Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Argentina, Sepak Bola, dan Rasisme Tanpa Ujung

17 Juli 2024   22:38 Diperbarui: 18 Juli 2024   11:45 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lionel Messi, Kapten Timnas Argentina mengangkat piala setelah timnya menjuarai Copa Amerika 2024 (AFP/JUAN MABROMATA via KOMPAS.com)

Whoever invented football should be worshipped as a God. ~ Hugo Sanchez

/1/

Siapa pun yang menemukan sepak bola, kata Hugo Sanchez Marquez, harus dipuja seperti Tuhan. Pesohor lapangan hijau asal Meksiko itu menggambarkan betapa banyak kegembiraan yang bisa kita dapatkan dari permainan sepak bola.

Sayang sekali, kegembiraan bersepak bola dapat meredup akibat beberapa ulah konyol pemain. Rasisme atau rasialisme di antaranya. Jika seorang pemain sudah menyerang ras pemain lain, alamat muncul ketidaknyamanan dalam sepak bola.

Itulah yang kini tengah melanda Tim Tango--sebutan untuk tim nasional Argentina. Sepulang dari Copa Amerika, semasa pemain larut dalam perayaan titel juara ke-16, beberapa pemain kedapatan bertindak rasial melalui nyanyian yang tayang langsung di media sosial.

Konyol. Itulah kata yang tepat untuk disodokkan ke jidat anak-anak didik Lionel Scaloni. Juara, ya, juara saja. Pesta, ya, pesta saja. Tidak usah membawa-bawa perkara rasisme dalam euforia kesenangan atas kemenangan. Itu tolol.

Lebih konyol lagi, nyanyian berbau rasial itu tayang langsung di akun medsos pemain muda, Enzo Fernandez. Sontak beberapa rekan Enzo di Chelsea, terutama yang berasal dari Prancis, meradang dan tidak terima.

Okelah, ada pendapat Mbappe yang menyebut Euro jauh lebih sulit dibanding Piala Dunia. Itu pendapat Mbappe. Itu sah-sah saja, sebab faktanya Mbappe dan kolega belum mengangkat trofi tarung bola antarbangsa Eropa. Tidak ada sindiran di situ. Kecuali kuping Enzo dan sekutu tipis dan gampang panas.

Namun, fakta yang tidak bisa disangkal terpampang di depan mata. Tim sepak bola negeri Maradona memang jarang dihuni pemain bola yang berkulit hitam.

Maka, jangan mencari pemain berkulit hitam di tim nasional Argentina. Percuma. Tidak akan ada. Pernah ada dalam sejarah La Albicelestes (putih dan biru langit)--sebutan untuk timnas Argentina, tetapi tidak seberapa. Sekarang, dalam komposisi timnas Argentina saat ini, sama sekali tidak ada. Ya, tidak ada dari zaman Mario Kempes hingga Lionel Messi, dari era Diego Armando Maradona sampai Enzo Fernandez.

Argentina, dengan sejarah sepak bola yang begitu panjang, identik dengan pemain berkulit putih. Dari dulu sudah begitu. Hingga sekarang masih begitu. Tidak sama dengan tetangganya, Brazil, yang masih diperkuat oleh pemain Afro-Brazilian.

Jose Laguna semasa bermain untuk timnas Argentina (Foto: www.sol915.com.ar)
Jose Laguna semasa bermain untuk timnas Argentina (Foto: www.sol915.com.ar)

/2/

Apakah tidak ada penduduk Argentina yang berkulit hitam?

Tidak juga. Dahulu kala, pada kitaran abad 16, kota Rio de la Plata (sekarang kita kenal dengan nama Buenos Aires), merupakan kota pusat perdagangan budak dari Afrika. Malahan Erika Edwards, dalam buku Slavery in Argentina, menyatakan bahwa aktivitas perdagangan budak itu masih berlanjut hingga abad ke-18.

Selama masa kolonial hingga akhir abad 18, sekitar 200.000 tawanan dari Afrika berlabuh di tepi sungai Ro de la Plata. Tidak heran jika banyak sejarawan menyebut pada masa itu sepertiga warga Argentina adalah orang berkulit hitam.

Lalu, bagaimana caranya sehingga jumlah warga Argentina yang berkulit hitam menyusut?

Mitos Perang Kemerdekaan Argentina, 1810--1819, bisa menjadi alasan. Penduduk laki-laki yang berkulit hitam dikirim ke garis depan medan perang. Iming-iming dimerdekakan membuat warga Afro-Argentina berani terjun ke medan juang.

Maka, jadilah mereka "makanan meriam" atau "santapan pelor" pasukan kolonial Spanyol. Korban jiwa berjatuhan selama perang sepanjang abad ke-19. Seperti yang dibabarkan oleh sejarawan George Reid Andrews, dalam The Afro-Argentines of Buenos Aires, 1800--1900, banyak yang mangkat di medan perang dan banyak pula yang mengungsi ke negara tetangga, seperti Peru.

Akibat penduduk laki-laki berkulit hitam makin berkurang, muncullah mitos yang kedua, yaitu penduduk perempuan yang berkulit hitam terpaksa menikah atau tinggal seatap dengan warga laki-laki yang berkulit putih dari Eropa.

Perkawinan campuran atau pernikahan antarras itu menjadi pemantik kian susutnya populasi penduduk Argentina yang berkulit hitam. Secara biologis, populasi yang muncul didominasi orang berkulit putih. Secara politis, perempuan berkulit hitam menjadi korban rezim represif yang mendikte hampir seluruh aspek hidup mereka.

Alejandro de los Santos, pemain timnas Argentina yang berkulit hitam (Foto: www.lcfc.com)
Alejandro de los Santos, pemain timnas Argentina yang berkulit hitam (Foto: www.lcfc.com)

/3/

Tersebutlah kisah penyambutan Tim Tango yang diarak bagai pahlawan yang baru menang di medan perang. Lawatan selama lima bulan ke Negeri Kincir Angin, Belanda, berbuah cerita indah.

Tim Tango pulang dengan mengantongi medali perak Olimpiade 1928. Hanya medali perak, tetapi warga Argentina menganggap itu adalah medali emas. Manuel Ferreira dan konco-konconya merasa kalah hanya karena Uruguay bermain kasar dan wasit cenderung memihak Uruguay.

Ketika itu, Tim Tango tidak dapat dianggap mewakili populasi nasional. Hampir seluruh anggota skuad berasal dari wilayah Pampas. Dari 20 pemain, 17 di antaranya berasal dari ibukota negara dan sekitarnya. Hanya tiga pemain yang berasal dari luar ibukota.

Mereka adalah Manuel Ferreira, penyerang bintang Estudiantes de la Plata, lahir di ujung barat Buenos Aires, tetapi sejak awal 1920-an bermain di Estudiantes; Luis Weihmuller yang lahir di Provinsi Santa Fe; dan kiper pengganti Octavio Daz berasal dari Rosario dan bermain untuk Rosario Central.

Jika ditilik dari warna kulit, semuanya berkulit putih. Patut diketahui, sejak awal 1910, ideologi rasial sudah mulai berkembang di Argentina. Ideologi rasial utama Eropa--supremasi kulit putih, rasisme ilmiah, dan eugenika--terus memberikan pengaruh di Argentina.

Pada saat yang sama, pers di Argentina berperan unik dalam menyampaikan ide-ide rasial kepada jutaan pembaca kelas pekerja. Tidak semua wacana olahraga bertujuan menjelek-jelekkan masyarakat nasional lainnya, tidak semuanya bersifat rasial, tetapi pers Argentina menyediakan forum unik untuk menyebarkan secara masif gagasan bahwa Argentina adalah negara kulit putih keturunan Eropa.

Pada sisi lain, negara-negara tetangga Argentina di Amerika Latin dengan populasi keturunan Afro yang signifikan--Kolombia, Brazil, Haiti, atau Kuba, misalnya--gagal membangkitkan gairah rasial serupa di Argentina.

Sejak zaman kolonial, Argentina memang telah menjadi rumah bagi populasi keturunan Afrika. Begitu papar George Reid Andrews dalam The Afro-Argentines of Buenos Aires, 1800--1900 (1980: 3--9).

Bahkan dalam dunia sepak bola, pada 1910-an dan 1920-an, setidaknya hanya dua pemain Afro-Argentina menjadi pesohor karena sempat bermain untuk timnas Argentina. Mereka adalah Jose Manuel Durand Laguna dan Alejandro Nicholas de los Santos.

Siapakah Jose Manuel Durand Laguna? Ia adalah penyerang klub Huracan, Buenos Aires. Tatkala turnamen perdana Campeonato Sudamericano 1916 digelar, ia duduk di tribune sebagai penonton. Ia ingin menonton pertarungan antara Argentina versus Brasil.

10 Juli 1916. Tiba-tiba saja Argentina kehilangan seorang pemain dan tidak dapat segera menemukan pemain pengganti. Ofisial memanggil Laguna dari tribun. Ia pun masuk ke lapangan hijau sebagai pemain kesebelas. Ia mencetak satu-satunya gol dalam laga itu dan menjadi penentu kemenangan Argentina.

Laguna lahir di Paraguay. Orangtuanya keturunan Afro-Argentina. Pada awal 1920, ia kemudian pindah ke Paraguay untuk melatih timnas Paraguay.

Antonio Palacio Zino menulis profil di Crtica (14 Oktober 1920, hlm. 8). Palacio menyebut Laguna sebagai "generasi porteno (kota pelabuhan) kulit hitam mulia yang menghilang karena hukum seleksi alam yang mengubah dan memodifikasi segala sesuatu. Ia benteng terakhir dari ras mulia dan eksotik yang dipindahkan [ke Argentina] oleh para pedagang dan petualang".

Bagaimana dengan Alejandro de los Santos? Ia merupakan bagian dari timnas Argentina yang menjuarai Campeonato Sudamericano 1925, kendatipun ia hanya bermain dalam satu di antara empat laga Argentina.

Pemain El Porvenir dan Huracn, Buenos Aires, itu sering terpilih untuk bermain di tim semua-bintang. Pada 1922 ia terpilih melawan tim tamu Austro-Hungaria. Bintang muda Gimnasia de la Plata, Francisco Varallo, memuji de los Santos sebagai salah satu penyerang terbaik di Argentina (La Cancha, 5 Oktober 1929, hlm. 12).

Pada 1928, seorang penulis membabar kiprah de los Santos di El Grfico. Katanya, "Entah di Argentina hampir tidak ada orang kulit hitam. Satu-satunya orang kulit hitam yang benar-benar berkulit hitam dan cukup unggul dalam sepak bola adalah de los Santos, penyerang El Porvenir." (El Grafico, 24 November 1928, hlm. 10).

Namun, bukan hanya penduduk Argentina berkulit hitam yang jarang mendapat tempat di timnas. Sejarah membuktikan bahwa pemain non-kulit putih memang sulit mendapat tempat di timnas.

Meskipun Argentina telah menghapuskan kategori-kategori rasial supaya terlihat sebagai negara kulit putih yang modern, publik Argentina punya sebutan khusus bagi warga yang berkulit cokelat.

Mereka menyebut warga berkulit cokelat dengan sapaan morocho. Istilah itu terus digunakan di Argentina hingga sekarang dengan merujuk pada orang-orang dengan kulit yang "berwarna coklat", sekaligus untuk membedakan mereka dengan orang non-kulit putih yang lain.

Morocho paling terkenal di Argentina, menurut Erika Denish Edward (The Washington Post, 8 Desember 2022, daring), adalah legenda sepakbola Diego Armando Maradona.

Ia adalah dewa sepakbola yang dipuja seluruh lapisan masyarakat Argentina. Ketika sang legenda mangkat, pemerintah Argentina menyatakan tiga hari sebagai masa  berkabung secara nasional.

Tim Tango mengangkat Piala Dunia 2022 (Foto: Getty Images/BSR Agency)
Tim Tango mengangkat Piala Dunia 2022 (Foto: Getty Images/BSR Agency)

/4/

Enzo Fernandez sudah meminta maaf. Ia mengatakan bahwa nyanyian rasialnya adalah euforia sesaat tatkala mereka "lupa daratan" karena mabuk kemenangan. Ia menyatakan pula bahwa ia secara pribadi tidak rasialis.

Namun, pada sisi berbeda, sejarah telah menjadi saksi bagaimana Argentina terus berupaya menjadi "orang Amerika rasa Eropa". Untuk memenuhi hasrat itu, tiada beban mereka meminggirkan ras berkulit hitam dan cokelat.

Asosiasi sepakbola Argentina (AFA) tidak boleh membiarkan peristiwa rasisme ini begitu saja. Pembiaran akan membuat tindak dan tutur rasialisme terus terjadi. Lagi, dan lagi. Begitu selalu.

Jika kita sudahi rasisme dalam sepakbola berarti kita gigih menghadirkan sepakbola yang menenangkan, sepakbola yang saking menyenangkannya sampai-sampai, kata Sanchez, membuat suporter ingin memuja penemunya selayaknya Tuhan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun