Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Dewa Kipas, Tarung Catur, dan Kontroversi Daeng Marewa

24 Maret 2021   14:33 Diperbarui: 24 Maret 2021   15:20 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deddy Corbuzier, promotor dwitarung catur antara Dewa Kipas melawan GM Irene Sukandar (Foto: Instagram/mastercorbuzier)

Selesai sudah duel antara Dewa Kipas dan GM Irene Sukandar. Sebagaimana kita ketahui, Dewa Kipas tunduk dengan skor 0-3. Meski begitu, jejak dwitarung itu masih berasa. Meme Irene yang tengah memeras otak sontak berseliweran di media sosial. Rupa-rupa komentar netizen.

Celetukan tentang Dewa Kipas juga masih sesekali melintas. Kabar terbaru, Dewa Kipas senang karena menerima hadiah Rp100.000.000,00. Uang hadiah akan ia gunakan untuk melunasi utang, bersedekah, dan mendirikan warung kopi.

Cita-cita yang sederhana. Setelah kerap diomeli istri akibat keranjingan main catur daring, kini ia bisa tersenyum karena sudah berkantong tebal. Meski begitu, ia tidak lupa pada catur yang melambungkan namanya.

Kelak, di warkop impiannya ia akan menyediakan ruangan tempat pelanggan bisa bermain catur.

Sensasi media sosial tidak hanya memasyhurkan nama Dadang Subur selaku Dewa Kipas. Riuh kasus Dewa Kipas kembali mengangkat catur ke ruang percakapan publik. Tidak hanya di media sosial, tetapi juga di kedai-kedai kopi.

Eddy Situmorang, misalnya. Pelanggan tetap kedai kopi Kang Mamat sudah memancang angan-angan. Siapa saja yang datang ke kedai di depan rumah saya itu akan ia tantang bermain catur. Lagaknya sudah melewati pecatur tanggung kelas pos ronda.

"Daeng Marewa, main catur dulu. Lupakan sejenak laptopmu. Main catur saja. Mana tahu kita diundang Deddy Corbuzier untuk melawan Irene," kata Eddy dengan mata membeliak.

Saya bukan pecatur. Hanya penonton. Saya betah menonton orang bermain catur. Saya senang melihat bidak maju selangkah tanpa kenal kembali. Langkah bidak mengingatkan saya pada satu petuah leluhur: sekali layar terkembang, pantang surut ke haluan.

Saya juga suka menyaksikan bagaimana cara benteng menjalani hidup. Selalu lurus. Tidak mau serong, tidak mau miring. Lurus saja. Kalau bukan ke depan atau ke belakang, pasti ke samping. Saya berharap pejabat publik juga begitu. Hidup lurus dan makan gaji halal saja.

Terkadang saya terpukau pada pergerakan raja. Pelan. Lamban. Terbatas. Ssangat berhati-hati. Hanya satu langkah. Bandingkan dengan menteri yang bebas ke segala arah tanpa batasan langkah. Raja tidak boleh sembrono. Langkahnya penuh risiko: menang atau mati.

Siang ini saya jabani tantangan Eddy. Perantau dari Medan itu senang bukan kepalang. Melawan saya alamat menang tanpa memakan waktu lama. Itu alasan mengapa ia begitu gembira. Ketika bidak pertama melangkah, saya mengoceh tentang faedah catur bagi manusia.

"Catur itu, Pak Eddy, merangsang otak agar tetap bekerja," ujar saya setelah memindahkan bidak. Saya mengawali permainan dengan pertahanan Petroff. Semacam parkir bus di kepala Mourinho dengan ancaman serangan balik yang sporadis.

Pak Eddy tidak berkomentar apa-apa. Ia hanya sibuk menatap papan catur.

Saya kembali mengoceh. "Catur dapat menghindarkan orang dari demensia. Sering berpikir kritis, kecerdasan merancang strategi hingga tiga langkah mendatang, akumulasi mental saat bermain, sangat berguna untuk menjaga kesehatan otak."

Pak Eddy masih cuek bebek.

"Catur dapat meningkatkan kualitas daya ingat," ujar saya seraya mencoba menguasai lapangan tengah. "Pecatur andal kadang memiliki ingatan fotografis. Gambaran langkah yang memantik kesalahan fatal biasanya lekat dalam ingatan."

"Mau main atau ngoceh?" Pak Eddy mendongak. "Jangan merusak konsen aku, dong!"

Saya tersenyum. "Manfaat ketiga, mendongkrak kreativitas. Pemain catur piawai meracik taktik." Saya berhenti sejenak lantaran menteri saya terancam. Setelah menyembunyikan menteri di belakang pion, saya kembali mangap.

Kang Mamat keburu menyela. "Manfaat keempat, Daeng?"

"Banyak mulut kau, Daeng," ujar Pak Eddy sambil berdiri. Ia mencomot sepotong bakwan.

"Menahan diri alias belajar sabar," kata saya sambil tertawa. Telunjuk saya menunjuk muka Pak Eddy yang mulai merah padam.

Kang Mamat tertawa. "Betul juga. Sepakat, Daeng!"

"Ayo lanjut, Pak Eddy," kata saya dengan mimik tanpa rasa bersalah.

"Bacot doang!" Eddy melengos. "Mirip Dewa Kipas!"

Saya dan Kang Mamat tergelak-gelak. Eddy merapikan papan catur. Pertandingan berakhir tanpa skor yang jelas. Remis tidak, kalah tidak. Jagoan kedai kopi tunduk gara-gara ocehan saya.

"Apa salah saya, Pak Eddy?" Saya pura-pura berpikir dengan meniru gaya Irene. "Apakah salah jika saya jelaskan manfaat bermain catur?"

"Mukamu yang salah, Kawan," ujar Eddy dengan suara mulai meninggi.

Alih-alih keder, saya malah tertawa. "Mending kauambil gitar, Bang. Muka kau itu Rambo, tapi hati kau tidak segarang Rambo."

Begitulah. Percakapan di kedai kopi Kang Mamat berakhir. Lagu "Terbakar Cemburu" mengalun dari bibir Eddy Situmorang. Kepala saya masih memikirkan mengapa saya dituduh bersalah gara-gara menguraikan manfaat bermain catur. 

Kalian juga pantas sewot layaknya Eddy Situmorang. Artikel ini berantakan. Apa hubungan antara Dewa Kipas dengan duel saya melawan Pak Eddy? Hanya catur. Itu saja. Lalu, kenapa foto yang saya pajang justru Deddy Corbuzier? Entahlah! [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun