Sedih? Tidak. Saya tetap bahagia. Bisa begitu? Ya, bisa. Satu orang saja yang baca sudah menyenangkan hati saya, kok. Lebih senang lagi kalau pembaca yang hanya seorang itu mengatakan bahwa ia mendapat banyak manfaat dari tulisan saya.
Bagaimana kalau lebih banyak yang baca? Itu bonus. Makin banyak yang membaca tulisan saya, dalam hemat saya, akan makin banyak juga pembaca yang memetik faedah. Sesederhana itu. Ketika menulis di kamar Diary, misalnya, saya tumpahkan apa saja yang saya rasakan. Memang subjektif. Tidak apa-apa, itu diari. Bebas. Kalaupun Engkong Felix meradang, biarkan saja. Toh beliau tetap sayang.
Ketika saya menulis diari, kadang saya munculkan trauma yang pernah mendera batin. Kadang pengalaman traumatis itu saya plot menjadi topik imajiner, khayali. Dicecar rindu, disergap cemburu, dibekap sunyi, dipukul sepi, diamuk duka, ditombak kecewa. Bebas. Setelahnya, saya tenang. Kalau ada yang membacanya, saya senang. Sesederhana itu.
Lalu, bagaimana caranya agar menulis dapat mengubah trauma menjadi rasa bahagia? Tunggu artikel berikutnya. Oke?!
Tabik, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H