/1/
"Cemen. Begitu saja takut!" Barangkali kita pernah mendengar olok-olok seperti itu ditujukan kepada orang yang gampang takut. Dengar suara keresek disangka ada hantu. Bekas kaleng susu tertabrak tikus, langsung keder.
Tiap-tiap orang punya rasa takut di dalam dirinya. Ada yang kadarnya besar, ada yang kecil atau ala kadarnya saja. Ada yang sampai membuat tengkuknya dingin, ada yang sekadar menciutkan nyali.
Jadi, tidak perlu cemas berlebihan jika kamu merasa takut terhadap sesuatu. Biasa saja. Itu manusiawi. Tidak perlu kecut hati juga kalau ada orang yang mengejekmu sebagai orang yang penakut. Santai saja. Hidup ini bagai roda, berputar tiada henti, yang sekarang berada di bawah suatu saat niscaya berada di atas.
/2/
Rasa takut itu ada manfaatnya. Karena takut, tubuh kita lebih waspada atas bahaya. Setelah tubuh waspada, kita seketika siaga menghadapi bahaya itu. Orang yang takut menjadi bahan gunjingan akan berhati-hati dalam berkata, bersikap, dan bertindak. Orang yang takut kehilangan jabatan akan lebih wawas diri agar dapat menjalankan amanat dengan baik.
Jadi, berbahagialah kalau masih punya rasa takut.
Ketika kamu dalam perjalanan pulang, matahari sudah lama terbenam, gang yang dilewati terbentang sepi dan muram, lalu kamu berjalan dengan kaki bak menapak seadanya di jalan, sebentar-sebentar menoleh ke belakang karena merasa ada yang mengikuti, lalu bergegas lagi. Tatkala bahaya benar-benar terjadi, kamu berteriak lantang sambil berlari kencang.
Itulah manfaat rasa takut.
Maka, tidak ada yang perlu dicemaskan apabila kamu merasa takut. Kecuali, rasa takutmu sudah mencapai "level pedas yang teramat sangat-sangat pedas". Boleh kita sebut fobia. Itu sudah jenis ketakutan yang berlebihan. Atau, kamu menderita gangguan kecemasan. Kamu akan takut bertemu orang banyak kalau kamu ada riwayat gangguan kecemasan sosial.
Namun, selama rasa takutmu cenderung pada 'membangun benteng pertahanan atas serangan bahaya', itu manusiawi.
Semua orang punya rasa takut. Mata kita akan sama-sama melebar jika tengah ketakutan. Jantung kita sama-sama berdetak lebih kencang, keringat dingin membasahi tengkuk dan telapak tangan, atau kita bernapas lebih cepat seperti dikejar sesuatu yang tidak kelihatan.
/3/
Mengapa kita merasa takut?
Semua manusia punya emosi dasar. Takut salah satu di antaranya. Takut terjadi sebagai bentuk respons manusia terhadap kondisi atau sesuatu yang mengancam dan membahayakan. Rasa takut tidak lebih seperti membangun kubu pertahanan. Di kubu itu kita menjalani mekanisme pertahanan diri.
Jadi, tidak perlu minder atau runtuh rasa percaya diri hanya karena kamu merasa takut. Kamu tidak sendirian. Apa pula yang harus dicemaskan dari rasa takut? Itu perasaan sementara saja. Begitu sumber yang menakutkan itu hilang, begitu kita sadar ancaman sudah hilang, begitu kita tahu bahwa kondisi membahayakan itu sudah hilang, rasa takut akan hilang juga.
Banyak orang, jika kita tidak mau menyebut semua orang, yang punya rasa takut. Bisa jadi takut pada sesuatu.
Ada yang berbadan kekar dan tegap, tetapi takut pada jarum suntik. Ada yang terlihat pemberani dan jagoan, tetapi terlonjak saat didekati kecoak. Ada yang takut gagal, ada yang takut tidak dicintai, ada yang takut kehilangan martabat, ada yang takut tidak dihargai lagi, ada yang takut ditinggalkan. Macam-macam rasa takut itu.
Ada yang takut karena trauma pada masa lalu, ada yang takut karena kondisi yang dihadapi saat ini, ada yang takut karena sesuatu yang belum tentu terjadi pada esok atau hari-hari mendatang. Macam-macam rasa takut itu.
Pada sisi lain, sesuatu yang menakutkan bagi seseorang boleh jadi dianggap hal yang menyenangkan oleh orang lain. Berada di ketinggian, di atap gedung tinggi misalnya, boleh jadi menakutkan bagi seseorang dan memicu adrenalin bagi yang lain. Orang yang senang berdiri tegak di ketinggian bukan berarti tidak punya rasa takut, bukan. Ia hanya melihat dan merasakannya dengan cara yang berbeda.
Jadi, tiap orang berbeda dalam memandang sesuatu. Lain padang, lain belalang.
/4/
Ada orang yang merasa takut tidak bisa mendapat pekerjaan, takut tidak mampu menghidupi keluarga, taku tidak bisa keluar dari belitan masalah, takut tidak bisa melepaskan diri dari cengkeraman utang.
Ada pepatah yang mengatakan, "Ada air, ada ikan." Artinya, asal mau berusaha, rezeki ada di mana-mana. Atau, di mana ada negeri, di sana ada warga.
Air merupakan tempat tinggal dan tempat berkembang biak bagi ikan. Di mana pun ada kawasan yang berair, apalagi kalau genangannya luas dan agak dalam, di sana ada ikan yang hidup dan berkembang biak.
Tebat, misalnya. Jika kita membuat tambak di kitaran rawa atau sungai untuk memiara ikan, tempat itu kita sebut tebat. Dapat juga disebut balong. Karena memang dibuat untuk memelihara ikan, jelas tebet--begitu cara orang Betawi menyebut tebat--ada ikannya.
Sawah yang lama digenangi air sepanjang padi ditanam, bisa pula ada ikan di sana. Telaga di gunung bisa berisi ikan. Begitu pula dengan danau dan tasik. Apalagi empang dan tambak. Malahan tetangga saya ada yang punya toples berisi ikan.
Pendek kata, di mana ada air akan ada ikan. Tiada berbeda dengan manusia. Di mana pun ada negeri, atau kampung, niscaya ada penduduk yang menetap di sana.
Mau lembur (kata orang Sundah) mau borik (kata orang Makassar), pasti ada orang menetap di sana. Begitu pula dengan dukuh, talang, udik, atau desa. Apalagi kota. Orang seperti ikan teri berpumpun di kota.
Air dalam peribahasa ini bermakna 'tempat yang didiami', sedangkan ikan bak 'rezeki, anugerah, atau karunia'. Di mana pun kita berada, mau di desa mau di kota, pasti ada rezeki. Jangan takut tidak makan, akan ada rezeki dari jalan yang tidak terduga.
Tentu saja, asalkan mau bekerja dan berusaha.
Apa yang kita usahakan atau kerjakan?Â
Kembali pada diri masing-masing. Ilmu apa yang kita kuasai bisa mengarahkan kita menuju apa yang mesti kita lakukan. Yang jago menyanyi bisa menjadi penyanyi. Yang mahir berjanji jadi politisi--karena tiap kontestasi mesti ada visi-misi yang dijanjikan kepada kontestan.
Persis seperti ikan. Yang mahir berkelahi, seperti ikan cupang, ikutlah sasana beladiri. Kalau berhasil meraih juara dunia tinju, duitnya banyak. Kalau ikutan tarung bebas dan merajalela di situ, cuannya banyak.
Pendek kata, jangan karena takut tidak punya penghasilan tetap lalu enggan hidup. Ayolah, asal mau bekerja pasti ada rezeki. Di mana saja. Kapan saja. Ada air, ada ikan. Itu kuncinya. Jadi, tidak perlu takut. Kecuali kepepet!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H