Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jejak UU ITE: dari Prita hingga Ariel, dari Curhat hingga Kritik

16 Februari 2021   12:09 Diperbarui: 16 Februari 2021   20:56 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kasus Prita yang melambung karena gerakan

PADA MULANYA UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ditaja untuk melindungi kepentingan publik dari kebocoran data pribadi, membela rakyat dari kejahatan digital, serta menjauhkan masyarakat dari pencurian data di internet. Seperti namanya, ranah UU ITU adalah informasi dan tansaksi elektornik.

Dengan demikian, kehadiran UU ITE akan menjauhkan kita dari SMS penipuan, kebocoran data pribadi yang terjadi lewat transaksi elektronik, atau hal-hal yang sekerabat dengan itu. Jadi, tidak ada lagi pesan pendek mama minta pulsa, bapak sedang di kantor polisi, hadiah puluhan juta dari sumber yang tidak jelas, atau perkara lain yang serupa dengan itu.

Belakangan tidak lagi. Beberapa "pasal lentur" dalam UU ITE digunakan oleh segelintir orang untuk menjerat pihak yang berseberangan, membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta menjauhkan kritik dari makna yang sebenarnya. Tidak heran jika sekarang banyak orang dan lembaga yang menyebut UU ITE sebagai senjata untuk "mematikan demokrasi".

Anggapan bahwa UU ITE dijadikan amunisi untuk membunuh demokrasi pada dasarnya bukanlah pepesan kosong. Banyak bukti yang dapat diasongkan ke depan mata. Yang terbaru, misalnya, penulis dan penerbit buku "soal ujian Pak Ganjar" dipolisikan. Alasannya lagi-lagi defamasi atau pencemaran nama baik.

Jika terus seperti itu, lambat laun negara tercinta ini akan dipenuhi oleh rakyat yang seragam, bukan beragam. Negara kita bukan lagi negara demokrasi, melainkan "negara paduan suara". Ada pembagian suara, tetapi distribusinya hanya demi mencapai kesamaan, kepaduan, dan kesatuan. Satu suara fals atau sumbang akan dijewer. Mungkin oleh konduktor, mungkin oleh penonton.

Bagaimana dengan informasi dan transaksi elektronik sebagai esensi awal UU ITE? 

Masih menyedihkan. Setiap hari Anda mungkin saja menerima pesan pendek sebagai penerima hadiah. Bagaimana caranya nomor Anda bisa jatuh ke tangan pengirim pesan pendek? Lewat transaksi elektronik. Dari sana berpangkal kebocoran data pribadi.

***

BARU-BARU ini, Presiden Jokowi meminta rakyat untuk rajin mengagihkan kritik. Kalau perlu, kritik pedas. Permintaan itu sontak mendapat tanggapan dari banyak pihak, termasuk dari mantan pasangan Jokowi, yakni Jusuf Kalla. Ndilalah, tanggapan Jusuf Kalla mendapat tanggapan balik dari berbagai pihak. Termasuk, Menkopolhukam Mahfud MD.

Kemarin, Minggu (15/2/2021), Mahfud MD mengeluarkan pernyataan lewat cuitan di Twitter. Kata beliau, Pemerintah akan mendiskusikan inisiatif untuk merevisi UU ITE. Beliau juga menyatakan bahwa UU ITE yang dulu banyak disokong dan didukung, sekarang dianggap tidak baik terutama karena beberapa pasal karet. Itulah alasan mengapa Pemerintaf berinisiatif merevisi UU ITE.

Jika kita tengok ke belakang tatkala UU ITE diterbitkan, sudah banyak pihak yang menyayangkan, bahkan mempertanyakan, beberapa pasal dalam UU ITE yang ditengarai dapat melar sesuai persepsi penafsir. Itu sebabnya disebut "pasal karet". Pasal itu di antaranya mencakup tentang pencemaran nama baik.

Turunan UU ITE pun tidak menguraikan dengan jelas apa saja yang tergolong pencemaran nama baik, bilamana seseorang dianggap mencemarkan nama baik orang lain, dan bagaimana dampak dari pencemaran nama baik itu. Korban-korban pun berjatuhan. Pendek kata, segala-gala yang "bikin sakit kuping dan hati" dapat diadukan kepada polisi. Tamengnya, UU ITE.

Jadilah UU ITE sebagai "paria demokrasi". Pahitnya bukan untuk memicu selera makan, melainkan sebagai pentungan bagi politik dan kekuasaan. 

Ambil contoh kasus Fadli Rahman di Gowa, Sulsel, yang unggahannya di grup LINE disangka menghina Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo. Fadli dijerat UU ITE. Dari satu grup LINE yang berisi tujuh orang rekan sekolah, Fadli digelandang ke meja hijau.

Melalui surat elektronik, Prita Mulyasari mengeluhkan pelayanan sebuah rumah sakit. Surel itu bocor kepada khalayak luas dan menjadi perbincangan publik. Pihak rumah sakit tidak terima. Prita dimejahijaukan. Delik aduannya lagi-lagi UU ITE. Prita kemudian divonis 6 (enam) bulan penjara plus kewajiban membayar denda sebanyak Rp204 juta.

Kasus Prita yang melambung karena gerakan
Kasus Prita yang melambung karena gerakan
Adalah Nazriel Irham alias Ariel, vokalis band ternama, diajukan ke pengadilan karena dianggap selaku pembuat dan penyebar video yang mengandung unsur pornografi. Rekaman video persanggamaan Ariel dengan dua pesohor pun beredar luas di internet. Ariel didakwa melanggar UU ITE, divonis tiga setengah tahun penjara, dan didenda sebesar Rp250 juta.

Ada pula Saut Situmorang, seorang penyair di Jogjakarta, yang terpaksa bolak-balik Jogjakarta-Jakarta karena harus menjalani pemeriksaan polisi. Saut mengkritik buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh, lantas dipolisikan dengan jeratan UU ITE. Singkat kata, kasus Sauttak ubahnya bermula dari puisi lalu berakhir di kantor polisi. Untunglah akhirnya Saut divonis bebas. 

Muhammad Arsyad, seorang aktivis antikorupsi di Makassar, diperiksa di Polda Sulsel setelah ia diadukan kepada polisi oleh anggota DPRD Makassar dari Fraksi Golkar. Semua bermula gara-gara Arsyad menyatakan "Nurdin Halid koruptor! Jangan pilih adik koruptor" lewat aplikasi BBM. Setelah melewati persidangan panjang, Arsyad dibebaskan dari jeratan UU ITE.

Baiq Nuril, seorang guru honorer di Mataram, harus berurusan dengan polisi karena merekam pembicaraan kepala sekolahnya tentang pengalaman seksnya dengan perempuan yang bukan istrinya. Baiq memperdengarkan rekaman itu kepada rekan kerjanya, lantas rekaman itu beredar luas. Baiq divonis bebas dari jeratan UU ITE oleh Pengadilan Negeri Mataram pada 2017, tetapi ia kalah kasasi dan dihukum 6 (enam) bulan penjara plus denda sebanyak Rp500 juta.

Muhakdly MT alias Acho, seorang komika di Jakarta, pada 2015 lalu dilaporkan kepada polisi gara-gara mengunggah keluhan tentang fasilitas di apartemennya lewat blog pribadi. Unggahan itu lantas dianggap mencemarkan nama baik pengembang apartemen. Acho dijerat UU ITE, meski akhirnya tuduhan pencemaran nama baik itu berakhir lewat jalur damai.

Ahmad Dhani, musisi dan pentolan band tersohor, pada awal 2019 dijatuhi hukuman penjara selama 1 (satu) tahun 6 (bulan) karena cicitannya di Twitter yang didakwa menebar kebencian. Dhani akhirnya mendekam di penjara gara-gara terjerat UU ITE.  

Robertus Robet, seorang mantan dosen di Jakarta, pada 2019 lalu menjadi korban UU ITE. Akibat orasi sambil bernyanyi dengan isi mengkritik militer, ia dituduh menyebarkan informasi yang bisa menimbulkan kebencian dan permusuhan, serta menghina penguasa atau lembaga negara.

Dandhy Laksono, seorang jurnalis dan aktivis HAM di Jakarta, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Ia disangka menebar ujaran kebencian lewat cuitannya di Twitter. Sekalipun akhirnya lepas dari sangkaan, Dandhy tetaplah korban dari "pembunuhan kebebasan berekspresi" dengan senjata bernama UU ITE.

***

Baiq Nuril, korban UU ITE (Foto: Antara/Rivan Awal Lingga)
Baiq Nuril, korban UU ITE (Foto: Antara/Rivan Awal Lingga)

SEJAK LAHIR pada 2008, UU ITE telah menjadi jerat setan bagi banyak pihak. Tidak pandang bulu. Mau tenar mau kagak, semua orang bisa digelandang ke kantor polisi gara-gara UU ITE. Mau rakyat jelata mau komika ternama, semua bisa dipolisikan gara-gara "tafsir melar" terhadap pasal dalam UU ITE.

Maka cuitan Mahfud selaku pioner hukum di kabinet Jokowi tentu saja dapat meniupkan angin segar bagi publik. Angin segar itu semoga bukan angin sepoi-sepoi yang "antara ada dan tiada". Semoga bukan pula semangat "hangat-hangat tahi ayam".

Angin segar itu pun hendaknya tidak hanya sebatas menyentuh ranah revisi. Turunan UU ITE juga mesti diperbaiki. Harus ada batasan yang jelas tentang pencemaran nama baik. Watas jelas itulah yang dapat menjamin tumbuh kembang demokrasi, terutama kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dengan begitu, rakyat tidak perlu cemas memenuhi permintaan presidennya.

Selama tidak ada batasan yang jelas atas definisi dan kategori pencemaran nama baik, selama itu pula orang-orang tidak akan bisa membedakan antara kritik dengan pencemaran. Maka dari itu, hal paling mendesak justru mengembalikan UU ITE pada fitrahnya, bersamaan dengan itu ajukan revisi. 

Bagaimanapun, ajuan revisi UU ITE pasti makan waktu. Salah-salah keburu ayah ada di kantor polisi dan mama minta pulsa. Ah, sudahlah. Selamat bekerja, Pak Mahfud. [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun