Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Niat Menulis supaya Bahagia, Malah Makan Hati

1 Februari 2021   18:07 Diperbarui: 2 Februari 2021   21:12 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagaimana caranya agar tulisan saya menembus koran? Ah, pusing (Gambar: thefashionglobe.com)

JIKA setelah Anda menulis lantas ada sesuatu yang memberati kepala Anda, seperti hasrat ingin tulisan dibaca oleh banyak orang, lalu Anda kecewa manakala hasrat itu tidak terpenuhi, saat itu Anda sedang "korsleting". 

Bayangkan Anda seorang pelajar SMP yang sedang lucu-lucunya, yang menulis dengan hati riang tiap hari, yang mati-matian meningkatkan kualitas tulisan, yang hasrat melihat tulisannya terpajang di koran melebihi gairah petinju yang ingin menghabisi lawannya dalam sekali tonjok, lalu setiap pekan ia kirim karyanya tanpa kenal lelah. 

Bayangkan bagaimana perasaannya ketika tiap bulan menerima surat penolakan pemuatan karya, tetapi ia terus menulis dan tetap mengirimkan karyanya, sementara pihak media cetak juga bersikukuh mengembalikan karya itu, begitu terus hingga setahun, dua tahun, tiga tahun, malahan sampai 12 tahun.

Bayangkan perasaan pelajar SMP yang hatinya berselimut gairah menulis itu sudah selesai kuliah, sudah dua tahun bekerja, dan masih saja memburu mimpi melihat karyanya terpajang di media cetak level nasional. Lalu, ketika tulisan pertamanya dimuat di halaman empat sebuah koran yang terkenal angker dan susah ditembus, ia melonjak kegirangan. 

Bayangkan jika Anda yang mengalami "perjalanan kepengarangan pelajar itu" sekarang, saat ini, hari ini, ambil contoh sederhana saja tulisan di Kompasiana yang tidak perlu proses kurasi sudah dapat tayang. Bandingkan masa 12 tahun si pelajar SMP itu memburu mimpi dengan kita, hari ini, yang cukup tulis, unggah, dan tayanglah.

Bayangkan lagi alangkah kecewanya kita tatkala baru setahun, dua tahun, atau tiga tahun di flat K, kemudian menggerunyam tidak keruan, mendongkol setengah mampus, mengomel-ngomel sepanjang hari gara-gara tiada label "Pilihan" di artikel kita. Padahal, itu bukan surat dari redaktur koran yang berisi penolakan.

Remaja tanggung itu mengalami masa awal penolakan selama tiga tahun semasa SMP. Tiga tahun. Ia masih sangat muda untuk menanggung beban penolakan. Beda dengan kita yang rata-rata sudah kuliah, selesai kuliah, bahkan sudah tuwir seperti saya, Engkong Felix, Babe Hensa, Paman Ketut Suweca, atau Abah Jepe.

Pada titik seperti itu, kita perlu mendaras ulang niat menulis. 

Apakah kita menulis di Kompasiana demi label Pilihan? Apakah demi mengejar bilik Artikel Utama? Apakah kita menulis demi sebanyak-banyaknya pembaca? Tiga pertanyaan itu sebaiknya tidak kita sampaikan kepada bocah murid SMP itu. Bisa jadi bahan tertawaan baginya, sebab ia menulis untuk membahagiakan diri.

Saya tahu itu, sangat tahu hal itu, sebab saya kenal baik siapa pelajar SMP itu.

***

APAKAH menulis bisa menyehatkan? Saya hanya punya satu jawaban: ya. Menyehatkan dalam hal ini tidak hanya untuk raga, tetapi juga untuk jiwa. Namun, kita bakal kesulitan menjangkau "kelas sehat karena menulis" itu apabila kita mengerangkeng paradigma menulis dalam bui yang sempit.

Satu contoh, kalau kita bermuram durja akibat tulisan ditampik oleh media massa atau penerbit, lalu patah arang dan berhenti sampai di situ, ya, boro-boro bahagia, yang ada justru sakit hati atau kecewa berlarut-larut.

Hal serupa akan kita alami jika menulis di K dengan niat memburu label belaka. Gara-gara Admin K tidak kasih label Pilihan, kita merasa sedih, kecewa, hingga akhirnya patah semangat. Jangankan senang, tenang saja tidak. Salah-salah berhenti menulis, mogok berkarya, mati suri.

Menulis dengan paradigma seperti itu akan menumbuhkan stres alih-alih bahagia. Pada awalnya hanya depresi, lama-lama menumpuk dan berpotensi menjadi psikosomatik. Terminal utama yang kita namai "menulis sebagai terapi penyembuhan" makin jauh dari pandangan, karena kita kesasar di selokan ambisi cetek.

Jadi, kalau ingin menjadi penulis yang berbahagia, yang menyembuhkan sakit batin, yang menyehatkan secara lahiriah dan batiniah, kita harus mengubah dulu paradigma menulis di kepala kita. Mau tidak mau, kita mesti kembali pada titik awal: menulis untuk bersenang-senang agar hati bahagia.

Bang Syafei dapat kita contohi. Beliau memasang target yang logis, sekalipun bisa saja gagal akibat beberapa kendala. Target doi sederhana, tahun ini ingin naik kelas dari Penjelajah ke Fanatik. Hitung-hitungannya mudah. Beliau mesti mengunggah sebanyak-banyak tulisan. Beliau hanya perlu menaksir berapa tulisan lagi untuk mencapai kelas Fanatik. Itu cukup.

Apabila nanti ada tulisan yang terpilih mengisi ruang Artikel Utama, dibaca banyak orang, atau dikomentari banyak orang, nilainya akan bertambah. Dengan begitu, waktu untuk memasuki bilik Fanatik menjadi lebih singkat. Kalau tidak, ya, santai saja. Nanti juga tiba di sana asal konsisten.

Sederhana, bukan?

Guna mencecap rasa bahagia karena menulis, target yang kita incar janganlah terlalu muluk. Makin tinggi sasaran makin sakit kalau jatuh karena gagal mencapainya. Gantungkan cita-citamu setinggi langit. Buat menggantungnya saja susah, apalagi menjangkaunya. Buat apa juga kita gantungkan kalau sudah di tangan, lalu setelahnya harus capek-capek meraihnya lagi.

Alamakjang!

***

BAGAIMANA caranya agar menulis dapat membahagiakan hati? Saya hanya punya satu jawaban: menulis tanpa beban. Saya mengalaminya. Bayangkan satu artikel kebahasaan yang saya taja dari proses meriset yang berdarah-darah, saya analisis sedemikian rupa, saya racik sebegitu renyah, ndilalah yang baca cuma 125 orang.

Sedih? Tidak. Saya tetap bahagia. Bisa begitu? Ya, bisa. Satu orang saja yang baca sudah menyenangkan hati saya, kok. Lebih senang lagi kalau pembaca yang hanya seorang itu mengatakan bahwa ia mendapat banyak manfaat dari tulisan saya.

Bagaimana kalau lebih banyak yang baca? Itu bonus. Makin banyak yang membaca tulisan saya, dalam hemat saya, akan makin banyak juga pembaca yang memetik faedah. Sesederhana itu. Ketika menulis di kamar Diary, misalnya, saya tumpahkan apa saja yang saya rasakan. Memang subjektif. Tidak apa-apa, itu diari. Bebas. Kalaupun Engkong Felix meradang, biarkan saja. Toh beliau tetap sayang.

Ketika saya menulis diari, kadang saya munculkan trauma yang pernah mendera batin. Kadang pengalaman traumatis itu saya plot menjadi topik imajiner, khayali. Dicecar rindu, disergap cemburu, dibekap sunyi, dipukul sepi, diamuk duka, ditombak kecewa. Bebas. Setelahnya, saya tenang. Kalau ada yang membacanya, saya senang. Sesederhana itu.

Lalu, bagaimana caranya agar menulis dapat mengubah trauma menjadi rasa bahagia? Tunggu artikel berikutnya. Oke?!

Tabik, Khrisna Pabichara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun