Pangkal soalnya, presiden sendiri yang menyatakan akan cawe-cawe. Jadi, tidak perlu heran apabila banyak pihak yang menaruh syak wasangka dan mencurigai pernyataan itu akan digunakan untuk kepentingan keberpihakan presiden.
Pada sisi lain, seorang kepala negara memiliki tanggung jawab etis memberikan pendidikan politik yang baik kepada publik. Hasrat ingin cawe-cawe oleh presiden yang tengah berkuasa bisa menjadi preseden buruk. Jangan-jangan nanti sikap itu dibenarkan. Lalu, kelak tiap-tiap presiden merasa berhak bersikap tidak netral.
Indonesia, sebagai negara demokrasi, memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat untuk memilih sendiri pemimpinnya melalui pemilihan umum. Tidak boleh ada intervensi atau campur tangan atau cawe-cawe dari kekuasaan mana pun.
Termasuk, dari Presiden Jokowi. Apabila beliau mencawe-cawe calon presiden berikutnya, apalagi sibuk menyiapkan calon presiden penggantinya, maka beliau seperti sengaja menentang sila keempat Pancasila. Â
Tidak hanya itu. Gara-gara ketidaknetralan kepala negara, masyarakat hilang harapan pada pemilu dan hilang kepercayaan akan hasilnya. Itu jelas luka demokrasi yang sukar disembuhkan.
Agar dikenang sebagai seorang negarawan, patutlah Presiden Jokowi mengecamkan pendapat James F. Clarke. Penulis sohor itu berkata, "Politikus memikirkan pemilu berikutnya, negarawan memikirkan generasi selanjutnya." [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H