Jadilah UU ITE sebagai "paria demokrasi". Pahitnya bukan untuk memicu selera makan, melainkan sebagai pentungan bagi politik dan kekuasaan.Â
Ambil contoh kasus Fadli Rahman di Gowa, Sulsel, yang unggahannya di grup LINE disangka menghina Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo. Fadli dijerat UU ITE. Dari satu grup LINE yang berisi tujuh orang rekan sekolah, Fadli digelandang ke meja hijau.
Melalui surat elektronik, Prita Mulyasari mengeluhkan pelayanan sebuah rumah sakit. Surel itu bocor kepada khalayak luas dan menjadi perbincangan publik. Pihak rumah sakit tidak terima. Prita dimejahijaukan. Delik aduannya lagi-lagi UU ITE. Prita kemudian divonis 6 (enam) bulan penjara plus kewajiban membayar denda sebanyak Rp204 juta.
Ada pula Saut Situmorang, seorang penyair di Jogjakarta, yang terpaksa bolak-balik Jogjakarta-Jakarta karena harus menjalani pemeriksaan polisi. Saut mengkritik buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh, lantas dipolisikan dengan jeratan UU ITE. Singkat kata, kasus Sauttak ubahnya bermula dari puisi lalu berakhir di kantor polisi. Untunglah akhirnya Saut divonis bebas.Â
Muhammad Arsyad, seorang aktivis antikorupsi di Makassar, diperiksa di Polda Sulsel setelah ia diadukan kepada polisi oleh anggota DPRD Makassar dari Fraksi Golkar. Semua bermula gara-gara Arsyad menyatakan "Nurdin Halid koruptor! Jangan pilih adik koruptor" lewat aplikasi BBM. Setelah melewati persidangan panjang, Arsyad dibebaskan dari jeratan UU ITE.
Baiq Nuril, seorang guru honorer di Mataram, harus berurusan dengan polisi karena merekam pembicaraan kepala sekolahnya tentang pengalaman seksnya dengan perempuan yang bukan istrinya. Baiq memperdengarkan rekaman itu kepada rekan kerjanya, lantas rekaman itu beredar luas. Baiq divonis bebas dari jeratan UU ITE oleh Pengadilan Negeri Mataram pada 2017, tetapi ia kalah kasasi dan dihukum 6 (enam) bulan penjara plus denda sebanyak Rp500 juta.
Muhakdly MT alias Acho, seorang komika di Jakarta, pada 2015 lalu dilaporkan kepada polisi gara-gara mengunggah keluhan tentang fasilitas di apartemennya lewat blog pribadi. Unggahan itu lantas dianggap mencemarkan nama baik pengembang apartemen. Acho dijerat UU ITE, meski akhirnya tuduhan pencemaran nama baik itu berakhir lewat jalur damai.
Ahmad Dhani, musisi dan pentolan band tersohor, pada awal 2019 dijatuhi hukuman penjara selama 1 (satu) tahun 6 (bulan) karena cicitannya di Twitter yang didakwa menebar kebencian. Dhani akhirnya mendekam di penjara gara-gara terjerat UU ITE. Â
Robertus Robet, seorang mantan dosen di Jakarta, pada 2019 lalu menjadi korban UU ITE. Akibat orasi sambil bernyanyi dengan isi mengkritik militer, ia dituduh menyebarkan informasi yang bisa menimbulkan kebencian dan permusuhan, serta menghina penguasa atau lembaga negara.
Dandhy Laksono, seorang jurnalis dan aktivis HAM di Jakarta, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Ia disangka menebar ujaran kebencian lewat cuitannya di Twitter. Sekalipun akhirnya lepas dari sangkaan, Dandhy tetaplah korban dari "pembunuhan kebebasan berekspresi" dengan senjata bernama UU ITE.
***