adalah objek yang selalu disusupi oleh janji palsu dan rakyat bukan sebagai alat aspirasi melainkan sebagai alat untuk batu loncatan menuju kursi-kursi kekuasaan.

Hal-hal demikianlah yang menjadikan mereduksinya semangat dan daya juang. Masyarakat memutlakan kepentingan subjektif dalam pengambilan kebijakan publik. Etika politik perlu konsisten terhadap orientasi publik ketimbang orientasi egosentris penguasa belaka. 

Oleh sebab itu daya nalar kritisisme yang sudah tidak puas terhadap egosentris menuntut sebuah gerakan dengan keinginan untuk memperbaiki kehidupan politik yang merujuk kepada kebebasan,kebersamaan,keadilan dan solidaritas.

Kritik masyarakat mengekspresikan ketidakpuasan yang telah lama mengekang. Aktivitas kritik atas Krisis memiliki intensi kuat agar situasi yang diliputi kegelisahan (seperti saat ini) dapat dipulihkan kembali. Kecurigaan praktik bangkitnya kembali KKN bukanlah jalan yang konstruktif untuk mengusung kesejahteraan bersama. 

Ditambah lagi di masa sekarang isu wacana penundaann pemilu menjadikan sebuah agenda tersendiri di dalam melanggengkan KKN. Pembungkaman dalam mengkritisi isu ini juga kerap terjadi yang seakan-akan merampas martabat bagi manusia untuk berkomunikasi. 

Signifikansi kesadaran kritis bagi rakyat dengan kata lain rakyat harus tidak lagi mendekam dalam tempurung bisu yang hanya mengandalkan pasivitas atau menunggu rentetan operasi atau penindasan yang dilakukan oleh penguasa. Kebijakan-kebijakan pemerintah akhir-akhir ini yang dijalankan lebih kepada suatu akselerasi menghancurkan demokrasi (Jemali,2016).

Apapun kondisinya, siapa pun pemimpinya kritik akan selalu muncul untuk menentukan arah gerak dari dinamika bangsa ini. Salah satu munsuh utama dari pemimpin di negeri demokrasi ini ialah anti kritik. Anti Kritik adalah ciri dari seorang penguasa yang fasistik. 

Antik Titik bukanlah sifat penguasa yang cocok untuk menjalankan komando pemerintahan di negeri ini. Penguasa yang cocok dan layak memimpin negeri ini adalah penguasa yang demokratis dan terbuka atas segala bentuk aspirasi.

Kritik adalah salah satu bentuk evaluasi kritis atas eksperimentasi yang sampai saat ini belum menemukan titik kulminatif. Ketika masyarakat dan kaum intelektual dapat kritis maka kesadaran kritis akan mendapatkan sebuah signifikansinya kalau ada kesediaan untuk mendengarkan yang lain. 

Dari hal itu kebijakan penundaan pemilu yang telah dicetuskan ini berdasarkan otoritas diatas saja dan tidak berpijak kepada keberpihakan rakyat. 

Pemimpin yang telah dipilih oleh rakyat seharusnya harus mampu menjalankan tugasnya sesuai amanat demokrasi dan undang-undang dasar 1945. Menghargai suara rakyat merupakan suatu tanggung jawab dari paradigma pejabat publik di negeri demokrasi ini.

Ketika pemimpin yang telah rakyat pilih bekerja tidak sesuai harapan rakyat maka keresahan rakyat akan muncul dengan banyaknya jalan yang terblokir oleh aksi massa. 

Ketika pemimpin sudah tidak mampu menjalan pemerintahan dan bahkan lemah dalam pemerintahan maka rakyat akan selalu bergerak dan berjuang semaksimal mungkin untuk mengungkap kebenaran. Seperti yang terjadi di dalam kurun waktu 1 bulan ini. 

Mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat selalu turun dan memenuhi jalan untuk mengungkap usulan inkonstitusional penundaan pemilu. Walaupun kenyataanya beberapa tokoh publik seperti Luhut Binsar Panjaitan tidak memberikan sebuah kebenaran yang nyata dan segala argumentatifnya selalu mengkontradiksikan apa yang ia usulkan dulu.

Padahal sebelumnya Luhut Binsar Panjaitan menjadi tokoh yang paling kuat mendukung penundaan pemilu yakni dengan dalih yang ia klaim bahwa masyarakat Indonesia sejumlah 110 juta menyetujui bahwa pemilu ditunda.

Akan tetapi kenyataanya ketika ia dituntut untuk membuka kebenaran data dan metode yang dikaji, Luhut sama sekali tidak mau membuka dan bahkan malah berargumen dengan segala dalih yang ada. 

Dari sinilah letak dimana kritisisme kalangan mahasiswa dan masyarakat terus berjuang semaksimal mungkin untuk mengungkap kebenaran. 

Kebenaran tidak akan pernah mati dan akan terus diperjuangkan oleh generasi penerus di negeri ini selain itu kritik-kritik yang biasanya dibungkam akan semakin mengalir deras dengan harapan bahwa kritik itu adalah cara untuk merenovasi situasi serta pola pikir ke arah yang lebih baik

Referensi

Jemali, M. (2016). PROFETISME KAUM INTELEKTUAL DI TENGAH KRITISISME REFORMASI POLITIK. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, 8(2), 269-279.

Wibawa, G., & Muttaqin, R. (2021). Implikasi Filsafat Kritisisme Immanuel Kant Bagi Pengembangan Studi Hukum Ekonomi Syariah. Humantech: Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia, 1(1), 25-36.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun