Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Negeri Kleptokrasi, Negara Diperintah oleh Pencuri

13 Mei 2023   10:14 Diperbarui: 13 Mei 2023   10:16 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia bisa mengalami hal serupa. Kita dapat menilik Indonesia dalam konteks masa sekarang. Banyak penyakit yang menggerogoti Nusantara, tetapi yang paling akut adalah mental kleptokratik atau "mental maling setelah menjadi pejabat". Itu jenis penyakit yang sangat berbahaya apabila tidak ditangani dengan baik, efektif, dan selekas mungkin. Dalam waktu lama dapat menyebabkan, seperti kecemasan Hobbes, "kematian" Indonesia sebagai sebuah negara.

Perilaku kaum "panjang tangan" yang berdasi dan dikenal sebagai kaum elite itu sungguh sangat berbahaya. Harus dioperasi. Malahan, diamputasi. Apabila tidak diberantas dengan efektif dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya akan melanggengkan kemiskinan, merusak kepercayaan publik pada penyelenggara negara, dan menyuburkan kemarahan rakyat.

Kenapa di Indonesia Ada Pejabat Kleptokrat

Ini masalah milik seluruh komponen bangsa. Kleptokrat merajalela karena rakyat membiarkan. Tradisi pembiaran itu terjadi setidaknya tiap lima tahun sekali. Saat pemilu, sebagian besar rakyat main asal coblos. Latar belakang calon sama sekali tidak dipertimbangkan. Dapat amplop yang berisi uang tidak seberapa kelar masalah. Bekas pejabat yang korup pun tetap  terpilih. Tidak heran jika tabiat klepto si bersangkutan sewaktu-waktu bisa kumat.

Banyaknya pejabat di Indonesia yang terperangkap kleptokrasi karena pelaku merasa tak bersalah saat mengutil milik negara. Ini sesuai terminologi kleptokrasi versi Stanislav Andreski (1966). Andreski menyatakan bahwa kleptokrasi adalah kleptomania, penyakit kejiwaan ketika seseorang mencuri atau mengambil hak orang lain tanpa merasa bersalah. Bagi Andreski, kleptokrasi dimaknai sebagai tingkah orang berkuasa yang merasa apa yang diambil secara tidak sah karena jabatannya adalah sesuatu yang (seolah) menjadi haknya.

Pangkal soal kleptokrsi di Indonesia tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Pertama, kita kekurangan calon pemimpin yang berintegritas. Sistem kepartaian sebagai pilar demokrasi justru menjadi bumerang. Setelah terpilih, seseorang mestinya menjadi "milik seluruh umat". Faktanya, orang yang terpilih di eksekutif dan legislatif tetap menjadi "milik partai" alih-alih "milik rakyat".

Kedua, proses penyaringan yang rentan bocor. Atas nama hak asasi, aturan main pesta demokrasi di Indonesia membolehkan seseorang yang sudah tercoreng arang korupsi di keningnya pun bisa dipilih lagi. Akhirnya, bocor. Belum lagi tabiat rakyat yang pelupa dan mudah lupa gara-gara amplop berisi uang tidak seberapa.

Ketiga, sistem sistem kontrol masyarakat terhadap akuntabilitas kinerja pejabat publik yang sangat lemah. Penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas "kleptokrasi" sejatinya bukan tanggung jawab penyelenggara negara belaka, melainkan tanggung jawab masyarakat juga. Namun, kendati ada masyarakat yang berusaha kritis kadang kala dianggap musuh oleh si pejabat klepto. Malah, salah-salah dijebloskan ke penjara dengan menggunakan tentakel kekuasaan yang ia miliki.

Makdarit, rasa-rasanya masih butuh waktu lama untuk melihat Indonesia bebas dari kaum kleptokrat. Namun, kita mesti tetap merawat harapan semoga Indonesia bukanlah "Negeri Kleptokrasi". [kp]

Daftar Rujukan

Andreski, Stanislav, 1968. "Kleptocracy or Corruption as a System of Government," in S. Andreski ed., The African Predicament: A Study in the Pathology of Modernization. London: Michael Joseph

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun