O ya, saya memperlakukan semua karya saya laksana anak. Semuanya anak kandung. Jadi, saya tidak menganaktirikan tulisan di Kompasiana. Kualitas tulisan saya setara tanpa pilih media. Saat masih doyan mengirim karya ke koran, saya tidak membeda-bedakan koran nasional dan koran daerah. Baik dimuat di koran daerah maupun nasional, karya itu pasti mengikutkan nama saya.
Dengan demikian ada syarat yang mesti ada pada "menulis sesuatu yang saya sukai". Syarat itu adalah mesti kualitas Khrisna. Gaya bahasa karya saya yang dibukukan dengan yang tayang di Kompasiana juga setara. Kenapa? Nanti ada karya (baca: anak intelektual) yang mempertanyakan mengapa ia diperlakukan berbeda.
Sejak masuk ke apartemen raksasa bernama Kompasiana, tahun 2016, saya sering menaja puisi. Ada yang tembus AU, ada yang hanya sampai Pilihan. Soal bahagia, tetap setara. Semua puisi yang saya anggit adalah anak-anak saya yang harus saya perlakukan sama.
Puisi kedua yang dapat saya ajukan sebagai contoh adalah "Dia yang Memunggungimu". Puisi ini tayang pada 13 Juli 2016. Puisi tersebut sebenarnya saya anggit tahun 2015, tetapi lama saya tahan di laptop. Saya menyebutnya, masa pengendapan. Setelah saya rasa matang, baru saya pajang.
***
Artikel berjudul "Ahok dan Seni Menohok" dapat saya ajukan sebagai contoh. Artikel itu saya tulis pada 10 Agustus 2016, jauh sebelum Ahok terpeleset lidah. Dalam artikel tersebut, saya harap, Ahok--selaku sosok yang saya kagumi--bersedia mengerem lidah, sebab hal itu dapat menjatuhkan elektabilitasnya menjelang Pilgub DKI Jakarta.
***