SEMANGAT pagi, Kompasianer. Maafkan saya karena terpaksa menjilat bibir, eh--ludah, karena tiba-tiba menulis artikel dengan topik masuk Artikel Utama. Bukan apa-apa, selama ini saya amat getol menganjurkan agar Kompasianer menulis, ya, menulis saja tanpa berharap artikel mesti menembus Artikel Utama. Kalaupun masuk, anggap itu bonus. Mohon dimaklumi, ya.
Pada sisi lain, saya tidak mungkin memungkiri bahwa tetaplah ada Kompasianer yang berharap tulisannya nangkring di kolom Artikel Utama. Duh, kepanjangan. Selanjutnya saya singkat AU saja. Biar ringkas. Nah, setiap harapan yang terbit dari hati terdalam tentu tidak bisa kita pancas hingga tanggal dari tubuh. Maka lahirlah artikel ini. Mohon dimaklumi, ya.
Selanjutnya, patut saya sampaikan bahwa seluruh isi artikel ini berangkat dari pengalaman saya selama enam tahun di Kompasiana. Tepatnya: 2016, 2017, 2018, 2019, 2020, 2021. Pas 16 Februari nanti masuk ulang tahun keenam saya mengontrak sebidang akun di Kompasiana. Jadi, tidak ada teori pakem, tiada metode ajek, karena benar-benar hanya pengalaman. Mohon dimaklumi, ya.
Mari kita mulai (mohon maaf, saya tidak singkat menjadi markimul, itu gaya Engkong Felix).
***
![Bidik layar yang masuk Artikel Utama (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/02/04/1-sembilan-kata-601ae7fdd541df4f6f1b8d92.png?t=o&v=770)
Sekalipun kita menulis sesuatu yang kita kuasai, tetap saja mesti mengandung kekhasan. Dalam hal ini, ada aspek orisinalitas, sekalipun hal yang kita sasar bukanlah sesuatu yang baru. Di situlah pentingnya kekhasan. Bagi saya, apa pun yang saya tulis harus khas Khrisna.
Ambil contoh artikel berjudul "Mestinya Sembilan Kata Ini Masuk KBBI". Artikel itu tayang pada 16 Desember 2018. Saya suguhkah 9 (sembilan) kata dari bahasa Makassar yang layak masuk KBBI. Gaya tulis? Ya, khas Khrisna. Nyelekit. Nyeleneh. Nyablak.
![Bidik layar yang masuk Artikel Utama (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/02/04/bagian-menyiksa-601ae840838cc6106a364912.png?t=o&v=770)
***
![Bidik layar yang masuk Artikel Utama (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/02/04/kau-bersila-601ae859838cc6106a364914.png?t=o&v=770)
O ya, saya memperlakukan semua karya saya laksana anak. Semuanya anak kandung. Jadi, saya tidak menganaktirikan tulisan di Kompasiana. Kualitas tulisan saya setara tanpa pilih media. Saat masih doyan mengirim karya ke koran, saya tidak membeda-bedakan koran nasional dan koran daerah. Baik dimuat di koran daerah maupun nasional, karya itu pasti mengikutkan nama saya.
Dengan demikian ada syarat yang mesti ada pada "menulis sesuatu yang saya sukai". Syarat itu adalah mesti kualitas Khrisna. Gaya bahasa karya saya yang dibukukan dengan yang tayang di Kompasiana juga setara. Kenapa? Nanti ada karya (baca: anak intelektual) yang mempertanyakan mengapa ia diperlakukan berbeda.
Sejak masuk ke apartemen raksasa bernama Kompasiana, tahun 2016, saya sering menaja puisi. Ada yang tembus AU, ada yang hanya sampai Pilihan. Soal bahagia, tetap setara. Semua puisi yang saya anggit adalah anak-anak saya yang harus saya perlakukan sama.
![Bidik layar yang masuk Artikel Utama (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/02/04/dia-memunggungimu-601ae873d541df414f4aa002.png?t=o&v=770)
Puisi kedua yang dapat saya ajukan sebagai contoh adalah "Dia yang Memunggungimu". Puisi ini tayang pada 13 Juli 2016. Puisi tersebut sebenarnya saya anggit tahun 2015, tetapi lama saya tahan di laptop. Saya menyebutnya, masa pengendapan. Setelah saya rasa matang, baru saya pajang.
***
![Bidik layar yang masuk Artikel Utama (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/02/04/ahok-601ae88c838cc61e2e344a02.png?t=o&v=770)
Artikel berjudul "Ahok dan Seni Menohok" dapat saya ajukan sebagai contoh. Artikel itu saya tulis pada 10 Agustus 2016, jauh sebelum Ahok terpeleset lidah. Dalam artikel tersebut, saya harap, Ahok--selaku sosok yang saya kagumi--bersedia mengerem lidah, sebab hal itu dapat menjatuhkan elektabilitasnya menjelang Pilgub DKI Jakarta.
![Bidik layar yang masuk Artikel Utama (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/02/04/gajah-mada-601ae89f838cc61c793dd422.png?t=o&v=770)
***
![Bidik layar yang masuk Artikel Utama (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/02/04/celana-jin-601ae8b0d541df504d73a292.png?t=o&v=770)
Ambil contoh tatkala warganet mempertanyakan kenapa Kaesang memakai celana jin (bukan jins, ya) saat melayat Bu Ani Yudhoyono. Artikelnya saya juduli "Balada Celana Jin Kaesang". Wah, saya banyak ditegur orang saat itu karena memilih kata jin. Bukan jins sebagaimana yang dikira benar oleh warganet. Mereka yang salah, eh, mereka yang ngotot.
Ingatan saya kontan kembali pada tahun 2018, tepatnya 27 Desember 2018. Kala itu saya menulis tentang banyaknya orang di Nagari Takada yang sering tidak mampu menahan jari. Kritik untuk pengguna media sosial itu saya juduli "Jangan Bunuh Diri di Medsos, Ferguso".
***
![Bidik layar yang masuk Artikel Utama (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/02/04/bunuh-diri-601ae8d4838cc601681e85b3.png?t=o&v=770)
ITULAH empat rahasia dapur kepenulisan saya. Empat rahasia itu berasal dari diri saya sendiri. Artinya, tidak bersumber dari pengamatan apa yang disukai oleh Admin Kompasiana sehingga satu artikel bisa masuk AU.
Dari situ jelas bahwa saya berkonsentrasi pada kualitas tulisan saya, bukan pada selera atau standar Kompasiana. Bisa saja saya mengamati jenis artikel yang sering tembus AU, sangat bisa. Namun, bagi saya, terlalu memakan energi. Lebih baik energi itu saya pakai untuk mencari ide, menuangkan gagasan, dan mengagihkannya kepada pembaca.
Saya berangkat dari menulis di media konvensional baru ke Kompasiana. Artinya, saya terbiasa dengan aturan tidak tertulis di dunia perkoranan. Ketika karya saya ditolak, bukan berarti karya itu jelek. Bisa saja karena tidak sesuai dengan selera atau standar koran tersebut. Jadi, saya kirim saja ke koran lain. Hasilnya, dimuat.
Lima tulisan saya tidak mendapat label "Pilihan" di Kompasiana. Saya diam saja. Satu artikel--tentang bahasa--yang tidak mendapat label pilihan saya hapus, kemudian saya kirim ke koran. Eh, dimuat. Dapat honor. Empat sisanya saya biarkan tetap di Kompasiana sebagai tugu.
Begitulah sekelumit rahasia dapur saya dalam menembus bilik AU.Â
O ya, saya termasuk Kompasianer yang jarang memprotes kebijakan Kompasiana. Bagi saya, itu hak domestik Admin, sekalipun penting bagi Kompasiana untuk menyelaraskan target mereka dengan harapan Kompasianer. Biar sama-sama untung atau sama-sama buntung.
Kakak Admin, mohon dimaklumi, ya.
Tabik, Khrisna Pabichara
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI