Dalam kondisi demikian tentu perekonomian akan terganggu. Produktivitas menurun, daya beli masyarakat menurun.
Dan ini terjadi di semua negara akibat pandemi. Kondisi ini juga yang akhirnya menjustifikasi harga harga saham emiten harus terkoreksi.
Kembali ke Bursa Efek Indonesia. Memang benar, di akhir tahun 2019 bursa terpengaruh oleh hiruk pikuk skandal yang melibatkan perusahaan asuransi negara, dan segelintir pelaku pasar modal baik Perantara Pedagang Efek maupun Manajer Investasi, serta segelintir emiten dan oknum terkait emiten.Â
Akan tetapi, transaksi yang terkait dengan skandal tersebut tidak terlalu material jika dikaitkan dengan transaksi di Bursa Efek Indonesia secara keseluruhan.
Root cause dari skandal tersebut juga mungkin bukan terjadi setahun dua tahun ini. Melainkan lebih pada persoalan menahun di institusi tersebut yang menumpuk, dan berujung pada ide penggunaan pasar modal sebagai tempat untuk memperbaik atau memulihkan persoalan yang sulit diselesaikan dengan cara biasa. Mungkin.
Saya sendiri tidak tertarik untuk membahas hal tersebut di tulisan ini.
Sebagai Bursa yang sedang berbenah, dan akan selalu berbenah, persoalan-persoalan yang timbul adalah hal yang biasa. Karena hanya orang gila dan orang mati yang tidak memiliki persoalan kehidupan.
Justru, dari persoalan-persoalan tersebut, perbaikan-perbaikan akan dilakukan oleh otoritas Bursa.
Dan itu telah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia dan akan selalu dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan investor.
Untuk memberikan gambaran yang lebih tepat kepada pembaca bahwa Bursa Efek Indonesia baik-baik saja, tentunya saya harus menyampaikan data yang mendukung pandangan saya di atas.Â
Selama kurun waktu setahun Bursa Efek Indonesia mencatat koreksi indeks harga saham gabungan sebesar (-21,05%). Sedikit lebih baik dibanding Bursa Spanyol (-22,36%), Bursa UAE (-24,83%), Bursa Austria (-28,68%) dan Bursa Columbia (-32,31%).