Saya mendapatkan pertanyaan dari beberapa teman terkait pemberitaan beberapa media digital yang mengutip dan bersumber dari posting salah satu mantan pejabat Bursa Efek Indonesia yang, kurang lebih, menyatakan keprihatinannya dengan kondisi pasar modal Indonesia yang sangat erat kaitannya dengan kondisi perekonomian negara ini. Menurut yang bersangkutan menuju kiamat.Â
Sebagai orang biasa yang kurang lebih 25 tahun berprofesi di pasar modal, sulit membayangkan kiamat seperti apa yang dimaksud pemberitaan tersebut pada pasar modal Indonesia. Lebih mudah membayangkan film Armageddon yang lagunya ditulis Steven Tyler, vokalis Aerosmith.
Kiamat dalam pengertian saya habis tanpa bisa dipulihkan, suatu kondisi catasthropic yang membutuhkan waktu sangat lama untuk memulihkan, atau bahkan sesuatu yang tidak dapat dipulihkan kembali karena pihak yang memulihkan, pelaku dan pihak yang berkepentingan juga habis.
Jatuhnya indeks harga saham di awal tahun ini menyusul pandemic Corona Virus, juga terjadi di seluruh dunia. Pelemahan ekonomi, kejatuhan indeks Bursa juga terjadi di seluruh dunia.Â
Alasannya sederhana, ketidakpastian menjadikan investor beramai ramai memilih memindahkan investasinya di pasar modal ke instrumen lain yang dipandang lebih aman, lebih likuid atau pertimbangan lain yang relevan dengan kondisi dan kebutuhannya.
Investor asing berbondong bondong mengalihkan investasinya kembali ke negaranya. Sesuatu yang wajar. Ketidakpastian di negara orang, jauh lebih berisiko dibanding ketidak pastian di negara sendiri yang bahkan kondisi perekonomiannya tidak lebih baik dibanding Indonesia. Mungkin demikian pertimbangannya.
Apakah dengan kondisi demikian, emiten-emiten kita habis?
Tentu tidak. Justru ini saat terbaik bagi investor lokal untuk membeli saham saham emiten yang memiliki fundamental baik yang dijual "murah" oleh para investor asing.Â
Kelangsungan hidup emiten kita lebih ditentukan oleh going concern. Di masa post pandemic mungkin prospeknya akan ditentukan oleh kemampuannya untuk beradaptasi dan bertransformasi untuk menghadapi new normal kondisi post pandemic ini.
Saat ini sekalipun para emiten tersebut mampu cepat beradaptasi dan bertransformasi, namun konsumen juga sedang mengalami permasalahan dengan kemampuannya untuk melakukan konsumsi.
Karena berbagai sebab, seperti secara alamiah membatasi diri untuk melakukan konsumsi karena pembatasan mobilitas, atau karena faktor lain seperti kehilangan pekerjaan.
Dalam kondisi demikian tentu perekonomian akan terganggu. Produktivitas menurun, daya beli masyarakat menurun.
Dan ini terjadi di semua negara akibat pandemi. Kondisi ini juga yang akhirnya menjustifikasi harga harga saham emiten harus terkoreksi.
Kembali ke Bursa Efek Indonesia. Memang benar, di akhir tahun 2019 bursa terpengaruh oleh hiruk pikuk skandal yang melibatkan perusahaan asuransi negara, dan segelintir pelaku pasar modal baik Perantara Pedagang Efek maupun Manajer Investasi, serta segelintir emiten dan oknum terkait emiten.Â
Akan tetapi, transaksi yang terkait dengan skandal tersebut tidak terlalu material jika dikaitkan dengan transaksi di Bursa Efek Indonesia secara keseluruhan.
Root cause dari skandal tersebut juga mungkin bukan terjadi setahun dua tahun ini. Melainkan lebih pada persoalan menahun di institusi tersebut yang menumpuk, dan berujung pada ide penggunaan pasar modal sebagai tempat untuk memperbaik atau memulihkan persoalan yang sulit diselesaikan dengan cara biasa. Mungkin.
Saya sendiri tidak tertarik untuk membahas hal tersebut di tulisan ini.
Sebagai Bursa yang sedang berbenah, dan akan selalu berbenah, persoalan-persoalan yang timbul adalah hal yang biasa. Karena hanya orang gila dan orang mati yang tidak memiliki persoalan kehidupan.
Justru, dari persoalan-persoalan tersebut, perbaikan-perbaikan akan dilakukan oleh otoritas Bursa.
Dan itu telah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia dan akan selalu dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan investor.
Untuk memberikan gambaran yang lebih tepat kepada pembaca bahwa Bursa Efek Indonesia baik-baik saja, tentunya saya harus menyampaikan data yang mendukung pandangan saya di atas.Â
Selama kurun waktu setahun Bursa Efek Indonesia mencatat koreksi indeks harga saham gabungan sebesar (-21,05%). Sedikit lebih baik dibanding Bursa Spanyol (-22,36%), Bursa UAE (-24,83%), Bursa Austria (-28,68%) dan Bursa Columbia (-32,31%).
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Bursa Efek Indonesia membukukan kenaikan indeks harga saham gabungan sebesar total 96,25%, di atas Bursa Thailand 86,82%, Bursa Vietnam 71,31%, Bursa Switzerland 54,69%, Bursa Taiwan 45,44% dan Bursa bursa lain di dunia.
Rata rata frekuensi transaksi harian di Bursa Efek Indonesia juga meningkat. Per Juli 2020 tercatat 516 ribu transaksi, dibanding tahun 2019 sebanyak 469 ribu transaksi dan di tahun 2018 sebanyak 387 ribu transaksi.Â
Rata rata volume transaksi harian selama. 6 bulan di tahun 2020 tercatat sebesar 7,62 miliar saham, hampir setengahnya dari nilai tercatat selama 12 bulan di tahun 2019 sebesar 14,54 miliar saham.
Dari data data tersebut di atas, saya tidak melihat faktor apa yang menjustifikasi pendapat kiamat di pasar modal Indonesia.Â
Pemerintah dengan berbagai upaya sedang mengupayakan penanganan pandemi dan mengupayakan pemulihan perekonomian negara, sehingga dampak pandemi ini dapat segera terselesaikan.Â
Begitu indikator indikator perekonomian menunjukkan perekonomian pulih kembali, maka saat itulah musim panen keuntungan investor lokal kita tiba. Berkah bagi mereka yang pandai memanfaatkan dan melihat peluang investasi karena keyakinannya NKRI akan tetap berdiri sekalipun langit ini runtuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H