Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Anak Bawang dan Penindasan Senior

15 April 2021   22:57 Diperbarui: 15 April 2021   23:43 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahan kajian (Ilustrasi: istock)

Lema baru saja membelakangi pintu ketika seruntun ketukan mengejutkannya. Ketukan di pintu seperti nada teriakan seseorang yang akan melahirkan dan harus segera dibantu. Ketukan yang iramanya tidak beraturan dengan tempo cepat dan menyebalkan.

Lema mendengkus. Hampir saja batinnya menggerundel. Kalau kebelet ke jamban, bukan ketuk pintu kantorku. Dia buru-buru menarik napas. Ia enggan puasanya terganggu. Puasa bagi Lema tidak hanya menahan lapar dan dahaga, melainkan sekaligus menahan pikiran dan perasaan agar tidak memikirkan dan merasakan yang tidak-tidak.

"Maaf mengganggu," kata lelaki berambut keriting seperti sarang lebah. Ia tersenyum. Sangat tidak manis. "Ibu Lema sedang sibuk?"

Tabiat ketus Lema hampir meledak. Seseorang di dalam benaknya membisikkan "kamu berpuasa", jadi ia urungkan makian. "Masuklah," katanya pelan, "dengan syarat buang jauh sebutan 'ibu' untukku."

Lelaki berambut keriting dengan model seperti sarang lebah itu mengernyit. Ia tidak tahu bahwa Lema tidak suka sapaan "ibu". Ia duduk saja di sofa. Memang Lema tidak menyuruhnya duduk, tetapi perempuan penyuka kata itu sudah memberi isyarat tangan. Meski begitu, ia terpana. Alih-alih duduk, Lema malah hilang di balik pintu. Tidak ada pesan mau ke mana.

"Silakan minum," kata Lema.

Lelaki berambut keriting itu terperanjat. Buru-buru ia membuka mata. "Kamu tidak puasa?"

"Puasa."

"Kenapa kausuguhi aku kopi?"

Lema tertawa kecil. "Puasa tidak menghalangi aku untuk menjamu tamu."

"Tapi ...."

"Tidak ada kata tetapi dalam urusan menghormati tamu," ujar Lema. "Minumlah!"

Lelaki itu mengangguk. Ia angkat cangkir, pelan-pelan menciumi aromi kopi, lalu menyeruput sepenuh hati. "Hmmm!" Ia berhenti sejenak, seruput lagi. "Persis aroma dan rasa kopi kalosi."

"Kiriman bosmu untuk bosku."

"Pantas!" Setelah meletakkan cangkir, ia menelengkan kepala. Celingak-celinguk. "Mana bosmu?"

"Ada apa?"

"Ditanya bukannya menjawab, malah balas bertanya."

Lema tersenyum. "Kebiasaan lama. Bawaan orok!"

"Semula aku ingin bertemu bosmu. Aku ingin minta saran. Aku tidak tahu apa yang harus atau akan kulakukan. Bete aku menghadapi teman kantorku yang otoriter!"

Lema terkinjat. "Sependek ingatanku, bosmu cukup demokratis."

"Bosku memang demokratis," ujar lelaki berambut sarang lebah itu. "Seniorku tidak. Kalau saja kamu lihat gaya seniorku setiap hari, berat badanmu bisa melorot dalam seminggu. Bayangkan. Aku sudah lima bulan bekerja, tetapi masih dianggap anak bawang." Ia mengembuskan napas keras-keras, seakan-akan lewat napas itu seluruh bebannya luruh. "Kalau disangka bau badan atau bau mulut, aku terima saja. Ini tidak!"

"Kenapa?"

"Aku selalu dibilang bau kencur."

Lewa tertawa. "Tidak perlu marah. Karyawan lama memang selalu melihat anak baru sebagai anak bawang. Mental inlander. Tabiat takut disaingi. Apalagi kalau kamu punya keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh seniormu."

"Itulah, Mbak Lema," ucap lelaki berambut keriting itu, "aku bisa bikin infografis, menganalisis dan mengolah data, lalu menuliskannya dengan renyah."

"Seniormu?"

Lelaki itu terbahak-bahak. "Biasa. Konvensional. Bahasa mereka kaku, seperti robot yang setahun tidak ganti oli!"

"Tidak lezat dibaca, dong."

"Tetap lezat," kata si lelaki dengan muka berseri-seri, "tetapi untuk usia lima puluh tahun ke atas. Pantas hasil riset jarang dibaca oleh anak muda. Mestinya tulisan hasil penelitian dibaca banyak orang, ini hanya dinikmati oleh segelintir orang. Itu-itu melulu pulak!"

"Proteslah!"

Lelaki itu mendesah. "Percuma, Lema. Mana pernah pendapat anak bawang ditanggapi. Sekarang didengar, besok diabaikan. Semacam menyenangkan hati saja." Ia tepekur. Memainkan jemari. Lalu mendongak dan bertanya. "Kamu tahu, Lema?"

Lema menganga beberapa jenak. "Bagaimana aku bisa tahu kalau kau belum cerita?"

"Ini satu contoh saja," ucap lelaki pemelihara kutu di rambut keritingnya, "kemarin bosku senewen gara-gara ada periset yang bilang menulis adalah pekerjaan sampingan bagi peneliti. Terang aku bantah habis-habisan."

"Memang ada benarnya."

"Iya, tapi tidak sepenuhnya benar," kata lelaki itu dengan mata membelalak. "Jika seorang periset menuliskan hasil penelitian, itu bagian dari penelitiannya. Aku sepakat. Kalau seorang periset menulis di luar latar keilmuannya, itu pekerjaan sampingan."

"Betul!"

Lelaki itu terkinjat. Sesuatu di saku celananya berteriak. Ponselnya berbunyi. Ia segera merogoh saku dan menjawab telepon. "Kenapa, Berta?"

"Pulang kau," kata seseorang dari dalam ponsel. "Bos pusing cari kau!"

"Tunggu," kata Poltak sembari mencari tombol sepeker.

"Kau di depan cewek itu, kan?"

Lelaki itu menggeleng-geleng. "Aku lagi bersama Pak Daeng."

"Bohong kau, Poltak, Daeng sedang minum kopi bersama Propesor Pelix!" [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun