PADA MULANYA UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)Â ditaja untuk melindungi kepentingan publik dari kebocoran data pribadi, membela rakyat dari kejahatan digital, serta menjauhkan masyarakat dari pencurian data di internet. Seperti namanya, ranah UU ITU adalah informasi dan tansaksi elektornik.
Dengan demikian, kehadiran UU ITE akan menjauhkan kita dari SMS penipuan, kebocoran data pribadi yang terjadi lewat transaksi elektronik, atau hal-hal yang sekerabat dengan itu. Jadi, tidak ada lagi pesan pendek mama minta pulsa, bapak sedang di kantor polisi, hadiah puluhan juta dari sumber yang tidak jelas, atau perkara lain yang serupa dengan itu.
Belakangan tidak lagi. Beberapa "pasal lentur" dalam UU ITE digunakan oleh segelintir orang untuk menjerat pihak yang berseberangan, membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta menjauhkan kritik dari makna yang sebenarnya. Tidak heran jika sekarang banyak orang dan lembaga yang menyebut UU ITE sebagai senjata untuk "mematikan demokrasi".
Anggapan bahwa UU ITE dijadikan amunisi untuk membunuh demokrasi pada dasarnya bukanlah pepesan kosong. Banyak bukti yang dapat diasongkan ke depan mata. Yang terbaru, misalnya, penulis dan penerbit buku "soal ujian Pak Ganjar" dipolisikan. Alasannya lagi-lagi defamasi atau pencemaran nama baik.
Jika terus seperti itu, lambat laun negara tercinta ini akan dipenuhi oleh rakyat yang seragam, bukan beragam. Negara kita bukan lagi negara demokrasi, melainkan "negara paduan suara". Ada pembagian suara, tetapi distribusinya hanya demi mencapai kesamaan, kepaduan, dan kesatuan. Satu suara fals atau sumbang akan dijewer. Mungkin oleh konduktor, mungkin oleh penonton.
Bagaimana dengan informasi dan transaksi elektronik sebagai esensi awal UU ITE?Â
Masih menyedihkan. Setiap hari Anda mungkin saja menerima pesan pendek sebagai penerima hadiah. Bagaimana caranya nomor Anda bisa jatuh ke tangan pengirim pesan pendek? Lewat transaksi elektronik. Dari sana berpangkal kebocoran data pribadi.
***
BARU-BARU ini, Presiden Jokowi meminta rakyat untuk rajin mengagihkan kritik. Kalau perlu, kritik pedas. Permintaan itu sontak mendapat tanggapan dari banyak pihak, termasuk dari mantan pasangan Jokowi, yakni Jusuf Kalla. Ndilalah, tanggapan Jusuf Kalla mendapat tanggapan balik dari berbagai pihak. Termasuk, Menkopolhukam Mahfud MD.
Kemarin, Minggu (15/2/2021), Mahfud MD mengeluarkan pernyataan lewat cuitan di Twitter. Kata beliau, Pemerintah akan mendiskusikan inisiatif untuk merevisi UU ITE. Beliau juga menyatakan bahwa UU ITE yang dulu banyak disokong dan didukung, sekarang dianggap tidak baik terutama karena beberapa pasal karet. Itulah alasan mengapa Pemerintaf berinisiatif merevisi UU ITE.
Jika kita tengok ke belakang tatkala UU ITE diterbitkan, sudah banyak pihak yang menyayangkan, bahkan mempertanyakan, beberapa pasal dalam UU ITE yang ditengarai dapat melar sesuai persepsi penafsir. Itu sebabnya disebut "pasal karet". Pasal itu di antaranya mencakup tentang pencemaran nama baik.
Turunan UU ITE pun tidak menguraikan dengan jelas apa saja yang tergolong pencemaran nama baik, bilamana seseorang dianggap mencemarkan nama baik orang lain, dan bagaimana dampak dari pencemaran nama baik itu. Korban-korban pun berjatuhan. Pendek kata, segala-gala yang "bikin sakit kuping dan hati" dapat diadukan kepada polisi. Tamengnya, UU ITE.