"Tidak ada kata tetapi dalam urusan menghormati tamu," ujar Lema. "Minumlah!"
Lelaki itu mengangguk. Ia angkat cangkir, pelan-pelan menciumi aromi kopi, lalu menyeruput sepenuh hati. "Hmmm!" Ia berhenti sejenak, seruput lagi. "Persis aroma dan rasa kopi kalosi."
"Kiriman bosmu untuk bosku."
"Pantas!" Setelah meletakkan cangkir, ia menelengkan kepala. Celingak-celinguk. "Mana bosmu?"
"Ada apa?"
"Ditanya bukannya menjawab, malah balas bertanya."
Lema tersenyum. "Kebiasaan lama. Bawaan orok!"
"Semula aku ingin bertemu bosmu. Aku ingin minta saran. Aku tidak tahu apa yang harus atau akan kulakukan. Bete aku menghadapi teman kantorku yang otoriter!"
Lema terkinjat. "Sependek ingatanku, bosmu cukup demokratis."
"Bosku memang demokratis," ujar lelaki berambut sarang lebah itu. "Seniorku tidak. Kalau saja kamu lihat gaya seniorku setiap hari, berat badanmu bisa melorot dalam seminggu. Bayangkan. Aku sudah lima bulan bekerja, tetapi masih dianggap anak bawang." Ia mengembuskan napas keras-keras, seakan-akan lewat napas itu seluruh bebannya luruh. "Kalau disangka bau badan atau bau mulut, aku terima saja. Ini tidak!"
"Kenapa?"