Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Din Syamsudin Radikal? Itu Fitnah Dungu

13 Februari 2021   05:05 Diperbarui: 13 Februari 2021   06:29 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hati yang berkelimpahan kebencian dapat terjerumus ke dalam sumur kering kedunguan. Jika tidak segera diobati, hati bisa diselimuti kerak dengki. Jika tidak segera disembuhkan, hati bisa digelimuni lumut iri.

Adalah Gerakan Anti-Radikalisme (GAR) Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB), selanjutnya saya singkat GAR-ITB, yang melaporkan Din Syamsudin kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Tuduhannya sangat tendensius, yakni diduga melakukan tindakan radikalisme. Dalam delik laporan, GAR-ITB menduga Din Syamsudin telah melakukan pelanggaran kode etik dan kode perilaku Aparatur Sipil Negara (ASN), serta pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Tidak tanggung-tanggung, laporan itu diteken oleh 2.075 alumni ITB lintas angkatan dan jurusan. Landasan hukum yang diajukan pun tidak main-main. Salah satu di antaranya adalah Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Khalayak luas kontan tercengang.

Betapa tidak, selama ini Din Syamsudin terkenal sebagai tokoh Islam yang gencar menyuarakan Islam moderat. Tuduhan radikal kepada guru besar UIN Syarif Hidayatullah bernama lengkap Prof. Dr. H. M. Sirajuddin Syamsudin, M.A., Ph.D. itu keliru. Beliau bukanlah sosok anak bawang yang baru kemarin-kemarin mendorong kerukunan intern dan antaragama.

Muhammadiyah, organisasi tempat Din Syamsudin pernah menduduki kursi Ketua Umum, sontak bersuara. Melalui Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, dikutip detik.com, menyebut tuduhan radikal yang dialamatkan kepada Din Syamsudin adalah tuduhan yang tidak berdasar dan salah alamat.

Ketua PB NU, Marsudi Syuhud, dilansir detik.com, turut menanggapi tuduhan Din Syamsudin sebagai tokoh radikal. Beliau mengaku belum bisa menemukan contoh konkret sehingga Din Syamsudin dapat disangka sebagai seorang yang radikal.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Sudarnoto Abdul Hakim--Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, turut angkat bicara. Menurut Sudarnoto, dinukil voi.id, tuduhan sebagai tokoh radikal yang ditujukan kepada Din Syamsudin adalah tuduhan yang sangat keji dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Komentar warganet juga beragam. Sebagian besar bertanya-tanya mengapa sampai bisa tokoh moderat sekaliber Din Syamsudin dianggap sebagai seorang yang radikal. Ada pula yang bingung karena tidak dapat menemukan alasan mengapa Din Syamsudin dituduh radikal.

Lantas apa alasan GAR ITB melayangkan tuduhan radikal dan melaporkan Din Syamsudin? Saya nukil dari detik.com, ada enam poin pelanggaran yang dituduhkan kepada Din Syamsudin.

Pertama, dianggap bersikap konfrontatif terhadap lembaga negara dan terhadap keputusannya. Latar tuduhan karena Din Syamsudin menganggap adanya ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam proses peradilan Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara sengketa Pilpres 2019.

Kedua, dinilai mendiskreditkan pemerintah dan menstimulasi perlawanan terhadap pemerintah. Hal itu ditengarai, menurut GAR-ITB, berisiko memantik terjadinya disintegrasi bangsa. Selain itu, GAR-ITB menilai Din Syamsudin konsisten dalam menyuarakan penilaian yang negatif terhadap pemerintah.

Ketiga, dianggap melakukan pembentukan opini yang dapat menyesatkan pemahaman masyarakat umum. Hal tersebut, dalam pandangan GAR-ITB, mencederai kredibilitas pemerintah, karena dapat membentuk opini seolah-olah Indonesia sedang dalam kondisi yang sangat darurat.

Keempat, dianggap sebagai pemimpin dari kelompok yang beroposisi terhadap pemerintah. Hal itu, menurut GAR-ITB, terlihat tatkala Din Syamsudin menginisasi dan mendeklarasikan KAMI pada 18 Agustus 2020 di Jakarta.

Kelima, dianggap menyebarkan kebohongan, melontarkan fitnah, serta mengagitasi publik agar bergerak melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang sah. Tuduhan itu, dalam kacamata GAR-ITB, berdasarkan pernyataan Din Syamsudin saat deklarasi KAMI di Bandung, 7 September 2020, yang seolah-olah menyatakan saat ini terjadi kerusakan-kerusakan bangsa dan negara.

Keenam, dinilai melontarkan fitnah dan mengeksploitasi sentimen agama. Hal itu, menurut GAR-ITB, terlihat ketika Din Syamsudin menanggapi penganiayaan fisik terhadap Syekh Ali Jaber--yang menurut Din, tindakan tersebut adalah bentuk kriminalisasi ulama.

Berdasarkan enam poin di atas, kita bisa menarik simpulan bahwa GAR-ITB menuduh Din telah melakukan tindakan tidak sah dengan cara menghasut atau mengagitasi masyarakat untuk merongrong, mendongkel, dan menggulingkan pemerintahan yang sah.

Berdasarkan enam poin itu pula dapat kita ketahui bahwa GAR-ITB menghendaki semua pihak untuk tidak mendiskreditkan pemerintah, manut terhadap apa pun kebijakan pemerintah, serta tidak menjadi oposan atas pemerintah yang sah.

Dengan kata lain, GAR-ITB memastikan bahwa segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh Din Syamsudin dapat memicu disintegrasi bangsa atau memecah belah bangsa. Itulah alasan yang mendasari GAR-ITB sehingga menuduh Din Syamsudin sebagai tokoh penggerak radikalisme.

Apabila radikalisme kita maknai sebagai “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis”, jelas tuduhan tersebut amat salah alamat. Kendatipun menginisiasi deklarasi KAMI, bukan berarti Din Syamsudin mengagitasi masyarakat untuk menggulingkan pemerintahan Jokowi dengan cara kekerasan.

Pada sisi lain, 2.075 alumni ITB lintas angkatan dan jurusan yang mengajukan laporan tersebut dapat kita sebut tengah melakukan pembunuhan karakter (character assasination) terhadap Din Syamsudin.

Selain itu, tuduhan tersebut dapat pula dituding sebagai upaya mematikan oposisi dari kancah demokrasi Indonesia. Bahkan, politik pecah belah atau politik adu domba (divide et impera) sebab melarang satu pihak menyatakan pendapat yang berbeda terhadap kinerja pemerintah.

Memang benar bahwa Din Syamsudin selaku guru besar di UIN Syarif Hidayatullah, tetapi bukan berarti beliau harus diam-diam saja apabila melihat ada kebijakan pemerintah yang perlu dikritik. Pendek kata, ada indikasi kuat GAR-ITB melarang ASN untuk mengkritik pemerintah.

Jadi, pengamat politik yang berstatus guru besar atau dosen harus mingkem saja. Jika sudah begitu maka matilah kebebasan berpendapat, matilah kemerdekaan pengamat politik dan pengamat kebijakan publik, matilah demokrasi.

Salam takzim, Khrisna Pabichara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun