Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Negeri Kleptokrasi, Negara Diperintah oleh Pencuri

13 Mei 2023   10:14 Diperbarui: 13 Mei 2023   10:16 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi korupsi (Gambar: Hukum Online, BAS)

Ada sebuah negara yang dipimpin dan dikendalikan oleh pemerintahan maling. Di negara itu, pencuri bisa menjadi bupati. Di negara itu, garong bisa menjadi gubernur. Di negara itu, pencoleng bisa menjadi menteri. Di negara itu, koruptor bisa menjadi elite partai politik.

Ini bukan khayali, pemberontakan imajinasi, atau kecemasan yang mengusik kejiwaan penulis. Bukan begitu. Ini persoalan serius, sesuatu yang sangat serius, perkara yang benar-benar serius. Negara itu, serius, benar-benar ada. Namanya, Negeri Kleptokrasi. Di sana, di negara itu, tukang copet dan tukang palak bisa menjadi pejabat.

Jangan kira di Negeri Kleptokrasi itu tidak ada demokrasi. Itu anggapan yang alangkah keliru. Di negara itu demokrasi selalu diagung-agungkan, bahkan secara berkala dipestakan. Kepala desa dipilih secara demokratis. Begitu pula dengan bupati, gubernur, dan presiden. Hasil pemilihan secara demokratis di Negeri Kleptokrasi adalah kepala desa, bupati, gubernur, dan presiden yang panjang tangan alias kleptomania.

Menyoal Karakter Kleptokrasi

Apakah kleptokrasi itu? Nah, ini yang mesti kita kenali. Sebagai warga negara yang makanannya kena pajak, gajinya kena pajak, bahkan kentutnya (gara-gara sakit sehingga dioperasi) kena pajak, kita harus mengetahui ciri-ciri negara yang yang mempraktikkan sistem pemerintahan kleptokratik.

Pernah dengar istilah "kleptomania"? Istilah itu diperuntukkan bagi orang-orang yang menderita kelainan jiwa berupa keinginan hendak mencuri yang tidak bisa ditahan-tahan, sekalipun barang curian itu sama sekali tidak berharga atau tidak berguna. Nah, kleptokrasi itu masih punya hubungan keluarga dengan kleptomania.

Mereka sama-sama berasal dari orangtua bernama maling. Orang Yunani menamainya "kleptes". Profesinya, ya, tiada lain adalan "mencuri". Orang Yunani menyebutnya "klepto". Mirip, bukan? Pasti mirip, sebab mereka bersaudara. Yang suka mengutil atau diam-diam mengambil milik orang lain dinamai kleptomania, sedangkan yang suka menyunat uang rakyat demi kepentingan pribadi atau golongan dinamai kleptokrasi.

Sudah paham makna kleptokrasi, kan? Kalau belum, baiklah saya ulangi. Kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata "klepto" (mencuri) dan "kratia" dari kata "kratos" (pemerintahan; aturan). Jadi, secara sederhana kleptokrasi dapat dimaknai sebagai "diperintah oleh maling". Maling jadi menteri, maling jadi gubernur, maling jadi kepala dinas, maling jadi bupati. Maling jadi polisi, maling jadi jaksa, maling jadi hakim, maling jadi wakil rakyat.

Peemimpin di Negara Kleptokrasi itu kebanyakan maling. Orang-orang yang terpilih menjadi pejabat publik adalah maling. Hasilnya, mengenaskan. Negara dipimpin, diatur, dan dikendalikan oleh pemerintahan yang mengambil uang yang berasal dari rakyat untuk memperkaya kelompok atau diri sendiri. Di negara itu jabatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dikuasai oleh para maling.

Kleptokrasi sering benar memperkaya kelompok atau diri sendiri dengan cara yang korup. Penguasa bejat berselingkuh dengan pengusaha dursila untuk bersama-sama mengeruk sumber daya alam. Kemakmuran rakyat jadi bual-bualan semasa kampanye pemilihan. Pemerintahan dengan pemimpin korup (kleptokrat) menggunakan kekuasaannya untuk menggaruk rakyat dan sumber daya alam demi kekayaan pribadi dan kekuasaan politik. Bantuan sosial melenceng ke saku sendiri. Dana negara digelapkan, populasi yang lebih luas dikorbankan.

Mengapa kleptokrat biasanya didefinisikan sebagai penguasa yang tujuan utamanya adalah pengayaan pribadi? Serupa dengan korupsi, seperti pitutur Grossman (1999) dan Rose-Ackerman (1999), kleptokrasi mengacu pada kegiatan yang tengah dilakukan oleh pemerintah. Jika korupsi bisa dilakukan oleh pejabat pemerintah berpangkat rendah atau menengah, pelaku kleptokrasi bermuara pada penguasa yang berdaulat.

Apakah negara bernama Kleptokrasi adalah sebuah negara baru? O, tidak. Kleptokrasi seperti korupsi, sama-sama fenomena sosial, politik, dan ekonomi penting yang telah berlangsung lama. Belakangan, isu tentang kleptokrasi mendapat perhatian di media sosial dan memikat para peneliti dari lintas disiplin ilmu. Mills (1986), Grossman (1999), Rose-Ackerman (1999), serta Bertocchi dan Spagat (2001) memberikan kontribusi penting dalam perkara kleptokrasi.

Apakah di Indonesia Ada Pejabat Kleptokrat

Itu pertanyaan yang mestinya tidak usah dipertanyakan. Saban hari kita dapat melihat tayangan kabar di televisi tentang bupati yang digelandang lembaga antirasuah. Ada pula menteri dari partai pemenang pemilu yang akhirnya nongkrong di bui sebagai koruptor. Itu dari kalangan eksekutif, ya. Bagaimana dengan kaum legislatif dan yudikatif? Sama saja. Sebelas duabelas tigabelas empatbelas. Hakim Agung menerima suap, jaksa menerima uang pelumas, polisi menerima uang pelicin, legislator menerima uang semir.

Hanya saja, kleptokrat di Indonesia bernasib amat beruntung dibanding kleptokrat di luar negeri. Selepas mendekam di bui yang tampilannya bagai griya tawang di apartemen mewah, keluar-keluar malah disambut laksana pahlawan. Seusai meringkuk di penjara dengan label "tikus pengerat uang rakyat", keluar-keluar malah diberi tempat terhormat di partai politik sebagai dewan penasihat. Itu di Indonesia.

Karakter orang Indonesia memang hebat sekali. Orang yang menyakiti hati tanpa sengaja tidak bisa dimaafkan seumur hidup, orang yang merampok hak politiknya sebagai warga negara malah dipilih lagi begitu masa hukuman politik kedaluwarsa. Berapa eks bupati yang korupsi dan dibui, lantas terpilih lagi menjadi wakil rakyat atau apalah. Itulah Indonesia yang kita cintai sepenuh hati.

Patut kita ketahui, literatur tentang korupsi menunjukkan tujuan dan kendala agen antikorupsi sering sekali tidak didefinisikan secara eksplisit. Akibatnya, dengan beberapa pengecualian seperti Besley dan McLaren (1993) atau Flatters dan MacLeod (1995), ukuran pencegahan korupsi diasumsikan bersifat eksogen. Asumsinya bertumpu pada sesuatu yang berasal dari atau yang disebabkan oleh faktor-faktor luar pemerintahan atau tekanan dari luar pemerintahan yang sangat memengaruhi pemerintahan itu.

Dari bukti empiris, Palmier (1983) dan Lindauer et al. (1988) menunjukkan bahwa upah yang tidak memadai sering menjadi penyebab penting korupsi birokrasi. Klitgaard (1987) mencatat bahwa di Tiongkok, dahulu kala, para pejabat diberi tunjangan tambahan yang disebut Yang-Lien yang berarti 'menyuburkan kekotoran'. Rente yang tinggi pun tidak menyurutkan tindak kleptokratik. Sementara itu, Buchanan dan Lee (1982) mencatat tentang proses pengambilan keputusan politik yang koruptif.

Di Negeri Kleptokrasi, kebiasaan menyunat uang rakyat mengakibatkan konslik di dalam kelas penguasa. Raja, misalnya, berkonflik dengan pejabatnya yang menggelapkan pajak. Dalam studi klasik tersebar luas korupsi di India pada abad keempat SM, Kangle (1972) mencatat bahwa korupsi pemerintah pejabat mengurangi pendapatan Raja. Di sebuah negara bernama Indonesia, petugas pajak malah main kemplang pajak rakyat dan petantang-petenteng sebagai orang kaya. Bahkan, anaknya pun menjadi orang yang "merasa berkuasa" sehingga main pukul seenak bogemnya sendiri.

Belajar Menjauhi Negeri Kleptokrasi

Thomas Hobbes dalam karya klasiknya, Leviathan (1651), menggambarkan negara sebagai manusia artifisial (artificial man) yang bisa mengalami kematian akibat berbagai penyakit yang dideritanya. Menurut Hobbes, negara (ia sebut sebagai commonwealth), dapat bubar di tengah jalan akibat perang atau lantari digerogoti berbagai "penyakit dari dalam" (internal diseases). Salah satu penyakit dari dalam itu adalah "pejabat yang kleptokrat".

Indonesia bisa mengalami hal serupa. Kita dapat menilik Indonesia dalam konteks masa sekarang. Banyak penyakit yang menggerogoti Nusantara, tetapi yang paling akut adalah mental kleptokratik atau "mental maling setelah menjadi pejabat". Itu jenis penyakit yang sangat berbahaya apabila tidak ditangani dengan baik, efektif, dan selekas mungkin. Dalam waktu lama dapat menyebabkan, seperti kecemasan Hobbes, "kematian" Indonesia sebagai sebuah negara.

Perilaku kaum "panjang tangan" yang berdasi dan dikenal sebagai kaum elite itu sungguh sangat berbahaya. Harus dioperasi. Malahan, diamputasi. Apabila tidak diberantas dengan efektif dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya akan melanggengkan kemiskinan, merusak kepercayaan publik pada penyelenggara negara, dan menyuburkan kemarahan rakyat.

Kenapa di Indonesia Ada Pejabat Kleptokrat

Ini masalah milik seluruh komponen bangsa. Kleptokrat merajalela karena rakyat membiarkan. Tradisi pembiaran itu terjadi setidaknya tiap lima tahun sekali. Saat pemilu, sebagian besar rakyat main asal coblos. Latar belakang calon sama sekali tidak dipertimbangkan. Dapat amplop yang berisi uang tidak seberapa kelar masalah. Bekas pejabat yang korup pun tetap  terpilih. Tidak heran jika tabiat klepto si bersangkutan sewaktu-waktu bisa kumat.

Banyaknya pejabat di Indonesia yang terperangkap kleptokrasi karena pelaku merasa tak bersalah saat mengutil milik negara. Ini sesuai terminologi kleptokrasi versi Stanislav Andreski (1966). Andreski menyatakan bahwa kleptokrasi adalah kleptomania, penyakit kejiwaan ketika seseorang mencuri atau mengambil hak orang lain tanpa merasa bersalah. Bagi Andreski, kleptokrasi dimaknai sebagai tingkah orang berkuasa yang merasa apa yang diambil secara tidak sah karena jabatannya adalah sesuatu yang (seolah) menjadi haknya.

Pangkal soal kleptokrsi di Indonesia tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Pertama, kita kekurangan calon pemimpin yang berintegritas. Sistem kepartaian sebagai pilar demokrasi justru menjadi bumerang. Setelah terpilih, seseorang mestinya menjadi "milik seluruh umat". Faktanya, orang yang terpilih di eksekutif dan legislatif tetap menjadi "milik partai" alih-alih "milik rakyat".

Kedua, proses penyaringan yang rentan bocor. Atas nama hak asasi, aturan main pesta demokrasi di Indonesia membolehkan seseorang yang sudah tercoreng arang korupsi di keningnya pun bisa dipilih lagi. Akhirnya, bocor. Belum lagi tabiat rakyat yang pelupa dan mudah lupa gara-gara amplop berisi uang tidak seberapa.

Ketiga, sistem sistem kontrol masyarakat terhadap akuntabilitas kinerja pejabat publik yang sangat lemah. Penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas "kleptokrasi" sejatinya bukan tanggung jawab penyelenggara negara belaka, melainkan tanggung jawab masyarakat juga. Namun, kendati ada masyarakat yang berusaha kritis kadang kala dianggap musuh oleh si pejabat klepto. Malah, salah-salah dijebloskan ke penjara dengan menggunakan tentakel kekuasaan yang ia miliki.

Makdarit, rasa-rasanya masih butuh waktu lama untuk melihat Indonesia bebas dari kaum kleptokrat. Namun, kita mesti tetap merawat harapan semoga Indonesia bukanlah "Negeri Kleptokrasi". [kp]

Daftar Rujukan

Andreski, Stanislav, 1968. "Kleptocracy or Corruption as a System of Government," in S. Andreski ed., The African Predicament: A Study in the Pathology of Modernization. London: Michael Joseph

Bertocchi, Graziella & Spagat, Michael, 2001. The Politics of Co-optation. Journal of Comparative Economics 29, 591--607.

Besley, Timothy & McLaren, John, 1993. Taxes and Bribery: The Role of Wage Incentives. Economic Journal 103, 119--141.

Buchanan, James M. & Lee, Dwight R., 1982. Politics, Time, and the Laffer Curve. Journal of Political Economy 90, 816--819.

Fiorentini, Gianluca & Zamagni, Stefano, 1999. The Economics of Corruption and Illegal Markets. Cheltenham: Edward Elgar.

Flatters, Frank & MacLeod, W. Bentley, 1995. Administrative Corruption and Taxation. International Tax and Public Finance 2, 397--417.

Grossman, Herschel I., 1999. Kleptocracy and Revolutions. Oxford Economic Papers 51, 267--283.

Heidenheimer, Arnold J.; Johnston, Michael; LeVine, Victor T., 1989. Political Corruption: A Handbook. New Brunswick: Transaction Publishers.

Jones, Eric L., 1981. The European Miracle: Environments, Economies, and Geopolitics in the History of Europe and Asia. New York: Cambridge Univ. Press.

Kangle, RP, 1972. Kautiliya Arthasastra Bagian II. Bombay: Universitas Bombay.

Klitgaard, Robert E., 1987. Controlling Corruption. Barkeley: Univ. of California Press.

Lindauer, David L., Meesook, Oey-Astra, Suebsaeng, Parita, 1988. Government Wage Policy in Africa: Some Findings and Policy Issues. World Bank Research Observer 3, 1--25.

Mills, Edwin S., 1986. The Burden of Government. Stanford: Hoover Institution Press.

Palmier, Leslie, 1983. Bureaucratic Corruption and its Remedies. In: Michael, Clark (Ed.), Corruption: Causes, Consequences and Control. New York: St. Martin's.

Rose-Ackerman, Susan, 1999. Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform. New York: Cambridge Univ. Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun