Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kamuflase Kasus Abu Janda dan Defamasi Agama

24 Februari 2021   14:19 Diperbarui: 24 Februari 2021   14:44 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Delik defamasi agama dengan pemberlakukan pidana penjara dan denda secara kumulatif terjadi di Aljazair, India, Kuwait, Maroko, Oman, Rusia, Somalia, Suriname, dan Yaman. Ada juga negara yang memberlakukan pidana penjara dan denda secara alternatif, yakni Irak, Finlandia, Malaysia, Qatar, dan Thailand.

Satu-satunya negara yang menerapkan hukum cambuk adalah Sudan.

Abu Janda dan defamasi agama

KASUS TERBARU yang dapat kita lihat sebagai contoh penodaan agama di Indonesia adalah cuitan Abu Janda. Pada 25 Januari 2021 lalu, Abu Janda berkicau di Twitter menyebut Islam sebagai agama yang arogan.

Cicitan Abu Janda mendapat respons masif dari warganet. Sekalipun menyangkal dengan dalih cuitannya adalah respons atas kicauan orang lain, tetapi Abu Janda dengan gamblang menyebut Islam sebagai agama pendatang dari Arab yang memang arogan. Tidak ada kata pewatas. Hanya ada Islam.

Terlepas dari tekanan masyarakat, termasuk ormas Islam, patut kita camkan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana penodaan agama di Indonesia mencakup: (1) setiap orang; (2) dengan sengaja di depan umum; dan (3) mengeluarkan perasaan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Pertanyaannya, apakah cuitan Abu Janda yang menyebut Islam sebagai agama arogan termasuk defamasi agama? Polri selaku pihak penyidik yang paling awal berwenang untuk menentukan deliknya. Masalahnya, Polri masih terus mencari bukti. Jangan-jangan Abu Janda sedemikian sakti sehingga Polri kebingungan mencari bukti.

Bukan hanya itu. Publik juga mengetahui bahwa Abu Janda sudah meminta maaf kepada organisasi tertentu atas pernyataannya. Apakah permintaan maaf itu tulus atau sekadar buih kata atau kamuflase agar tidak dikenai delik penodaan agama?

Tentu hanya Tuhan dan Abu Janda yang tahu. [kp]

Rujukan:

  1. KBBI. Menodai. Diakses 23 Februari 2021.
  2. Riaz Hassan. Expressions of Religiosity and Blasphemy in Modern Societies. Diakses 23 Februari 2021.
  3. Henry Campbell Black. Black's Law Dictionary, Edisi 4 (Revisi).Diakses 23 Februari 2021.
  4. Merriam-Webster Dictionary. Blasphemy. Diakses 23 Februari 2021.
  5. Joelle Fiss dan Jocelyn Getgen Kestenbaum. Respecting Rights? Measuring the World's Blasphemy Laws. United States Commission on International Religious Freedom. 2017, hlm. 3 dan 17.
  6. Kementerian Agama RI. UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965. Diakses pada 24 Februari 2021.
  7. Soedarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Bandung: Sinar Baru. 1983, hlm. 78---79.
  8. Neva Claudia Meliala. Ketidakjelasan Kriteria Penodaan Agama dalam Pasal 156 huruf (a) KUHP Quo Vadis Lex Certa. Diakses 24 Februari 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun