Saya dan Kang Mamat tergelak-gelak. Eddy merapikan papan catur. Pertandingan berakhir tanpa skor yang jelas. Remis tidak, kalah tidak. Jagoan kedai kopi tunduk gara-gara ocehan saya.
"Apa salah saya, Pak Eddy?" Saya pura-pura berpikir dengan meniru gaya Irene. "Apakah salah jika saya jelaskan manfaat bermain catur?"
"Mukamu yang salah, Kawan," ujar Eddy dengan suara mulai meninggi.
Alih-alih keder, saya malah tertawa. "Mending kauambil gitar, Bang. Muka kau itu Rambo, tapi hati kau tidak segarang Rambo."
Begitulah. Percakapan di kedai kopi Kang Mamat berakhir. Lagu "Terbakar Cemburu" mengalun dari bibir Eddy Situmorang. Kepala saya masih memikirkan mengapa saya dituduh bersalah gara-gara menguraikan manfaat bermain catur.Â
Kalian juga pantas sewot layaknya Eddy Situmorang. Artikel ini berantakan. Apa hubungan antara Dewa Kipas dengan duel saya melawan Pak Eddy? Hanya catur. Itu saja. Lalu, kenapa foto yang saya pajang justru Deddy Corbuzier? Entahlah! [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H