Banyak pihak merasa tenang usai majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman mati bagi Ferdy Sambo. Tiga hakim berhasil menjaga nyali dan merawat rasa keadilan di tengah publik. Namun, hukuman mati itu masih berpotensi berubah.
SAYA bukan siapa-siapa, tetapi lega ketika Ketua Majelis Hakim menyatakan Ferdy Sambo dijatuhi hukuman mati. Saya bukan pula keluarga mendiang Brigadir Nofriansyah Josua Hutabarat (Brigadir J), tetapi saya bahagia.
Bukan apa-apa. Perbuatan Sambo merampas nyawa Brigadir J, notabene anak buahnya, sangat tidak bisa dicerna oleh otak kecil saya. Keparat penegak hukum, malah main hakim sendiri. Maaf, salah tik. Bukan "keparat", mestinya "aparat".
Itu sebabnya saya merasa lega begitu bekas Kepala Divisi Propam Polri itu dijatuhi hukuman mati. Ternyata majelis hakim menjatuhkan vonis lebih tinggi dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Itu mesti diapresiasi.
Betapa tidak, Sambo itu "polisinya polisi". Jaringannya pun terindikasi kuat. Sampai-sampai Menko Polhukam Mahfud MD menyebut ada "gerakan bawah tanah untuk mengatur dan menentukan vonis Sambo". Ngeri sekali.
"Selayaknya Ferdy Sambo diberikan vonis terakhir, hukuman mati," ujar Rosti Simanjutak seperti dilansir Tempo, Senin (13/2). Ibunda mendiang Brigadir J itu menghadiri sidang vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Vonis Mati, Kado Ultah ke-50 Sambo
TUNGGU DULU. Bahwa majelis hakim sudah memutuskan vonis, itu benar. Bahwa keluarga korban dan sebagian masyarakat Indonesia lega karena vonis mati Sambo, itu benar. Namun, vonis itu masih bisa berubah.
Kado ulang tahun ke-50 bagi Sambo, berupa ketuk palu vonis hukuman mati, jelas-jelas masih berpotensi berubah. Masih ada proses hukum yang bisa dijalani oleh Sambo supaya hukumannya berkurang.
Jelas-jelas pula tim pengacara Sambo akan bekerja mati-matian. Upah mahal tentu tidak sebanding apabila klien mereka dijatuhi hukuman mati. Mereka bakal disangka bermuka badak oleh Sambo kalau tinggal diam saja.