SEJAK LAHIR pada 2008, UU ITE telah menjadi jerat setan bagi banyak pihak. Tidak pandang bulu. Mau tenar mau kagak, semua orang bisa digelandang ke kantor polisi gara-gara UU ITE. Mau rakyat jelata mau komika ternama, semua bisa dipolisikan gara-gara "tafsir melar" terhadap pasal dalam UU ITE.
Maka cuitan Mahfud selaku pioner hukum di kabinet Jokowi tentu saja dapat meniupkan angin segar bagi publik. Angin segar itu semoga bukan angin sepoi-sepoi yang "antara ada dan tiada". Semoga bukan pula semangat "hangat-hangat tahi ayam".
Angin segar itu pun hendaknya tidak hanya sebatas menyentuh ranah revisi. Turunan UU ITE juga mesti diperbaiki. Harus ada batasan yang jelas tentang pencemaran nama baik. Watas jelas itulah yang dapat menjamin tumbuh kembang demokrasi, terutama kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dengan begitu, rakyat tidak perlu cemas memenuhi permintaan presidennya.
Selama tidak ada batasan yang jelas atas definisi dan kategori pencemaran nama baik, selama itu pula orang-orang tidak akan bisa membedakan antara kritik dengan pencemaran. Maka dari itu, hal paling mendesak justru mengembalikan UU ITE pada fitrahnya, bersamaan dengan itu ajukan revisi.Â
Bagaimanapun, ajuan revisi UU ITE pasti makan waktu. Salah-salah keburu ayah ada di kantor polisi dan mama minta pulsa. Ah, sudahlah. Selamat bekerja, Pak Mahfud. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H