Kalau kamu memilih bersedih dibanding bergembira, karena kamu merasa jika kamu menderita maka sanak saudara akan memperhatikanmu, kamu menghalangi dirimu untuk beranjak dari kesedihan.
Tidak perlu terlalu memikirkan apa yang orang pikirkan tentang dirimu. Ada yang mencibir, biarkan saja. Ada yang pura-pura peduli, biarkan saja. Ada yang benar-benar bersimpati, lekas dekati. Itu bisa menjadi "tabung daya". Bisa membantu kamu mengusap air mata, menjadikan diri kuat lagi, dan berdiri tegak.
Kita tidak bisa mengatur pikiran orang. Mustahil. Jadi, pedulikan kata hatimu. Bukan peduli akan "apa kata orang nanti".
Pada hakikatnya, andai kita mau berbesar hati, kita sering keliru saat menafsirkan perasaan. Kita tidak sedih gara-gara kita patah hati, tetapi bersedih karena kita mengharapkan cinta dari orang yang malah meninggalkan kita. Kita tidak bersedih gara-gara kehilangan seseorang yang kita cintai, tetapi bersedih karena kita ingin seseorang yang kita cintai itu tetap hidup dan berada di sisi kita. Kita menyadari sekarang, kesedihan karena gagal diterima bekerja di perusahaan idaman ternyata belum dapat kita abaikan, sebab masih ada sesuatu "di dalam rasa sakit itu" yang masih kita harapkan.
Kita memahami bahwa kesedihan tidak abadi, tidak akan berlangsung selamanya, atau akan hilang entah cepat entah lambat. Begitulah cara kita mencintai perasaan sedih. Bukan membenci, apalagi melawannya. Percuma.
Kalaupun mesti bersedih, bersedih secukupnya saja. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H