Lema baru saja membelakangi pintu ketika seruntun ketukan mengejutkannya. Ketukan di pintu seperti nada teriakan seseorang yang akan melahirkan dan harus segera dibantu. Ketukan yang iramanya tidak beraturan dengan tempo cepat dan menyebalkan.
Lema mendengkus. Hampir saja batinnya menggerundel. Kalau kebelet ke jamban, bukan ketuk pintu kantorku. Dia buru-buru menarik napas. Ia enggan puasanya terganggu. Puasa bagi Lema tidak hanya menahan lapar dan dahaga, melainkan sekaligus menahan pikiran dan perasaan agar tidak memikirkan dan merasakan yang tidak-tidak.
"Maaf mengganggu," kata lelaki berambut keriting seperti sarang lebah. Ia tersenyum. Sangat tidak manis. "Ibu Lema sedang sibuk?"
Tabiat ketus Lema hampir meledak. Seseorang di dalam benaknya membisikkan "kamu berpuasa", jadi ia urungkan makian. "Masuklah," katanya pelan, "dengan syarat buang jauh sebutan 'ibu' untukku."
Lelaki berambut keriting dengan model seperti sarang lebah itu mengernyit. Ia tidak tahu bahwa Lema tidak suka sapaan "ibu". Ia duduk saja di sofa. Memang Lema tidak menyuruhnya duduk, tetapi perempuan penyuka kata itu sudah memberi isyarat tangan. Meski begitu, ia terpana. Alih-alih duduk, Lema malah hilang di balik pintu. Tidak ada pesan mau ke mana.
"Silakan minum," kata Lema.
Lelaki berambut keriting itu terperanjat. Buru-buru ia membuka mata. "Kamu tidak puasa?"
"Puasa."
"Kenapa kausuguhi aku kopi?"
Lema tertawa kecil. "Puasa tidak menghalangi aku untuk menjamu tamu."
"Tapi ...."