SELAMAT SIANG, SAHABAT. Bahagia rasanya dapat bersua lagi dengan kalian. Saya berharap, moga-moga kalian senantiasa sehat, selalu baik hati, dan terus-menerus bahagia.
Pada siang yang membahagiakan ini, bukan "siang yang berbahagia karena siang bukan orang yang bisa merasa bahagia", saya ingin mengajak kalian bercakap-cakap tentang bahasa Indonesia.
Baiklah, Sahabat yang tetap tangguh meski dalam kondisi paling menyesakkan dada sekalipun. Siang ini kita akan mengudar topik tentang cawe-cawe. Maklum, topik ini tengah tren. Banyak politikus yang tiba-tiba keranjingan menggunakan, membincangkan, ataupun memaknai kata cawe-cawe.
Sahabat, kalian tentu mahfum. Tahun depan ada pesta besar-besaran di negeri tercinta ini. Pesta demokrasi. Rakyat akan memilih siapa-siapa saja yang berhak mewakili mereka di parlemen dan memimpin mereka di birokrasi.
Nah, dalam urusan pilih-memilih pemimpin itulah sekonyong-konyong kata cawe-cawe meroket. Pak Jokowi gara-garanya. Orang nomor satu di republik yang kita sayangi ini menentukan sikap. Beliau menyatakan akan cawe-cawe pada pemilihan umum mendatang.
Mengapa kata cawe-cawe mendadak tenar? Tentu saja karena kata itu dilontarkan oleh seorang kepala negara dan diutarakan tatkala suhu politik sedang panas. Kata itu sontak menjadi buah bibir di meja diskusi.
Apakah arti dari cawe-cawe yang dilontarkan Pak Jokowi?
Kata cawe-cawe dipulung dari bahasa Jawa. Maknanya dalam bahasa Indonesia adalah 'ikut membantu mengerjakan, membereskan, atau merampungkan; ikut menangani'. Ringkasnya, ikut campur. Kiasnya, turun tangan.
Cawe-cawe atau ikut campur atau ikut menangani punya beberapa sinonim, di antaranya campur tangan, interferensi, intervensi, ikut campur, ikut-ikut, ikut membantu, ikut mengurusi, ikut menangani, mencampuri, dan menggapil, terbawa, terlibat, turun tangan, dan turut campur.
Ketika seseorang cawe-cawe atas sesuatu maka orang tersebut niscaya berat untuk bersikap adil dan memperlakukan para kandidat dengan setara, setimbal, setimpal, seimbang, dan setimbang. Berat pula untuk berlaku netral, objektif, lurus, atau wajar.
Cawe-cawe kepala negara kepada dua kandidat calon presiden, kendati tidak secara terang-terangan atau blak-blakan, merupakan alamat bahwa kepala negara tengah bersikap tidak adil, tidak netral, dan tidak objektif.
Presiden memiliki dua posisi strategis, yakni kepala negara dan kepala pemerintahan. Begitulah demokrasi di Republik Indonesia. Apabila presiden mendukung calon presiden tertentu, apa pun dalihnya, berarti presiden telah berlaku tidak adil kepada calon presiden lain.
Biar bagaimanapun, Indonesia adalah negara republik. Secara bahasa, republik berasal dari kata res publica. Artinya, urusan publik atau urusan awam. Maknanya, bentuk negara yang mendahulukan kepentingan atau kedaulatan rakyat.
Itu sebabnya di negara republik, presiden bukan jabatan warisan atau dapat diwariskan. Presiden petahana, jika merasa diri sebagai presiden yang Pancasilais, tidak akan merasa berhak mencampuri pemilihan presiden berikutnya.
Apa pula Pancasilais itu? Artinya sederhana, kok, yaitu 'penganut ideologi Pancasila yang baik dan setia'. Apabila presiden petahana setia pada Pancasila, konsekuensinya tidak boleh cawe-cawe atas dalih apa pun. Apalagi, presiden niscaya seorang negarawan.Â
Apa hakikat negarawan? Kata negarawan kita pulung dari bahasa Sanskerta, yakni dari kata nagara (kota, negeri) dan vat (kata ganti milik). Artinya, 'orang yang ahli mengelola negara'. Arti lain, 'orang yang mengelola negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan'.
Selaku kepala negara, presiden mesti menjaga marwah dirinya sebagai seorang negarawan. Adapun sikap negarawan yang penting ditonjolkan adalah sikap merangkul semua kalangan dalam segaka kondisi.
Artinya, tidak hanya partai politik pendukung pemerintah yang diajak bergerak, tetapi semua pihak di kancah politik Indonesia. Termasuk, partai politik yang berseberangan sikap alias oposan.
Sahabat yang berbahaya, eits, maksud saya berbahagia, kepala negara punya tanggung jawab etis untuk memimpin di atas semua pihak dan memayungi semua pihak demi membangkitkan semangat persatuan.
Manakala presiden melakukan cawe-cawe, pada saat itu ada indikasi presiden tengah merongrong semangat sila ketiga Pancasila, yakni Persatuan Indonesia. Apa pasal? Lantaran kesatuan dan persatuan bangsa bisa terpecah-pecah.
Presiden merupakan pucuk pimpinan tertinggi yang memiliki kendali terhadap negara. Presiden bisa saja menciptakan ketidakdemokrasian dalam menentukan pemilihan calon pimpinan berikutnya. Itu terang-terangan melanggar silaa keempat Pancasila.
Pangkal soalnya, presiden sendiri yang menyatakan akan cawe-cawe. Jadi, tidak perlu heran apabila banyak pihak yang menaruh syak wasangka dan mencurigai pernyataan itu akan digunakan untuk kepentingan keberpihakan presiden.
Pada sisi lain, seorang kepala negara memiliki tanggung jawab etis memberikan pendidikan politik yang baik kepada publik. Hasrat ingin cawe-cawe oleh presiden yang tengah berkuasa bisa menjadi preseden buruk. Jangan-jangan nanti sikap itu dibenarkan. Lalu, kelak tiap-tiap presiden merasa berhak bersikap tidak netral.
Indonesia, sebagai negara demokrasi, memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat untuk memilih sendiri pemimpinnya melalui pemilihan umum. Tidak boleh ada intervensi atau campur tangan atau cawe-cawe dari kekuasaan mana pun.
Termasuk, dari Presiden Jokowi. Apabila beliau mencawe-cawe calon presiden berikutnya, apalagi sibuk menyiapkan calon presiden penggantinya, maka beliau seperti sengaja menentang sila keempat Pancasila. Â
Tidak hanya itu. Gara-gara ketidaknetralan kepala negara, masyarakat hilang harapan pada pemilu dan hilang kepercayaan akan hasilnya. Itu jelas luka demokrasi yang sukar disembuhkan.
Agar dikenang sebagai seorang negarawan, patutlah Presiden Jokowi mengecamkan pendapat James F. Clarke. Penulis sohor itu berkata, "Politikus memikirkan pemilu berikutnya, negarawan memikirkan generasi selanjutnya." [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H