Ndilalah, Diari, masuk karantina. Lucunya, artikel itu muncul tanpa pemberitahuan. Janji pengelola tidak terpenuhi. Artikel nongol di Pulau Entah-berentah. Tidak ada waktu tayang. Tidak ada di rubrik Terbaru, Pilihan Editor, atau Politik. Bahkan, tidak ada di profil akunku.
Aku tahu artikel itu tayang karena aku membaca cuitan Admin Twitter Kompasiana. Artikel itu kontan saya hapus. Tidak jelas.
Jika dulu menggunakan alasan "mengandung kata atau kalimat yang dilarang di Kompasiana", kini tidak lagi. Alasannya diganti dengan "sekadar untuk memastikan tidak menimbulkan dampak yang kurang baik bagi interaksi di Kompasiana".
Kalau dulu tidak jelas kriteria kata atau kalimat yang dilarang, sekarang tidak terang apa yang tergolong dampak kurang baik bagi interaksi di Kompasiana. Berbeda, Diari, tetapi mirip. Apa kemiripannya?
Pertama, sama-sama tidak jelas. Pendek kata, hanya pengelola Kompasiana dan Tuhan yang tahu alasannya. Kompasianer manut saja. Anak kos-kosan memang mesti menurut. Kalau tidak, tanggung sendiri akibatnya.
Kedua, sama-sama tidak jelas. Pendek kata, hanya pengelola Kompasiana dan Tuhan yang tahu alasannya. Kompasianer manut saja. Anak kos-kosan memang mesti menurut. Kalau tidak, tanggung sendiri akibatnya.
Ketiga, sama-sama tidak jelas. Pendek kata, hanya pengelola Kompasiana dan Tuhan yang tahu alasannya. Kompasianer manut saja. Anak kos-kosan memang mesti menurut. Kalau tidak, tanggung sendiri akibatnya.
Itulah tiga persamaan dari dua alasan pengelola Kompasiana.
Plis, Diari. Tolong berhenti meminta agar aku berpikir positif. Otakku juga berhak berpikir negatif. Kamu kira pengacara dan jaksa berdiri di pengadilan atas dasar berpikir positif saja?